BAB 66

12 1 0
                                    

Aurora merasakan satu sentakan yang membuat jantungnya berdebar seakan baru saja melakukan perjalanan jauh dengan berlarian waktu Aurora yang lain di dalam dirinya disadarkan oleh pertanyaan Ris, yang memberinya semangat barunya setelah beberapa lama hanya diam sambil terkantuk-kantuk mendengarkan celoteh Ris.
"Secepatnya." Kata Aurora dan Aurora yang lain dalam satu suara.

"Aku senang mendengarnya."

Meskipun Ris tersenyum, tetap saja Aurora menemukan kemirisan yang tergambar di wajah wanitanya. Entah sangat jelas atau tidak, kenyataannya hal itu terasa bagai sebilah pedang tumpul yang ditusukkan ke dadanya yang kosong. Namun sayangnya pedang itu hanya bisa menancap tanpa menusuk dengan seutuhnya, sedang yang diinginkannya adalah dirinya benar-benar mati rasa.

Demi hal itu Aurora harus mendorong pedang tersebut dengan tangannya sendiri, tapi kemudian Aurora yang lain menarik pedang itu keluar hingga menyisakan lubang didadanya. Sebuah lubang keragu-raguan.

Kata secepatnya yang diucapkannya tadi, kini seakan memeluknya erat membuatnya sulit bernafas. Masalah Jennifera masih belum benar-benar redam, rasa-rasanya memberi tahukan Dweykey hal ini sekarang hanya akan menambah kesulitannya saja. Apalagi kemarin Dweykey telah pula menegaskan betapa dirinya telah tergesa-gesa dalam bertindak sehingga menimbulkan banyak masalah yang sebenarnya dapat dihindarkan. Tapi siapa yang mau memedulikan ucapannya?

"Sebaiknya kau segera menemui tuan Dweykey Louise dan memberitahunya." Lanjut Ris sebelum berdiri dan menyusun kembali mangkuk-mangkuk kosong beserta mangkuk obat yang sudah melompong itu ke dalam tempatnya.

"Dia benar." Sahut Aurora yang lain. "Kau harus segera memberitahu Dweykey, agar aku tau langkah apa yang akan kau tempuh selanjutnya. Maksudku kita tempuh bersama, Aurora."

"Tapi firasatku mengatakan tidak begitu baik mengenai ini semua." Keluh Aurora.

Ris yang sempat mendengarkan ucapan Aurora, tersenyum sebelum mengeluarkan pendapatnya. "Baik atau buruk adalah satu hal yang kau temui di akhir kisah. Terkadang yang terlihat buruk di depan, bukan tidak mungkin memiliki akhir yang indah." Diapun kembali tersenyum sebelum meninggalkan kamar.

Aurora merenung beberapa saat sambil mengetuk-ngetuk ujung kuku-kukunya ke dataran meja kayu di samping tempat tidur, sementara Aurora yang lain dibiarkannya melangkah keluar sebentar, mencari hawa berbeda untuk dibawanya  ke dalam kamar.

Tak lama kemudian. Masih dengan gayanya yang angkuh, Aurora yang lain menunduk mengikuti bunyi ketukan Aurora yang beraturan. "Sudahlah. Jangan murung begitu. Katanya. "Kita sudah sampai di pertengahan jalan. Jangan ikuti keragu-raguan yang melandamu, Aurora. Percayalah padaku."

Aurora mendongak, memerhatikan sosok yang sangat menyerupai dirinya itu, namun memiliki kepribadian berbeda. Hanya gadis itu yang selalu berada di dekatnya, dan tidak pernah terlalu lama meninggalkannya. Tapi cukupkah itu menjadi alasan untuk percaya sepenuhnya kepada Aurora yang lain?

Tentu saja. Aurora menjawab sendiri kebimbangannya. Bukankah ia sendiri yang sudah sejak lama memutuskan untuk mempercayainya. Aurora yang lainpun sudah membuktikan kesetiaannya dengan memberinya ketegaran, membatunya mengangkat dagu ketika keberaniannya turun hingga ke permukaan tanah.

"Ini saatnya keteguhan hatimu diuji. Jadi jangan melemahkan dirimu sendiri. Teruslah menekan sampai mereka benar-benar tidak berdaya menghadapi mu. Hanya dengan cara ini kau bisa mengendalikan mereka dan meneruskan segala usahamu untuk mencapai impian itu."

"Tapi, tidak terpikirkankah olehmu, Aurora, siapa diriku ini hingga mampu menekan mereka semua." Tanya Aurora gelisah.

"Kau?" Aurora yang lain tertawa, tepatnya menertawakan kegelisahan Aurora. "Kau adalah aku. Aku haus kekuasaan, sedangkan kau haus pengakuan, Aurora. Kita disandingkan oleh takdir untuk menggoyangkan mereka semua. Jika bukan takdir yang menginginkannya, apa kau yakin kita akan bertemu? Tanpa aku, akankah ada orang lain di posisimu ini? Apa kau tau dimana dirimu berada sekarang? Kau berada di depan gerbang kemurnian yang dijaga belasan pengawal, dan kita bahkan telah menumbangkan sebagiannya."

"Benarkah?"

"Tentu saja " Aurora yang lain menajamkan pandangannya ke arah Aurora. "Jadi menurutmu, kita akan terus atau berhenti sampai disini, mengikuti ketakutan mu akan penolakan Dweykey."

"Aku tidak tau."

"Kau memang selalu begitu dan membiarkan aku yang memilih." Cecar Aurora yang lain seakan itu bukan hal yang diinginkannya dari Aurora. "Dan aku memilih untuk terus maju. Bayi itu akan menolong kita, jadi yakinlah. Sekalipun tidak menginginkannya, sesungguhnya dia tidak memiliki pilihan lain. Kau dan aku yang menentukan baginya. Kita akan memaksakan segalanya agar dia memiliki ayah. Benar, tidak?"

Aurora mengangguk antara pasrah dan setuju, namun perdebatan tadi menimbulkan keberaniannya untuk mulai melilitkan lukanya dengan sehelai kain sebelum melapisi tubuhnya dengan gaun terbaiknya. Dipejamkannya kedua mata sebentar, menikmati rasa sakit yang menderanya terus-menerus, dan berdenyut seperti nadi di pergelangan tangannya.

Di penghujung rasa perih yang berlabuh di hilangnya seluruh rasa sakit tersebut, Aurora beserta Aurora yang lain tersenyum menghirup udara, lalu dilangkahkannya kaki keluar kamar mengikuti jalan semu yang telah direncanakannya bersama teman terbaiknya.

Sekarang Aurora baru mengerti kenapa ia tidak pernah bisa bergabung dengan gadis-gadis lainnya. Alasannya karena dirinya memiliki seorang teman yang lebih  bisa membawanya ke keadaan yang lebih baik, sekalipun hanya dirinya sendiri  yang dapat merasakan kehadiran Aurora yang lain.

Namun Disanalah letak kelebihannya. Takdir memanglah keras, namun memberi penerang bagi mereka yang menjalaninya. Dan penerang yang ditentukan bagi dirinya adalah Aurora yang lain, yang apabila ditengok sepintas, kehadirannya lebih menyerupai angin yang akan meniup lilin-lilin yang memberinya cahaya.

"Begitukah keadaanku?"

"Lupakan lilin-lilin itu! Kalaupun aku yang membuatmu hilang dalam kegelapan, bukankah kau sendiri yang telah mempercayaiku? Tapi Aurora, bukankah kau sendiri tau aku memiliki mata yang lebih terang untuk menuntun mu." Dalih Aurora yang lain dengan kalimat yang lebih lunak, meski tetap saja di dalamnya berisi tekanan.***

LENTERA PADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang