BAB 41

4 1 0
                                    

Aku tau diluar dingin
Tapi aku melepaskan selimutku
Aku tau gelap malam itu menakutkan
Tapi langkahku tidak disertai lilin.

Tidak ada yang benar-benar dapat bersembunyi di muka bumi ini. Malam pun tidak mampu bersembunyi dalam kegelapannya, seperti Aurora yang tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya. Kalaupun ia mampu menaruhnya di suatu tempat, itu hanya untuk waktu yang tidak lama. Jedanya hanya sebentar, bahkan sangat cepat secepat ia melompati jendela asrama.

Hingga selarut ini Aurora belum juga dihinggapi rasa kantuk. Burung-burung malam merutuk dari atas pohon, meratapi langkahnya. Aurora mendengarkan saja suara-suara mereka yang berisik dan penuh sindiran yang seakan coba mengadukannya, sebab saat ini dirinya sama sekali tidak merasakan ketakutan akan apapun juga. Bila kalian bisa mengatakan satu kata saja, barulah aku akan masuk lagi kesana, katanya dalam hati.

Langkah Aurora pelan dan dalam. Ada yang memberatkannya sekarang. Bukan Aurora yang lain, melainkan misteri malam. Ketika menatap langit seketika itu pula harapannya melambung ke langit yang tinggi. Malam hampir selalu membuatnya merasa hilang. Bahkan satu hembusan lembut yang yang menyapa ke arahnya mampu membawa jiwanya terbang mengikuti mereka. Memang seperti itulah dirinya, Aurora yang mudah sekali terhasut.

Pohon Permohonan... Aurora mendesis membiarkan kakinya terus melangkah, membawanya menuju pohon itu. Tidak pernah ada dorongan sekuat yang dirasakannya malam ini, sampai-sampai kedua kakinya seakan tak bisa dihentikan. Setelah menemukan salah satu dahan dari sebatang pohon yang tinggi dan besar itu mencuat dari balik kegelapan, disaat itulah langkahnya memelan hingga berhenti sama sekali.

Di hadapan Pohon Permohonan, Aurora berdiri mendongak menatap pohon permohonan yang dulu pernah dikatakan ayahnya bisa mengabulkan setiap permohonan. Sepuluh tahun yang lalu Aurora masih sepenuhnya percaya dengan apa yang dikatakan ayahnya itu, sampai akhirnya ia bosan dan tidak pernah mempedulikan pohon itu lagi.

Dengan lemas Aurora menjatuhkan tubuhnya yang lelah di dekat salah satu urat pohon. "Kau tau, aku sangat kecewa padamu hingga tidak pernah menemui mu lagi. Namun kini aku sadar betapa kuat ikatan persahabatan di antara kita, teman." Ujarnya merintih sambil bersimpuh diantara celah akar. "Hanya bedanya dulu aku percaya kau mampu memenuhi setiap permohonan ku, walau sekarang tidak lagi. Tapi malam ini aku tidak ingin memohon apa-apa padamu. Aku hanya ingin kau mendengarkan ku, mengetahui hal apa yang membuatku sampai dirundung duka begini. Dan berjanjilah kau tidak akan memberitahukan siapapun."

Aurora mendongak lagi waktu pohon itu menjatuhkan sehelai daunnya yang masih hijau yang tergeletak di atas pahanya yang duduk bersimpuh. Aurora tersenyum sebelum menguatkan diri untuk tidak menangis. "Aku tau, Teman, kau akan selalu menjadi sahabatku."

"Sekarang akan kuperkenalkan kau dengan dia." Kata Aurora sambil berdiri, entah kepada Pohon Permohonan atau kepada Aurora yang lain yang sudah hadir diantara mereka, namun Aurora yakin keduanya sudah saling kenal satu sama lain. Aurora yang lain sudah tumbuh sejak lama di dalam dirinya, selama persahabatannya dengan Pohon Permohonan yang terjalin sejak dirinya masih kecil, makanya ia berani memastikan mereka sudah pernah saling menatap sebagai teman walaupun masih enggan untuk menyatakan rasa suka atau tidaknya.

Dahan Pohon Permohonan berayun-ayun. Pohon itu bernafas, atau mungkin menghela nafas sebagai bentuk penyambutan terhadap Aurora yang lain, dan Aurora dapat merasakan ketidak sukaan yang sengaja diperlihatkan pohon itu. Sementara Aurora yang lainpun tengah berusaha keras menariknya pergi dan menjauh, tapi Aurora melawannya.

Ketika Aurora yang lain dirasakannya mengalah, Aurorapun menyeret langkahnya lebih mendekati pohon permohonan sampai terdengar Aurora yang lain berujar keras. "Dulu, ketika kau masih kecil dan sering kemari akupun masih lemah. Sekarang kau sudah besar dan telah membuatku lebih kuat. Seharusnya tidak kau temui lagi dia."

Aurora tercekat, "kenapa?"

Angin semakin kencang meniup Pohon Permohonan yang membiarkan saja daun-daunnya bergerak terarah kearah yang menjauhi Aurora, menyadarkan Aurora betapa dirinya terlihat sangat buruk di mata Pohon itu. Pohon permohonan sengaja mengelak darinya dengan alasan Aurora membawa Aurora yang lain bersamanya.

"Dia hanya akan membuatmu lemah, Aurora. Kenangan masa kecil hanya akan membuatmu merasa suci, kemudian kau akan merasa lemah dan tidak kuat untuk melangkah, sedang takdir itu keras  tanpa pengecualian."

Aurora menunduk. Menatap lekat-lekat tanah di bawahnya yang nampak hitam pekat, sementara ujung gaunnya yang juga tertiup angin, menyapu-nyapu pasir kelabu yang berserakan disana. Menyaksikan pasir-pasir itu terpontang panting ke segala arah, sejenak mengaburkan pikiran Aurora akan Pohon Permohonan dan Aurora yang lain.

Untuk sementara waktu Aurora  membiarkan keduanya lepas ke udara, tapi kemudian sesuatu yang mengejutkan itu terjadi. Aurora menemukan seberkas noda mengotori gaun tidurnya. Bukan menyerupai bercak, melainkan rembesan cairan yang berasal dari bagian dalam gaunnya. Dengan cepat ia menyingkap gaunnya hingga ke betis, dan betapa terkejut dirinya mendapati aliran kecil darah melewati betis kanannya, meliuk-liuk, dan seketika saja membuat kepalanya pusing. Aurora seketika terdiam mematung, tercekat dan tidak tau harus bagaimana.

"Kau berdarah!" Teriak Aurora yang lain.

Telinga Aurora langsung berdengung, Pohon Permohonan bergemuruh, angin kencang menerpa ke segala arah, dan para bintang memerhatikan dari atas sana tanpa suara.

Aurora menurunkan gaunnya dengan wajah rata. Sedikitpun ia tidak bisa menebak, apa sebenarnya yang terjadi dan tidak pula menginginkan jawaban dari siapapun. Namun tetap saja ada yang bersuara setelahnya.

"Siapa itu?"

Pertanyaan itu dari seseorang, dan Aurora tau itu bukan berasal dari Aurora yang lain. Diapun menoleh dan terkesiap.

Willes dan kudanya yang tinggi memperhatikannya dari jarak beberapa kaki. Cukup dekat, tapi bisa juga dikatakan cukup jauh karena disembunyikan oleh gelapnya malam. Sejenak Aurora merujuk pada gaunnya sebelum menjawab ragu-ragu, "Aurora."

"Astaga! Apa yang kau lakukan tengah malam begini?" Terdengar jelas kekhawatiran dari nada suara Willes.

Willes adalah keturunan bangsawan yang cukup terpandang. Ayahnya menjabat sebagai gubernur di salah satu provinsi di Casabania. Di usianya yang masih di awal dua puluhan, bisa dikatakan dirinya cukup muda untuk jabatan yang dimilikinya sekarang.

Diantara Willes dan Ilymushpun terikat hubungan pertemanan yang cukup baik. Mereka pernah berada di satu perguruan tinggi di Casabania, dan beberapa kali pula mereka bersama-sama menjalankan tugas sebagai utusan kerajaan ke daerah utara Perancis, dalam menyelesaikan masalah diplomatis yang melibatkan beberapa negara yang salah satunya adalah Casabania. Tentu saja Aurora mengetahui semua itu dari sepupunya Ilymush.

"Aku hanya tidak bisa tidur." Aurora berkata gugup dan ia tau Willes menyadarinya. "Tapi aku bermaksud pulang sekarang. Sungguh."

"Bagus kalau begitu, dan sebaiknya aku mengantarmu sampai ke asrama."

Dengan keadaanku seperti ini? Aurora menggeleng cepat. "Tidak perlu. Aku lebih suka pulang sendiri." Aurora pun melangkah menjauhi ksatria itu. "Selamat malam." Ucapnya dan berharap Willes tidak menemukan sesuatu yang aneh pada dirinya, tapi kemudian ia berhenti dan berbalik. "Tunggu. Kumohon jangan mengatakan kepada siapapun mengenai diriku malam ini."

Helaan nafas Willes terdengar sangat jelas. Sambil menajamkan pandangan pada Aurora, ksatria itu menunjuk langit, yang bisa dipastikan satu bintang akan tersanjung mendapatkan tunjukan itu. "Aku tidak akan mengatakannya pada siapapun. Aku berjanji." Lalu senyumnya merekah di balik gelapnya malam.

"Aku lega sekali." Jawab Aurora kemudian berlari dengan perasaan khawatir, kalau-kalau ada lagi yang mengalir di balik gaunnya dan bisa jadi semakin banyak.***














LENTERA PADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang