BAB 69

5 1 0
                                    

"Kau membuatku begitu buruk dimatanya, Aurora." Aurora baru menumpahkan tangisnya setelah melewati dua orang serdadu yang masih bertugas di depan rumahnya. "Tidak bisakah kau menggambarkan diriku yang sebenarnya di dalam perkataan mu tadi? Kau tau aku tidak pernah menginginkan bayi ini sebagai senjataku untuk melawan atau menaklukkannya. Dan kau tau aku juga mencintainya. Selalu mencintainya, tapi kau terus membuatnya membenciku dengan setiap kata yang kau ucapkan. Kau benar-benar tidak berhati, Aurora."

"Tekan perasaanmu, Bodoh!" Umpat Aurora yang lain setelah begitu lama diam bergeming.

"Aku tak bisa lagi."

"Kalau begitu mengadulah."

"Kepada siapa lagi aku harus mengadu?" Isakan Aurora berakhir dengan seketika, teringat satu nama yang juga tengah dipikirkan Aurora yang lain. "Ayahku kah?"

"Aurora yang lain tersenyum, begitupun Aurora, meski air mata masih menggenangi wajahnya.*

Ditatapnya sebentar pintu ruang kerja Norwegent yang tertutup rapat, tapi kemudian ia berbalik dan melangkah pergi. Sebenarnya itu sudah yang ketiga kalinya Aurora berdiri di tempat yang sama tanpa keberanian untuk mengetuknya.

Dua kali berturut-turut ia berakhir dengan berlari ke kamar dan berkelahi dengan Aurora yang lain, yang akan kembali menyuruhnya melakukan hal serupa. Anehnya kali ini Aurora yang lain tidak ingin bersamanya menghadapi Norwegent. Aurora yang lain beralasan, kehadirannya hanya akan menimbulkan pandangan yang berbeda di mata pria itu.

Setelah menarik nafas, lalu menghembusnya sampai benar-benar habis, Aurora melebarkan kedua matanya. Ia tidak boleh berhenti Sampai disini saja. Dweykey harus mengakui kesalahannya karena telah menganggapnya tidak mampu berbuat apa-apa, apalagi tidak berani. Paling tidak ayahnya akan memberi jalan keluar dan pasti mengupayakannya. Lagi pula, menurut Aurora yang lain ayahnya memiliki rencana lain yang masih menyangkut dirinya. Kalau sampai detik ini Aurora yang lain belum menyebutkan rencana tersebut, itu dikarenakan dirinya masih dilema mengenai hal itu.

Aurora mendorong pintu berat di hadapannya dengan kedua tangannya, kemudian masuk ke dalam di mana Norwegent selalu menghabiskan banyak waktunya memikirkan banyak hal.

Ruangan itu lebar dan luas, dilengkapi perabotan dari kayu berwarna madu yang hangat dengan hiasan berupa ukiran indah. Aurora selalu menyukai suasana di dalam ruangan ini, terlebih lagi dengan keberadaannya ayahnya.

Ada beberapa hiasan yang menempel di dinding. Diantaranya terdapat beberapa lukisan, tapi salah satu yang menjadi kesayangan Norwegent adalah sebuah lukisan setinggi tubuhnya yang menggambarkan Aurora ketika masih kecil, yang digantung berdekatan dengan meja kerjanya yang mengisi salah satu sudut ruangan berwarna gading itu.

"Papa." Aurora melihat ayahnya menegakkan kepalanya yang sedari tadi tertunduk. "Apa kau lelah sekarang?"

"Begitulah, Aurora." Namun selelah apapun dirinya, Norwegent tetap memberikan senyuman untuk Aurora. "Ada apa, Nak?"

"Sebenarnya ada yang ingin kubicarakan denganmu, Papa. Ini amatlah penting, namun aku masih bisa menunggu bila kau benar-benar lelah. Mungkin nanti malam adalah waktu yang sangat tepat untuk membicarakannya."

