BAB 18

6 1 0
                                    

"Jangan coba-coba mendekati mereka. Jangan pernah hadapkan wajahmu ke arah mereka, apalagi sampai mencurahkan segenap perhatianmu." Alexander mengenang kembali ucapan ayahnya yang nyaris terlalu sering ia dengar di bulan- bulan pertama kedatangannya di tanah kaum pribumi, yang akhirnya mereka namai The Louise ini.

"Mereka adalah genangan lumpur hitam yang pekat. Tidak seorangpun tau apa yang tersembunyi di dalamnya. Bahkan cahaya paling terang pun tidak mampu menembus mereka hingga ke dasar." Sampai hari ini kata-kata tersebut masih melekat erat di benak Alexander yang sangat mengerti pada maksud yang terkandung di dalamnya. Namun dirinya ternyata tidak dapat mengelak ketika sebuah hasrat meluluh lantakkan pertahanannya.

Alexander melanggar aturan yang sudah lama ada, dan sejenak menyalahkan keengganannya untuk berdekatan dengan pribumi. Alexander merelakan kedua tangannya meraih lumpur yang ia tau tidak akan mampu berbuat apa-apa, bahkan setelah berdiripun ia masih saja menengok ke arah kubangan bau itu.

"Apapun yang terjadi tidak akan mengubah keadaanmu. Kau akan tetap seperti itu dan aku pun akan tetap berada di tempatku. Bagaimanapun aku akan selalu berada di tempat yang lebih tinggi, sebagaimana mestinya." Kata-kata tersebut jelas merupakan hinaan bagi lumpur itu, namun Alexander mengucapkannya tanpa menyiratkan setetes rasa kasihan pun di wajahnya, sampai akhirnya ia pergi meninggalkan sang lumpur dengan irama langkah yang sama ketika datang dan pulang.

Ketika hati kecilnya sempat berbisik tentang sebuah kesalahan yang mungkin akan membawanya pada nasib buruk, secara tegas dan percaya diri penuh Alexander menjawab bahwa keberuntungan akan selalu berada di pihaknya. Bukankah memang begitu yang terjadi selama ini?

Hingga semusim berlalu dan tidak terasa sudah melewati masa lima bulan. Di sore yang cerah dengan ditemani sahabatnya Norwegent, Alexander berkuda jauh meninggalkan rumah. Ketika matahari kian turun dan perlahan-lahan menuju ufuk barat yang kian memerah, mereka pun sudah berada di perkampungan yang selalu berada dalam ingatannya, yakni sebuah perkampungan pribumi yang ramai dengan penduduk yang selalu bersikap ramah padanya.

Sebelum meninggalkan perkampungan, Alexander meminta Norwegent memutar arah menuju rumah tersebut. Niatnya bukan untuk menemui wanita itu melainkan sekedar untuk mengenang saja.

Mereka kembali menyusuri jalan-jalan sempit yang mengiringi rumah-rumah kayu milik penduduk pribumi. Semakin dekat jarak dengan rumah itu, mereka pun semakin memperlambat laju kuda. Sambil berdecak-decak Alexander menenangkan kudanya yang agak keras kepala. Ia masih menundukkan kepala sebelum mengangkat wajah dan melihat ke arah yang memang ingin dilihatnya. Betapa terkejutnya Alexander menemukan wanita itu dengan perubahan yang begitu kentara. Berbeda sekali dengan yang dilihatnya saat terakhir kali. Kini seluruh tubuhnya lebih berisi, dan hanya dengan sekali pandang saja Alexander tau wanita itu tengah berbadan dua.

Jantungnya berdenyut kencang. Ada secercah kekhawatiran yang membuat Alexander seketika ingin meninggalkan tempat itu. Ketika melihat pada Norwegent, ia menemukan temannya itu pun tengah menatapnya dengan wajah yang tak kalah terkejutnya. Hanya saja Norwegent lebih bisa mengendalikan diri, meski tidak mampu menularkan sedikitpun pada dirinya.

"Sebaiknya kita pergi." Ucap Norwegent kemudian.

Dapat dirasakan oleh Alexander sebuah pengertian yang terselip dibalik kata-kata Norwegent tersebut
Ia pun setuju saja dan mulai memacu kuda sambil merasakan kekeluan yang melandanya beberapa saat kemudian. "Aku tau dirinya tengah mengandung. Tapi, mungkinkah?" Ucap Alexander setelah mereka berada cukup jauh.

Norwegent diam saja. Sepertinya lelaki itu tengah memikirkan sesuatu.

"Apa yang kau fikirkan?" Tanya Alexander.

Hampir terlalu lama dalam keheningan, barulah Norwegent pun angkat bicara. "Aku persis seperti dirimu, saat mengetahui wanita yang kutiduri tengah berbadan dua. Aku bahkan masih belum sepenuhnya percaya sampai beberapa bulan kemudian, yaitu saat wanita itu melahirkan seorang bayi perempuan."

"Apa kau melihat bayi itu?"

"Kurang lebih begitu, Alexander." Sahut Norwegent. Mereka memang selalu menyebut nama bila sedang berdua saja."Dan betapa tak habis pikirnya diriku ini saat menyadari bayi itu sangat menyerupai bayi-bayi yang terlahir sebagai yang berdarah murni." Norwegent menoleh. Kali ini dengan senyum yang terkembang di wajahnya. "Entah karena apa, tiba-tiba aku jatuh cinta pada bayi perempuan itu. Bila saja aku dapat menggambarkannya dengan kata-kata, maka akan kukatakan matanya secerah matahari, kulitnya putih bak awan di langit, dan tangisnya pun menghantuiku di setiap malam."

"Seperti apa persis dirinya?" Alexander sempat berpikir mungkin kecintaannya pada tanah ini telah meruntuhkan dinding pertahanannya. Tapi tidak, ia tau bukan itu alasannya. Alexander hanya ingin menyaksikan seperti apa dirinya setelah tercampur dengan segenap lumpur, meski ia tidak menampik kemungkinan dirinya untuk menelan segenap kekecewaan masih sangatlah besar apa bila nantinya bayi itu berbeda dari yang dikisahkan Norwegent. "Mampirlah ke rumahku sore ini. Ada yang ingin kusampaikan padamu."

"Mengenai apakah itu?" Tanya Norwegent penuh selidik.

"Kukira kau malah sudah menebaknya.*

Sesampainya di rumah, Alexander langsung membuka perbincangan bersama Norwegent. "Beberapa pekan lagi akan ada bayi yang lahir dari perempuan pribumi itu. Tapi aku ingin kau memastikan terlebih dahulu, benarkah benih yang ia kandung itu berasal dari benih yang kulepas secara tidak sengaja, karena mungkin saja itu adalah benih dati dari salah seorang pria pribumi."

"Tapi seperti yang kau tau, suaminya sudah meninggal lebih dari setahun yang lalu." Tutur Norwegent. "Seharusnya dia tidak mungkin mengandung lagi, mengingat tidak ada pria yang tidak memiliki istri di perkampungan itu kecuali pemuda-pemuda tanggung yang tidak mungkin untuk dinikahinya.

"Pastikan saja."

Norwegent mengangguk. "Tentu aku akan melakukannya untukmu, Alexander."

"Kemudian mengenai bayi perempuan yang kau ceritakan tadi, bila kau benar-benar menginginkannya, bawalah dia pulang ke rumahmu."

Norwegent menatap keheranan pada Alexander. "Untuk apakah gerangan kau memintaku melakukan itu. Aku tidak memintanya."

"Tidak bisakah kau berhenti bertanya dan melakukan saja apa yang kuperintahkan?"

"Baiklah. Tapi bukankah ini pantangan keras dari ayahmu?"

"Setelah sekian lama, tempat ini kurang lebih sudah menjadi rumah kedua bagiku. Jadi sudah seharusnya aku tidak hanya mengeruk keuntungan saja, yang semata-mata kulakukan hanya untuk memperkaya diri sendiri."

"Jadi kau..?"

"Aku tidak bermaksud mengkhianati ayahku."

"Apa kau tengah merencanakan sesuatu?" Tebak Norwegent.

"Baru terpikirkan olehku sore ini. Sebuah kerajaan makmur akan berdiri di tanah surga ini dengan penduduk berdarah Casabania yang akan menjadi penghuninya. Bukankah kau sendiri yang bilang, bayi-bayi campuran yang pernah kau lihat itu sangat menyerupai? Kata-katamu telah menerbitkan lebih dari sekedar gagasan di benakku. Cemerlang bukan." Alexander melanjutkan. "Suatu hari nanti di tanah ini tidak ada lagi lumpur, melainkan telah digantikan kaum kulit putih yang menyebar rata."

"Tapi itu bukan perkara mudah. Kau pun pasti mengetahuinya." Sanggah Norwegent."Bahkan bisa kubayangkan seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mewujudkannya."

"Aku sudah memikirkannya. Namun di tahap awal ini setidaknya kita sudah berbagi tanah dengan penduduk pribumi. Kesepakatan itu akan berlanjut terus sampai kita menjadi ramai dan kuat. Seiring berjalannya waktu, aku yakin secara berangsur-angsur mereka akan berkurang, bahkan lari dengan sendirinya. Selanjutnya tempat ini akan sepenuhnya menjadi milik kita. Casabania dengan tanah yang luas dan memiliki matahari di setiap paginya."

Norwegent mengangguk-angguk paham. "Sekarang katakan padaku, apa yang harus aku lakukan?"

"Ambil bayi perempuan itu. Aku membutuhkan sebuah tolok ukur sebagai landasan pemikiranku."

"Baiklah aku akan melakukannya, Alexander. Bagaimanapun aku setuju dengan rencanamu, karena bukan tidak mungkin mereka akan membawa kita pada kejayaan yang jauh lebih besar lagi dari yang sudah kita capai sekarang."

"Batu loncatan. Begitulah istilah tepatnya. Namun tentu saja kau masih harus menutup rapat-rapat mengenai bayi yang akan lahir itu."

"Jangan khawatir percayakan saja semua padaku."***

















LENTERA PADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang