Hal terakhir yang ditemukan Alexander pada jamuan makan malam itu adalah Rebecca tersenyum padanya, yang membuatnya seakan menerima pemaafan atas dosa-dosa yang telah diperbuat. Bila ia dapat menjelaskannya pada Dweykey, yang pertama kali ingin dikatakannya dihadapan pemuda itu adalah senyum tertahan Rebecca berhasil menuliskannya hingga tak menganggap penting lagi keluhan kesal yang terucap dari mulut Norwegent selama berada disana.
Sepertinya Norwegent tetap saja tidak menyukai akhir kisah Alexander malam ini. Bahkan hingga makan malam berakhir, pria itu hanya memasang wajah murung. Norwegent memutar-mutar sendok mengelilingi mangkuk sup lebih lama dari seharusnya. Alexander tau saat itu Norwegent tengah memikirkan sesuatu namun ia enggan untuk mencari tau. Ia pikir ada baiknya membiarkan Norwegent dengan sikapnya tersebut, karena yang diperlihatkan pria itu hanyalah sebentuk kecemburuan atas sikapnya terhadap Rebecca. Bukankah bila dirinya terus menerus bersikap seperti ini, lambat laun Rebecca akan menyadari siapa dirinya yang sebenarnya, dan bukan tidak mungkin posisi Aurora akan terlihat lebih genting. Norwegent tidak akan menyukai hal itu. Lagi-lagi Alexander tersenyum membayangkan tiap kejadian yang dirasakannya semakin lucu ini.
"Bagaimana?" Satu pertanyaan yang menyambut kepulangan Alexander.
Alexander menoleh dan menemukan Dweykey duduk di tempat yang sama seperti waktu putranya itu mencegatnya beberapa pekan yang lalu.
"Apa dia mengacaukan makan malamnya?"
Alexander menggeleng. "Tidak sama sekali. Dia memang berhasil membuatku kehilangan selera makan, tapi juga berhasil meringankan bebbanku untuk melangkah semakin ke depan. Keyakinan ku semakin merekah Dweykey. Sekarang aku yakin kau merupakan seorang pemimpin yang lebih baik dari kami. Aku dan kakekkmu." Tuturnya panjang lebar, namun Dweykey yang sedang enggan berkomentar hanya diam saja. "Kalau saja tidak pernah kau beri tau kesalahanku, aku akan terus berpatokan pada hal yang keliru. Aku akan terus mengagungkan kemuakanku terhadap pribumi, sementara aku terus pula memanfaatkan mereka dengan mengeruk habis kekayaan leluhur mereka. Aku benar-benar seorang pendosa."
"Aku tau." Hanya itu yang terucap dari mulut Dweykey.
"Lalu apa lagi?"
"Papa, aku sedang tidak ingin mendengarkan pengakuan dosa, atau seberapa senangnya kau sesudah melakukan sedikit perbaikan ini. Aku ingin mendengar ceritamu tentang dia. Tidakkah Rebecca melemparimu kacang waktu kau berlalu melewatinya? Atau memelototimu seperti yang biasa dia lakukan?"
Mau tidak mau Alexander pun tertawa mendengarnya, bahkan bisa dikatakan ia tengah terkekeh-kekeh. Hal itu sebenarnya sesuatu yang jarang sekali terjadi pada dirinya, dan reaksi Dweykey adalah terbahak diatas dudukannya, ia bahkan menarik maju tubuhnya dari pelukan sofa. "Dia bahkan tidak mencibirmu, Papa?"
Alexander mendongak mengingat-ingat. "Tidak."
"Oh, tentu saja. Mencibir memang bukan kebiasaannya untuk memperlihatkan ketidak sukaan nya." Sembung Dweykey kemudian memikirkan sesuatu yang lebih mungkin terjadi antara Alexander dan Rebecca. "Jangan-jangan dia malah mengumpatmu di akhir makan malam, dan untuk itulah kau menjadi seaneh ini."
"Mengapa kau bisa berpikir seburuk itu Dweykey?" Tanya Alexander diselingi tawa yang muncul sesekali. "Banyak sekali yang berubah dan aku sangat menyadarinya. Malam ini seakan-akan perasaanku telah memiliki kiblat lain yang membawaku pada arah yang menurutku adalah pencerahan jiwa. Dia tersenyum dan mencoba membacaku menggunakan matanya di tengah makan malam itu."
Dweykey tidak langsung berkomentar mendengarnya. Dia diam sejenak kemudian berdeham seperti ada yang menghalanginya ketika akan berucap, "jadi dia sudah mulai melakukannya? Lantas apa selanjutnya yang akan kau lakukan? Memanggilnya untuk tinggal disini?"
Alexander tau Dweykey hanya bergurau dengan ucapannya, namun jiwa humornya yang mendadak muncul malam ini membuat Alexander ingin sekali membalasnya. "Mungkin nanti. Dan kuharap kau tidak marah bila dia ingin meminjam kamarmu yang nyaman itu untuk satu malam." Dan dapat dilihatnya Dweykey menggeram kearahnya.
"Dia harus membayar untuk itu."
"Menurutku akulah yang harus membayarnya. Tapi yang kukatakan tadi semata-mata hanya pikiran bodohku, Dweykey. Aku bahkan yakin sekali dia tidak ingin bersentuhan dengan benda apapun yang berkaitan dengan dirimu."
"... dan juga yang berhubungan dengan dirimu, Papa." Sambung Dweykey. "Dia memang tersenyum malam ini, tapi bukan berarti sikap itu akan dipertahankannya hingga besok. Pada tengah hari, aku yakin sekali dia akan kembali jadi pemberang."
"Sepertinya memang begitu." Sahut Alexander dan mereka berduapun tertawa.
"Tapi aku melihat perbedaan pada diri Norwegent beberapa hari belakangan ini, seolah-olah ada ada yang tengah direncanakannya atau entah apalah itu." Sela Dweykey tiba-tiba dengan nada yang agak berbeda.***
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA PADAM
Fiction HistoriquePertengahan musim gugur di kota London yang tertutup awan mendung, Constantine Louise duduk di samping ibunya dalam kereta kuda yang membawa mereka meninggalkan Collegiate Church st. Peters yang tampak menawan di bawah gerimis. Manakala matanya mena...