BAB 6

21 2 0
                                    

Tidak seberapa lama sebelum Dweykey menginjakkan kaki di Daratan Louise.

Usai Dweykey berlatih memanah, raja Yohanes yang kebetulan ikut menyaksikan datang menghampiri. Dweykey setuju saja ketika pamannya yang tak lain adalah pewaris tahta kerajaan Casabania itu memintanya untuk terlebih dahulu mampir ke istana sebelum kembali ke rumah.

Sejauh ini mereka memang dikenal cukup akrab, bahkan hampir menyamai kedekatan antara Yohanes dan Alexander, ayah kandung Dweykey. Dan mengenai keakraban kedua pria itu, tidak perlu diragukan lagi. Di dalam buku silsilah keluarga kerajaan tertera jelas bahwa keduanya merupakan sepupu kandung. Adapun sebab lain yang membuat keduaanya akrab, yaitu jarak usia yang tidak terpaut jauh antara satu sama lain. Dan sampai saat ini, Alexander maupun Yohanes sama-sama sudah menjadi dua nama besar yang begitu dielu-elukan hampir di seluruh daratan Eropa. Tentu saja ini tidak terlepas dari keberhasilan mereka dalam memimpin suatu wilayah.

Sesampainya di istana, mereka langsung menuju ruang baca raja. Dweykey melakukannya tanpa banyak komentar ketika Yohanes memintanya menempati salah satu dari sepasang kursi yang saling berhadapan. Diantara mereka terdapat meja dari batu granit berwarna gelap dengan batu-batu berukir yang berdiri beraturan diatas dataran halus meja tersebut.

Catur. Permainan penuh strategi dan kecekatan. Begitulah gambaran sosok Alexander yang berusaha ditanamkan Yohanes ke dalam benak Dweykey. Bahkan di banyak kesempatan Yohanes selalu mengingatkan Dweykey betapa Alexander adalah pria yang teramat berambisi, dan dalam ambisinya yang meletup-letup itu selalu saja ada strategi hebat untuk menaklukkan apapun.
Sayangnya sore itu Dweykey sedang enggan sekali bermain catur. Bukan karena kelelahan, melainkan lebih disebabkan pikirannya yang belum benar-benar lepas dari selembar surat yang dia terima dari Alexander dua minggu sebelumnya.

Tampaknya Yohanes bisa menebak yang tengah dipikirkan keponakannya teraebut. "Dia juga mengirimiku surat." Katanya sambil mengatur ulang letak batu-batu ukir itu diatas alasnya. " Ayahmu bahkan memintaku untuk sekali lagi meyakinkanmu agar kau bersedia mengikuti jejaknya. Walaupun aku merasa tidak terlalu yakin, kuharap kau mau memikirkannya sekali lagi."

Selagi ia terus mengikuti tangan Yohanes yang berlari-lari diatas alas catur itu menggunakan matanya, Dweykey berkata. "Ya, aku akan memikirkannya lagi."

Yohanes mengangguk setuju, selanjutnya mengacung sejenak kearah langit. "Kalau saja masalah-masalah di tempat ini bisa cepat selesai, ataupun bisa kutunda untuk sementara waktu, aku pasti sudah berlayar ke daratan Emas milik ayahmu itu."

"Kali ini kata-katamu lebih mirip sebuah hasutan." Tukas Dweykey tanpa mengalihkan perhatiannya. "Hasutan yang sangat halus tentu saja."

Spontan raja Yohanes mendongak dan tersenyum lebar. Setelah terlebih dahulu menatap cukup lama pada Dweykey, pria yang dikenal humoris itupun berkata, "tapi aku yakin kau akan suka pada tempat itu seperti yang selalu dijanjikan ayahmu dalam surat-surat yang dia kirim padaku. Dan biar kuingatkan, disana kau juga akan bertemu dengan Merpati-merpati tanpa sayap, yang tidak akan kau temukan di tempat ini."

"Merpati tanpa sayap?" Dweykey tersenyum tipis di satu sudut bibirnya, meski itu tak cukup untuk menyembunyikan rasa heran yang tergambar di wajahnya. "Makhluk serupa apakah itu? Aku bahkan tak pernah mendengarnya sebelum ini."

Senyum yang lebih lebar sekali lagi terkembang di wajah Yohanes. "Akupun tidak pernah melihatnya, jadi bagaimana mungkin aku bisa menjelaskannya padamu. Kukira akan lebih baik bila kau yang datang kesana untuk melihatnya dengan matamu sendiri."

"Jadi ayahku mengira cerita tentang merpati-merpati tanpa sayap itu mampu menarik minatku?" Dweykey tertawa kecil sambil menggeleng beberapa kali. "Memang cukup aneh untuk dibayangkan, akan tetapi aku tidak terlalu menyukai hewan. Andaipun sebaliknya, aku yakin akan lebih menarik bagiku merpati-merpati yang berterbangan dengan kedua sayapnya yang utuh, sebagaimana seharusnya mereka. Jadi rasanya akan sia-sia saja bila papa bermaksud membujukku dengan sekumpulan unggas cacat, atau apapun namanya itu."

"Lebih dari itu Dweykey. Kau pasti tau bagaimana usaha kakekmu, Constantine Louise, saat menakhlukkan. Samudera luas diluar sana demi mewujudkan mimpinya. Menancapkan tonggak kekuasaan di tempat yang bahkan tidak kau kenal sebelumnya bukanlah perkara mudah, tapi dia melakukannya. Kini daratan emas bernama Louise itu mutlak berada dalam kekuasaan para Louise. Terutama dirimu yang menjadi pewaris langsung. Sungguh aku sangat menghargai kerja keras itu." Setelah menghela nafas, Yohanes menambahkan lagi. "Tidak ada seorang pria pun yang tidak memimpikan hal itu. Nak, kau sungguh beruntung menjadi penerus Louise."

Dwekey memerhatikan Yohanes tanpa sepatah kata pun.

Kemudian Yohanes melanjutkan. "Yang dikatakan kakekmu kala itu hingga raja meluluskan kehendaknya, bahwa segala kemungkinan, baik atau buruk, baru akan kita temukan saat berada di jalan..."

"... dan kakek buyutku menjawab," sela Dweykey. "Kemungkinan akan selalu ada, namun dikala keindahan diluar sana mengambung-ambungkanmu hingga kau terlena, maka pulanglah. Tidak ada tempat yang paling indah daripada rumah. Di rumah kau akan menemukan kemurnian kasih sayang, tanpa cela ataupun keraguan."

Yohanes pun tak kuasa menahan diri untuk tidak tertawa di akhir kalimat yang diucapkan keponakannya itu dengan sangat fasih, seakan dirinya memang terlahir untuk menghafalnya.

"Akan tetapi, entah mengapa akhir-akhir ini impian papa di mataku tidak lagi semenarik dulu."

Tawa Yohanes perlahan-lahan memudar. Ia menggeser salah satu batu sebelum kembali menatap bijak pada Dweykey. "Dengar, Nak. Aku yakin kau hanya belum menemukan sisi dirimu yang menyimpan ambisi yang sama seperti ayahmu. Namun setelah berada disana, aku percaya kau akan segera tau apa yang sebelumnya tidak pernah kau sadari." ***







LENTERA PADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang