"Apa itu?" Tanya Dweykey menerawangi Aurora.
Kalau saja diantara mereka terdapat segumpal kabut asap meski sangat tipis, Aurora pasti sudah berada di dalamnya. Bersembunyi sebentar sebelum menaruh segalanya kepada Aurora yang lain. Tapi sebesar apapun rasa percayanya pada Aurora yang lain, tetap saja dirinya sendirilah yang harus berhadapan dengan Dweykey, pemuda yang sulit ditebak itu. Dan pandangannya yang menatap jauh yang seakan-akan coba mencari tau itu, terus mengusik Aurora disetiap detiknya.
"Masih adakah yang belum terselesaikan diantara kita, Aurora? Atau kau ingin terjatuh dan merasakan yang lebih sakit lagi?"
"Mengapa kita tidak memulai dengan sesuatu yang sedikit membawa kenyamanan diantara kita, Dweykey?"
"Kita anggap saja itu pertanyaan yang tidak perlu dijawab." Sahut Dweykey setengah menoleh. "Oh, benar juga. Aku lupa kalau orang yang sedang terluka sebaiknya tidak banyak berjalan-jalan. Duduklah dulu." Ditunjuknya bangku taman yang terpahat indah di dekat tumpukan bunga-bunga.
Setelah meminta Aurora duduk terlebih dahulu dengan sedikit sikap hormat yang dibuat-buat, Dweykey pun mengambil tempat disebelahnya.
Mereka masih sama-sama menghadap ke depan beberapa waktu lamanya. Tidak saling bicara, hanya menolehkan wajah dan perasaan ke masa lalu, seakan-akan sekali lagi keduanya ingin menemukan dan meraih kenangan itu, walau kali ini niat masing-masingnya jauh berbeda
Aurora mengakhirinya dengan satu tarikan nafas, dan Dweykey mengikutinya. Aurora memerhatikan wajah yang sangat disukainya itu, dan terus memerhatikannya sampai ditemukannya seulas senyum disana. Satu senyuman yang seakan membuatnya seketika sirna. Atau mungkin yang terjadi adalah sebaliknya. Entah apa yang terjadi, senyuman itu justru menguatkan kendali Aurora atas dirinya sendiri, sampai-sampai Aurora yang lain tergoyahkan. "Mengapa kau tersenyum?"
"Aku menginginkannya." Sahut Dweykey. "Dan kau mengapa kau tidak tersenyum?"
"Karena aku tidak menginginkannya."
"Tersenyumlah sekarang, karena mungkin setelah ini kau akan sulit untuk tersenyum lagi."
"Sepertinya kau sudah tau apa yang akan dibicarakan, Dweykey."
"Sedikitnya aku tau."
"Apa itu?"
"Hal mengenai diri kita berdua, Bukan?"
Akhirnya Dweykey menoleh pada Aurora. Yang pertama-tama dilihatnya adalah luka itu, sebelum beranjak naik ke wajah Aurora yang disirami matahari pagi. Dan masih ditemani senyuman yang sama, Dweykey menghadapkan wajahnya ke depan Aurora.
"Kau tidak marah padaku, Dweykey?" Tanya Aurora menanggapi senyuman yang tidak berakhir itu.
"Itu pertanyaan kedua yang tidak perlu dijawab, tapi bila kau memaksa aku akan menjawabnya untukmu. Aku marah." Ungkap Dweykey pelan. "Tapi membalasmu dengan cara yang licik bukanlah tujuanku, dan berkata-kata dasar juga bukanlah jati diri yang ditanamkan ayahku kepadaku."
"Aku mengambil kesimpulan dari perkataan mu, kau ingin membalasku dengan caramu sendiri."
"Bukan membalas. Aku hanya ingin membenahi jalan yang sudah kau buat menyimpang ini. Kau tau, Aurora? Bagiku jalan ini sudah jauh meninggalkan moral akibat perbuatan orang-orang, yang salah satunya adalah orang seperti dirimu. Kemarin kupikir ayahku benar-benar terbebas dari ikatan yang dibuat kakekku, namun ternyata aku salah. Dia masih mungkin terjerembab lagi." Jelas Dweykey. "Dan siapa orang yang menariknya hingga terjatuh lagi? Tak lain, ayahmu dan itu demi dirimu."
"Aku tau, Dweykey. Aku tau kau sangat membenci orang-orang seperti kami, tapi sekarang kumohon beri aku waktu untuk memberitaumu mengenai hal yang memang seharusnya kau ketahui. Mengenai kita berdua."
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA PADAM
Historical FictionPertengahan musim gugur di kota London yang tertutup awan mendung, Constantine Louise duduk di samping ibunya dalam kereta kuda yang membawa mereka meninggalkan Collegiate Church st. Peters yang tampak menawan di bawah gerimis. Manakala matanya mena...