Terlepas dari semua kejadian itu, pertanyaan yang mengepul di pikiran Rebecca adalah, mengapa Jennifera tidak mampu bersuara sedikitpun?
Sambil berdiri di depan ranjangnya, Rebecca berharap akan mendengar Jennifera mengatakan sesuatu walau hanya sebaris kalimat saja. Sementara matanya sudah sampai di depan pintu, mengiringi Jennifera yang lemah terseret-seret takdirnya, Rebecca terus mengira-ngira apa sebenarnya yang disembunyikan Jennifera darinya. Namun sampai peristiwa itu berakhir Jennifera tak juga berkata apa-apa, dan Rebecca pun tak kuasa menahan tangisnya.
Para serdadu dan Jennifera telah pergi waktu keduapuluhsembilan orang gadis penghuni asrama mulai mengerubungi Rebecca dan Suryani sejauh tiga langkah dari keduanya. Tidak ada yang berani lebih dekat dari itu karena ini adalah keadaan dimana Rebecca bisa saja menghancurkan mereka detik itu juga.
"Rebecca." Suara Beanahna seketika menyingkap kerumunan yang menghalangi langkahnya. Tidak ada kesedihan apalagi senyuman yang tergambar di wajahnya kecuali datar. "Dan kau, Suryani. Kalian berdua."
"Aku tidak ingin mendengar apapun saat ini." Bentak Rebecca. Ia bergerak meninggalkan kerumunan, termasuk Suryani. Baginya ini bukan saatnya untuk meratap-ratap. Yang diinginkannya hanyalah berteriak sekencang-kencangnya hingga tak seorangpun yang tidak mengetahui kemarahannya. Bahkan kalau perlu begitu mendengarnya, serdadu-serdadu itu langsung mengembalikan Jennifera. "Cerita apalagi yang akan kutulis untuk ibuku? Haruskah kukatakan, ibu, kau pun harus tau aku telah kehilangan sahabatku? Yang kau sendiri tau, Beanahna, tanpa Jennifera kami tidak akan pernah bernyanyi lagi. Tidak akan ada lagi musik yang akan mengiringi nyanyian kami. Bayangkan kalau tempat ini tidak memiliki melodi? Bumi akan mengutuki kita semua." Terakhir Rebecca membanting pintu ruang ganti yang dimasukinya, sama kuatnya dengan yang dilakukan para serdadu saat mereka membuka pintu asrama tadi.
Di depan cermin yang biasa menyambutnya setiap pagi, Rebecca berhenti. "Benarkah Jennifera akan meninggalkan kami?" Bayangan dirinya di dalam cermin menggeleng, menegaskan bahwa Jennifera akan kembali. Sesaat sebelum kakinya melangkah menuju lemari pakaian, Rebecca bertanya-tanya sendiri, apa sebenarnya yang ia lewatkan semalam? Lalu bagaimana bisa dirinya berikut gadis-gadis lainnya sampai tidak mengetahui semua yang terjadi di kamar tidur mereka? Namun kini yang harus dilakukannya adalah sesegera mungkin mengejar Jennifera.
Rebecca menarik sehelai gaun dari tumpukan gaun-gaun lainnya, dan warna gaun itulah yang membuatnya menjadi pilihan. Merah. Jelas, Rebecca ingin terlihat berkobar di sepanjang hari ini, menunjukkan kemarahannya kepada Aurora, terutama ayahnya, Norwegent.
Rebecca tidak ingin keduanya mengira dirinya akan diam saja menghadapi yang terjadi hari ini.
Tidak ada seorangpun yang bisa menentukan takdir mereka, termasuk kedua orang itu. Dan bila mereka menganggap dirinya bukan apa-apa untuk mengembalikan keadaan menjadi lebih baik, akan diungkapkannya bahwa mereka lebih tidak berarti lagi untuk memaksanya mengikuti jalan begis mereka.Gaun merah itu jatuh melapisi tubuh Rebecca. Semuanya tampak pas dari atas sampai ke bawah. Dibiarkannya saja rambutnya terurai dengan menarik sedikit bagian sampingnya ke belakang telinga. Rebecca ingin mengingatkan mereka semua, dirinya masihlah api liar yang dapat menjalar, yang akan dengan senang hati membakar orang-orang yang tidak berperasaan itu. Terakhir, dihembusnya nafas yang terasa hangat melewati tepi bibir.***
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA PADAM
Historical FictionPertengahan musim gugur di kota London yang tertutup awan mendung, Constantine Louise duduk di samping ibunya dalam kereta kuda yang membawa mereka meninggalkan Collegiate Church st. Peters yang tampak menawan di bawah gerimis. Manakala matanya mena...