Dan yang disadari Aurora terakhir kali adalah, di tangan Aurora yang lain telah bersarang sebuah pisau panjang bertangkai sepotong kayu bulat yang dilicinkan. Aurora terkejut waktu Aurora yang lain menunjuknya dengan ujung pisau itu, lalu meringis membayangkan betapa pisau itu lebih dari cukup untuk mengoyak kulitnya. "Jangan, Aurora." Pintanya.
"Lakukan, Aurora!" Serang Aurora yang lain melalui satu ancaman yang ia siratkan melalui sorot matanya yang bulat.
Aurora terpaku menatap Aurora yang lain, matanya mengikuti mata berwarna coklat tanah yang bergerak-gerak liar memperhatikannya itu.
"Ambil ini dan rebut kebahagiaanmu. Percaya padaku, tidak akan terjadi apa-apa. Ayahmu akan selalu berada di belakangmu. Dia akan melindungi mu. Begitu janjinya, Bukan? Kini saatnya kau melihat pembuktian dari ucapannya selama ini. Apa kau mengerti?"
Walaupun sangat pelan, tangan Aurora terangkat. Ia menyentuh ujung pisau itu dan berhenti disana. Perlahan-lahan Aurora yang lain menurunkan pisau sebelum menghadapkan gagangnya lalu memindahkannya ke dalam genggaman Aurora. Selama beberapa detik Aurora hanya menatap pisau itu dan memeganginya saja tanpa bersuara.
"Ingat Aurora, takdir tidak selalu mudah dan ingat pula kata-kata terakhir Ilymush padamu."
"Tapi bukan seperti itu takdir yang kumau, Aurora."
"Baiklah." Aurora yang lain berjalan meninggalkan Aurora. "Kalau begitu biarkan saja hidupmu berlarut-larut seperti ini. Tapi nanti jangan sampai kau menyesalinya karena kau sendirilah yang tidak ingin memperjuangkannya, padahal kau tau ayahmu dengan susah payah membangun impian itu hingga hampir terjadi seperti sekarang."
Aurora memejamkan mata, berpikir dan terus berpikir. Pisau itu masih dalam genggamannya, sementara semua yang diucapkan Aurora yang lain terus pula berkecamuk di dalam pikirannya, diselingi kata-kata Ilymush, harapan ayahnya beserta janji-janjinya. Semuanya membuat Aurora tidak dapat melepaskan pisau itu. "Aurora..." Panggilnya.
"Akhirnya kau berpikir benar. Jennifera harus berhenti sampai disini, saatnya kau yang mengambil alih." Sahut Aurora yang lain sambil tersenyum lega.
"Tapi bagaimana bila akulah yang harus berhenti." Aurora menyodorkan perutnya ke ujung pisau. "Aku akan dengan senang hati mati malam ini." Katanya putus asa. Dan yang ia temukan selanjutnya adalah raut cemas di wajah Aurora yang lain, meskipun sekejap kemudian berganti dengan raut marah.
"Silakan saja bila kau berniat menghabisi dirimu sendiri, tapi jangan berharap kau bisa hidup kembali untuk melihat mereka menderita karena telah membuatmu seperti ini." Ucapan Aurora yang lain dan terdengar sangat sinis. "Tidakkah kau sadar kebodohanmu itu? Sudah diberi kesempatan pun kau bukannya berusaha merebut kebahagiaanmu, tapi malah ingin memberinya bulat-bulat ke tangan orang lain."
Kata-kata Aurora yang lain bagaikan cambukan di kulit sehingga Aurora seketika bergetar dibuatnya. "Tapi aku tidak kuat lagi."
"Kau punya aku yang lebih kuat dari apapun!" Aurora yang lain kembali mendekati Aurora. "Panggil para kebencian, undang pemimpin-pemimpin dendam, kumpulkan mereka disini." Katanya dan mengakhirinya dengan menunjuk tepat ke dada Aurora. "Mereka akan membuatmu kuat untuk melakukan apapun, dan biar aku yang mengatur sisanya."
Inilah saat Aurora akhirnya menyerah pada Aurora yang lain. Dan entah apa yang tengah mengisi benaknya, ia pun tersenyum, kemudian Aurora yang lain melakukan hal yang sama. Senyuman mereka selaras dengan kebencian, seolah-olah tengah berjalan beriringan dengan tujuan yang sama.
"Kita akan mengambil semua kebahagiaanmu." Ujar Aurora yang lain yang dijawab Aurora dengan sekali anggukan. "Berterima kasihlah karena kau memiliki aku di dalam hidupmu."
Tepat setelah kata-kata itu berakhir Aurora tak lagi melihat keberadaan Aurora yang lain, melainkan hanya dapur yang kosong. Tidak ada seorangpun melainkan dirinya dalam ruangan itu, sementara cahaya lilin di ujung meja masih setia menerangi dengan cahayanya yang redup oleh gelapnya ruangan.
Aurora berjalan mendekati. Sesaat di diperhatikannya ujung nyala lilin itu seperti saat ia memperhatikan ujung pisau tadi. Waktu akan meraih tangkai alasnya, tanpa sengaja tangannya membuat mereka seketika meluncur ke lantai. Aurora mendesis di ujung suara nyaring dari lempengan kuningan yang menghempas lantai itu. Suara yang terdengar cukup keras untuk membangunkan ayahnya. Namun setelah sekian lama diam dan termakan kesunyian, Aurora lega karena tidak juga terdengar langkah-langkah yang berjalan ke arahnya. Dengan hati-hati ia memegangi perutnya lagi, anehnya rasa menyilaukan itu tidak terasa lagi. Aurora baru sadar rasa itu sudah tidak dirasakannya lagi sejak kedatangan Aurora yang lain. Aurora yakin calon bayinya mendengar yang terucap dari mulutnya dan Aurora yang lain, dan sekarang calon bayi itu ketakutan pada ibunya sendiri.
"Teruslah begitu karena takdir yang kupilihkan untukmu adalah yang dipilihkan Aurora yang lain. Jadi tetaplah tenang, tanpa harus merecokiku seperti tadi."***
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA PADAM
Historical FictionPertengahan musim gugur di kota London yang tertutup awan mendung, Constantine Louise duduk di samping ibunya dalam kereta kuda yang membawa mereka meninggalkan Collegiate Church st. Peters yang tampak menawan di bawah gerimis. Manakala matanya mena...