"Oh, tidak Aurora. Jika itu amatlah penting untukmu, maka menjadi sangat penting untukku. Aku tidak akan menundanya hingga malam." Norwegent berdiri dari belakang mejanya, kemudian berjalan menghampiri Aurora yang berdiri tidak jauh membelakangi pintu. "Mari kita duduk, dan mulai membicarakannya."

Norwegent memang selalu menanggapi putrinya itu dengan baik. Dan akan selalu begitu terlebih bila menghadapi masalah yang menyangkut kepentingan Aurora. Namun kali ini sikapnya itu justru memberatkan Aurora yang menyadari apa yang akan ia bebankan ke atas pundak pria itu.

Setelah sama-sama duduk di kursi kayu berlapis bantal-bantal empuk yang saling berdekatan, Norwegent meminta Aurora menyampaikan hal penting yan gmengganggunya itu. Namun Aurora tidak bisa segera mengatakannya. Baginya kali ini terasa sulit sekali, ia tau adalah kekecewaan yang akan ia hadiahkan kepada ayahnya itu. Setelah mengatakannya dan membayangkan apa yang akan terjadi, Aurora semakin berat hati untuk menceritakan semuanya. Mungkin saat ini adalah saat dimana Aurora sampai pada titik dimana dirinya merasa tidak yakin ayahnya tidak akan marah padanya.

"Bicaralah." Perintah Norwegent dengan lembut. "Kau tau aku akan selalu mengupayakan yang terbaik bagimu."

Memang begitulah kenyataannya, sahut Aurora dalam hati. Dan beberapa hari yang lalu, bukankah ayahnya baru membuktikan perkataannya itu? Aurora menunduk. "Papa, tolonglah aku sekali lagi."

Norwegent mengangkat dagu putrinya. Ditatapnya Aurora dengan menarik satu sudut bibirnya saat tersenyum. "Pasti, Aurora. Kau tau? Belakangan ini sesuatu yang aneh merayu-rayuku, namun aku berhasil menjauh darinya. Aku yakin itu hanya bisikan-bisikan menyesatkan yang membuatku tidak ingin mempertahankan putriku sendiri. Jadi sekarang, masihkan kau meragukan keteguhanku ini?"

"Papa." Aurora maju memeluk Norwegent. Di atas pundak yang lebar dan nyaman, dimana dirinya selalu merasa aman itu, sedikit-demi sedikit kekuatan untuk memulainya pun menyala. "Aku melakukan kesalahan. Kesalahan yang diawali perasaan cintaku kepada Dweykey. Keinginanku untuk memilikinya telah menyeretku ke dalam sebuah pusaran gelap yang juga enggan melepaskan dari gelapnya hasrat yang menggebu-gebu ini. Aku tidak pernah lepas darinya sebentar saja. Dan sepertinya aku juga akan terus berada disana. Selamanya, Papa. Karena apa? Karena pusaran itu telah menjadi tempat yang nyaman bagiku, Papa. Hasrat telah merasuki, menguasai dan mengiming-imingi. Lalu akupun tidak benar-benar hendak melepaskan mereka disebabkan kekuatan yang timbul dari sana. Apalagi sekarang ini ada satu lagi yang menambah kekuatanku."

Waktu Aurora mencoba melepaskan diri dari pelukannya, Norwegent tidak membiarkannya. Dia ingin terus merasakan detak jantung putrinya itu selama mereka berbicara, seakan-akan dari sana ia dapat menebak apakah Aurora bersungguh-sungguh atau hanya dilanda emosi sementara.

"Aku yakin mereka akan membawaku kepada kemurnian yang kau katakan itu, Papa. Antara kau dan mereka terdapat kombinasi yang cocok bagiku untuk mendapatkan kemurnian itu. Jadi dengarlah apa yang ingin kuberitaukan ini."

"Aku mendengarnya, Aurora. Teruslah."

"Takdir telah mengikat Dweykey kepadaku dengan menghadirkan dia."

"Siapa dia yang kau maksud?"

"Calon bayi yang berada di dalam kandunganku ini, Papa."***



LENTERA PADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang