BAB 21

5 1 0
                                    

Cukup berjalan beberapa langkah, Suryani sudah sampai di tempat tidur Rebecca yang berada dalam keadaan setengah tertidur waktu bertanya, "ada apa?"

"Aku tidak bisa tidur. Sesuatu yang sedari tadi mengganjal pikiranku ini, rasanya sangat mengganggu." Jelas Suryanie sambil memandangi Rebecca yang berangsur-angsur bangun, kemudian duduk tegak dengan mata terbuka sebelah.

"Apa yang mengganggumu?"

"Jennifera. Aku mengkhawatirkan dirinya. Apakah dia benar-benar tidak menyukai Dweykey? Bagaimana kalau yang terjadi malah sebaliknya?"

Pertanyaan itu benar-benar melenyapkan rasa kantuk yang sedari tadi menggantung di mata Rebecca yang berubah menjadi sangat nyalang dalam keremangan cahaya lilin dari samping tempat tidurnya. "Menurutmu bagaimana?"

Suryanie yang berdiri setengah membungkuk disamping tempat tidur dengan perasaan tidak nyaman itu menjawab setengah berbisik. "Aku tidak terlalu yakin. Mungkin aku hanya terlalu khawatir padanya."

"Kemarilah." Rebecca menawari Suryanie sebagian tempat tidurnya. "Aku mengerti, aku pun tidak mau Jennifera berakhir sama seperti Aurora. Tapi percayalah, sebelum hal itu terjadi Dweykey benar-benar harus memikirkan tindakannya."

"Memangnya apa yg bisa kita perbuat?" Tanya Suryani setelah duduk dan berbagi selimut di bagian kaki agar tak kedinginan.

Rebecca menghela nafas. "Entahlah. Tapi aku merasa ada sesuatu yang mendorongku untuk yakin dan percaya bahwa Dweykey tidak berniat menyakiti Jennifera."

"Semoga saja memang begitu."

"Ya, semoga saja. Tapi satu hal yang tak bisa kupahami, kenapa aku bisa dengan begitu saja menunjukkan sikapku di hadapan Dweykey, seakan-akan aku tau dia tidak sepenuhnya membenciku. Malah dapat kurasakan seberapa kuat keinginannya untuk memancingku sampai ke titik terjauh yang bisa dilakukannya, walau sampai detik ini aku tidak benar-benar yakin alasannya melakukan itu semua." Rebecca menuturkan sengan suara yang berat.

Selama berbicara, Rebecca yang beberapa menit lalu merubah posisi duduknya dengan cara memeluk lutut dan menopangkan dagu di atas salah satunya, membuat wajahnya bergerak naik-turun setiap kali ia berkata-kata.

Suryani tersenyum memerhatikan Rebecca. Meski terlihat lucu sama sekali ia tidak bisa menampik betapa mempesonanya Rebbecca. Mungkin Rebecca belum menyadari kecantikan serta keberaniannya yang mampu membuat siapa saja tertegun. Akan tetapi tentang dari mana Rebecca mendapatkannya, masih diraba-raba oleh Suryanie bersama logikanya. Ia yakin semua teman dikelas mereka merasakan hal yang sama dan Dwekeypun termasuk pula didalamnya. Menurut Suryani, bisa jadi Dweykey sebenarnya tertarik kepada Rebecca, hanya saja ketertarikannya menjurus kepada hal yang menyimpang, yaitu pertengkaran yang melibatkan sindiran-sindiran yang terkadang terasa bagai tamparan keras.

"Apa kau Tau?" Ucapan Rebecca menghentikan lamunan Suryanie. Wajahnya kini sudah terangkat dari atas lurutnya. "Belakangan ini ketakutanku akan kata ayah semakin menjadi-jadi. Awalnya adalah kejadian sore itu."

"Rebecca."

"Apa?" Rebecca menolehkan ke arah Suryanie.

Tapi Suryanie tidak segera menjawab. Ia ragu, apa yang sebaiknya dikatakan mengenai kejadian itu. Meski dari kejauhan ia dapat merasakan kekhawatiran yang tersimpan dibalik tatapan Alexander yang tertuju pada Rebecca, tapi sampai hari ini dirinya belum juga mengerti mengapa pria itu bersikap sedemikian rupa. "Dulu kau pernah bilang, ketakutan itu menandakan sesuatu. Kita menganggap buruk sesuatu yang membuat kita takut, padahal yang terjadi bisa saja sebaliknya. Apa kau masih ingat?"

"Ya, tapi kukira waktu mengucapkan kata-kata itu aku hanya pandai bicara saja, walau sekarang aku mengerti sepenuhnya."

Sejenak mereka terdiam. "Kenapa kita tidak mengajak Jennifera dalam perbincangan kali ini?"Suryanie memecah kesunyian dengan kata-katanya. "Atau jangan-jangan Dweykeypun telah membuat kita mengkhianati Jennifera."

Rebecca menanggapi gurauan tersebut dengan melempar selimut pada Suryani. Tapi baru saja kaki-kaki keduanya mendarat di lantai, suara berisik yang berasal dari gesekan daun pintu dengan papan tebal sebagai penahannya membuat keduanya langsung menahan gerakan.

"Kau dengar itu?" Bisik Rebecca ke telinga Suryani sementara bola matanya tertuju pada daun pintu. "Sepertinya ada yang mencoba menyelinap ke dalam asrama kita.

"Menurutmu siapa?" Kedua mata Suryanie pun melotot ke arah pintu. "Beanahna? Di saat gerimis begini?" Suryanie menggeleng ragu meski di dalam hati ia berharap si pengacau itu benar-benar Beanahna yang biasanya sesekali datang untuk sekedar mengawasi.

Rebecca belum sempat menjawab waktu satu daun pintu terbuka. Tapi sebelum tamu tak diundang itu menyadari keadaan di dalam ruangan, keduanya bergegas naik ke atas ranjang kemudian meringkuk setelah membungkus sekujur tubuh dengan selimut, dan berharap siapapun yang datang itu tidak akan menyadari ada satu ranjang yang terlentang kosong tanpa
penghuni.

Dari langkah-langkah sepatu yang terdengar berat melewati ranjang yang mereka tempati, keduanya langsung menepis pergi seluruh dugaan mengenai Beanahna. Dan dari situ pula mereka tau, bukan hanya satu, melainkan dua sampai tiga orang yang masuk ke dalam. Semuanya adalah pria yang berbincang satu sama lain, tanpa mengkhawatirkan suara mereka akan membangunkan gadis-gadis yang sedang terlelap.

Waktu langkah-langkah itu berhenti, ruanganpun kembali senyap, sebelum dikacaukan lagi oleh derik salah satu ranjang yang melepaskan bebannya. Sempat pula terdengar satu jeritan yang langsung dibungkamkan oleh telapak tangan. Akhirnya langkah-langkah itu bergerak menuju pintu yang diakhiri dengan suara daun pintu yang kembali merapat.

"Mereka membawa Jennifera!" Jerit salah seorang gadis yang ranjangnya bersebelahan dengan Jennifera.

Spontan saja jeritan itu membangunkan yang lainnya. Mereka menyingkap selimut dan duduk di atas ranjang sambil menatap sekeliling dengan wajah terkejut dan bingung.*

Jennifera! Pekik Aurora dalam hati. Kedua matanya yang masih mengantuk langsung terbuka terang, dan seketika itu juga pikirannya terbang menuju Dweykey. Walau berat mengakuinya, ia tak bisa menolak kemungkinan bahwa para serdadu itu menjemput Jennifera atas suruhan Dweykey. Apapun cara yang dilakukan Dweykey, atau kepada siapapun dia memerintahkannya, kenyataan Dweykey menginginkan pertemuan dengan gadis lain, benar-benar menghancurkan hati Aurora.

Aurora menoleh pada Suryanie yang tengah menatapnya. Di sampingnya, wajah Rebecca menyembul dari balik selimut. Aurora tau apa yang tengah dipikirkan kedua teman baik Jennifera itu. Yang jelas mereka tidak akan mengasihani dirinya, meski iapun tidak berharap dikasihani oleh mereka berdua.

Aurora sudah menangis waktu menjatuhkan kembali kepalanya ke atas bantal, dan terus menangis sampai hidungnya terasa perih. Untuk alasan apapun Aurora sebenarnya bukanlah orang yang mudah meneteskan air mata, tapi malam ini yang terjadi justru sebaliknya. Ia bahkan tak kuasa membendung tangisnya dan semuanya kini terasa berbeda. Dengan seketika air matanya tumpah ruah dan semakin sulit untuk dihentikan setiap kali ingat rasa perih yang dihadiahkan Dweykey.

Aku sering bertanya-tanya sendiri Mengapa harus ada air mata, jika itu hanya untuk memberitaukan semua orang bahwa diriku tengah bersedih
Terluka...
Dan tidak berniat hidup sampai besok

Aku memang tidak berharap ada yang mengasihani aku
Tapi sekarang aku tak tau lagi
Seperti apa lagi yang harus kuperbuat setelah perih beruntun mendatangiku
Kecuali berusaha yakin akan ada sesuatu di ujung jalan curam yang telah kupilih ini
Dan dalam doa di malam yang hening
Aku selalu berharap menemukan kebahagiaanku

Aku tau
Diriku tidak menunggu-nunggu tanpa alasan
Aku menunggu waktu yang paling tepat
Seperti air sungai yang menanti waktunya untuk naik dan mengalir jauh hingga ke lautan
Aku yakin diriku pun pasti akan naik
Karena memang seperti itulah yang kuharapkan

Meski tau diriku mampu pulang
Aku lebih memilih tersesat dan mendengar bisik-bisik angin
Yang berkata...
Yang kulakukan adalah benar
Hingga aku pun akan terus menunggu.***

LENTERA PADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang