BAB 63

3 1 0
                                    

Permintaan dari seorang teman? Kata-kata itukah yang meluluhkannya? Alexander tau dirinya bukan seorang pria yang mudah luluh oleh kata-kata, tapi entah mengapa ia mengiyakan permintaan itu. Mungkin keputusan tersebut lebih disebabkan dirinya ingin menghindar dari permasalahan yang datang terlalu cepat ini. Namun sungguh Alexander tidak memperkirakan akibat dari keputusan tersebut.

Alexander memperkirakan, setibanya di rumah Norwegent tidak langsung melaksanakan rencananya. Pria itu pasti memikirkannya sampai menjelang pagi, sebelum mulai mengumpulkan serdadunya. Dan ketika pagi semakin terang, tanpa melibatkan dirinya dalam rombongan, Norwegent menarik keluar Jennifera. Dia benar-benar menyingkirkan gadis itu dari rombongannya dan melakukannya di hadapan teman-temannya, bahkan tepat di depan kedua mata Rebecca. Jelas sekali Norwegent ingin menampakkan kekuasaannya. Dengan cara itu dia ingin memperingatkan, siapa saja yang bermaksud melukai putri kesayangannya, maka mereka akan menerima perlakuan yang sama dengan yang diterima Jennifera.

Dapat dibayangkan bagaimana berita penangkapan Jennifera selanjutnya menyebar dengan cepat, dan telah pula menyita perhatian banyak orang. Seluruh serdadu, para pelayan, bahkan orang-orang pribumi yang tinggal di sekitar kotapun mengetahuinya. Namun Norwegent sama sekali tidak keberatan dengan hal itu, dan entah mengapa diapun tidak marah ketika orang-orang menatapnya seolah-olah dirinya adalah pria paling keji di muka bumi ini.

Dan hari ini Alexander menemukan Norwegent menjadi sangat berbeda dari kesan yang diciptakannya selama ini atas dirinya. Seperti yang pernah didengarnya dari mulut Norwegent sendiri, pria itu memang sedang menuju arah yang berbanding terbalik dari arahnya

Kembali pada kenyataan yang dialami Alexander, adalah Dweykey yang berdecak-decak di hadapannya tanpa merelakan perhatiannya beralih sedikitpun.

"Papa, kau harus membebaskan Jennifera. Dia tidak bersalah dan tidak melakukan apapun. Temanmu itu hanya ingin menutupi kesalahan putrinya sendiri. Bagaimana bisa kau hanya diam saja seperti ini?"

Alexander memejamkan kedua matanya mendengarkan apa yang keluar dari mulut putranya itu. Yang dikatakan Dweykey memang benar dan setiap patah kata yang diucapkannya mengandung kebenaran, namun tidak mungkin bagi dirinya untuk menyuarakan di hadapan pemuda ini isi perjanjian yang telah disepakati bersama sahabatnya itu, yang menyatakan dirinya tidak ikut campur dalam masalah yang dikatakan Norwegent sebagai persoalan antara dirinya, Jennifera dan Aurora saja. Dan karena beberapa hal yang memaksanya untuk tetap diam, maka Alexander pun tidak ingin melanggar perjanjian tersebut.

Sungguh. Meskipun kejadian ini begitu mendilemakan, Alexander akan tetap berdiri kukuh seperti yang sedang dilakukannya. Waktu dan ingatan memaksanya bersikap demikian. Mereka seperti tumpukan tanah yang menimpa kedua kakinya. Bila waktu adalah tanah, maka ingatan menjadi sesuatu yang melemahkan tenaganya hingga dirinya membutuhkan kekuatan lebih untuk melangkahkan kakinya. Norwegent mengaduk-aduk keduanya hingga yang mampu dilakukannya hanyalah diam, membiarkan dirinya tenggelam dalam tumpukan tanah, meski bukan dikarenakan rasa nyaman.

Tentu saja Alexander ingin terbebas dari keadaan itu. Lebih-lebih dirinyapun harus berhadapan dengan sikap Rebecca yang menambah-nambah penderitaannya. Rebecca berikut sorot matanya yang memilukan, menghadirkan pula penyesalan ke dalam hatinya yang tidak bisa dielakkan. Kalau saja dirinya harus jatuh dan berlutut dihadapan Dweykey untuk meminta maaf, di hadapan Rebecca Alexander merasa dirinya lebih pantas untuk bersujud demi mendapatkan sedikit maaf.

Jennifera sangatlah berarti untuk Rebecca. Mereka bersahabat sejak lama untuk arti persahabatan yang dalam, lebih dari sekedar pelipur lara. Tapi yang dilakukannya justru membiarkan mereka terpisah demi mengikuti keegoisan Norwegent. ***

LENTERA PADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang