Saat yang dinantikannya datang juga. Dweykey tidak akan membuang kesempatan itu dengan membiarkan mereka lari lagi sebelum mendapatkan kesan darinya. "Calon Selir!"
Para gadis setengah di sekitar tempat itu terkejut. Hampir semua dari mereka, termasuk Rebecca dan kedua temannya berhenti melangkah dan serentak mengangkat wajah menyoroti seseorang yang baru saja menyerukan kata calon selir dengan begitu lantang. Rebecca menahan tatapannya tepat ke arah Dweykey, menunggu sampai pemuda itu lebih mendekati. Tadi dia sempat terbelalak sebentar, namun dia berharap Dweykey tidak pernah menyadari seruan itu pun membuat jantungnya seakan mau pecah.
"Calon Selir." Ulang Dweykey, kali ini matanya melirik Jennifera dan sebisa mungkin terlihat meyakinkan.
"Dia hanya bergurau." Jennifera menyangkal cepat sebelum akhirnya tertunduk.
Sesuai sekali dengan dugaannya, namun beberapa kata itu tidak cukup untuk mematahkan semangatnya siang ini. "Aku tidak bergurau saat mengatakannya, Jennifera. Kau tau itu." Katanya dengan mimik serius.
"Kau bahkan masih menempati posisi calon raja untuk menunjuk sahabatku sebagai calon selirmu." Tukas Rebecca.
Pemberang kecil ini mulai membuka mulut besarnya... Dweykey tertawa dalam hati. "Tidak kusangka akhirnya kau membawaku kembali pada alur yang kusuka."
Rebecca mendengus tapi Dweykey lebih ingin terlihat menyeringai dari pada menghiraukan sikap gadis itu. "Kemarilah, Calon Selirku. " Dweykey melirik lagi dengan cara yang sama pada gadis yang dia jadikan umpan untuk menjerat Rebecca.
"Tidak. Kau tidak boleh berbuat semaumu." Cegah Rebecca.
"Ada apa denganmu?" Dweykey menatap Rebecca dengan berpura-pura kesal. "Apa kau juga ingin menjadi salah satu selirku?" Tudingnya, termasuk juga pada Suryanie, lalu dilihatnya wajah Rebecca memerah menahan marah.
"Kau membuatku geli." Sahut Rebecca.
"Tidak, kau tidak sedang kegelian. Tapi aku tidak berniat membuatmu marah, cemburu atau apalah namanya."
"Kau benar-benar sudah kehabisan cara untuk mempertahankan kewarasanmu."
Dan Dweykey justru sadar ini semakin seru saja. "Mungkin."
"Lalu Jennifera? Haruskah dia kau jadikan korban ketidakwarasanmu itu?"
"Aku menyukainya. Apa kau keberatan?"
"Berhenti berpura-pura Dweykey!"
Dweykey tersenyum. Rebecca baru saja berusaha menjatuhkannya lewat teriakan itu. Kalau saja dirinya seorang gadis bertubuh tinggi kurus seperti Rebecca itu sendiri, atau siapa saja diantara mereka, mungkin saja teriakan itu mampu mendorongnya mundur bahkan lari terbirit-birit. Tapi jelas posisinya jauh lebih kuat, lagi pula sekarang ia semakin terbiasa dan tidak terkejut lagi menghadapi gadis dengan kilatan mata menyala-nyala dan suara bernada tinggi itu. Semua pasti berkat gadis itu sendiri. "Aku tidak berpura-pura. Kau saja yang menganggapnya begitu. Seharusnya kau senang Jennifera menjadi selirku. Nanti di hari pertama aku mendapatkan tahta, hari itu pula kau mengunjunginya, menyuruhnya meracuniku. Benar tidak?" Tutur Dweykey bertele-tele. Bila niatnya untuk membuat Rebecca marah, ia sudah jauh meninggalkan kata menang. Tapi yang diinginkannya lebih dari itu.
"Kau baru saja menunjukkan jalannya." Sahut Rebecca ketus. "Dan aku sama sekali tidak terkejut mendengarnya."
"Lihat, bagaimana kau berusaha membununku. Padahal, aku selalu merindukanmu."
"Kau semakin membuatku muak."
Dweykey terkekeh, kemarahan itu membuat Rebecca terlihat seperti tengah diliputi kabut asap hitam. "Terserahlah. Aku hanya menginginkan calon selirku." Dengan cepat tangannya bergerak untuk meraih pergelangan Jennifera yang sedari tadi berdiri kaku di samping Rebecca. Namun dengan gerakan yang tak kalah cepatnya pula, Rebecca menepis tangan Dweykey.
"Tarik tangan kotormu itu darinya."
Dweykey menghela nafas, lalu menopangkan kedua lengannya di pinggang sambil terus memerhatikan Rebecca.
"Jawab pertanyaanku dulu."
Ini dia yang ditunggu-tunggu Dweykey. "Apa itu tanyanya berlagak tolol."
"Untuk apa kau melakukan semua ini?"
"Untukmu?" Dweykey balik bertanya.
"Aku menuntut penjelasanmu, Dweykey."
"Aku malah ingin kau memberitauku, apa yang kau pikirkan mengenai ini semua. Barangkali saja kau benar. Itu menandakan bukan hanya keberanian saja modal hidupmu." Dweykey berharap ini akan membuat Rebecca semakin kepanasan, tapi dia salah. Rebecca malah dengan mudah dapat menangkap maksudnya.
"Bagaimana kalau sekarang aku sudah tidak ingin tau lagi."
"Tapi aku tau kau masih menginginkannya."
"Tidak." Rebecca menegaskan dan berpaling. Sudut-sudut bibirnya yang menghujam ke bawah, menegaskan bahwa dirinya memang tidak tertarik lagi. Tapi kalau dia berfikir Dweykey sudah kehabisan cara, maka dia benar-benar harus menelan kekecewaan.
"Kau masih ingin tau, karena ini menyangkut dirimu."
"Kalau begitu, kenapa tidak kau katakan saja."
Dweykey tersenyum. Umpan kosongnya langsung disergap Rebecca. "Aku ingin kau menebaknya."
"Tapi aku tidak akan menebak apapun. Aku tau kau sengaja menjadikan aku sebagai alat untuk membunuh kebosananmu. Begitu bukan?"
"Kau benar di separuhnya. Tapi itu dulu sebelum aku lebih mengenalmu. Lantas, atas dasar apa kau bersikap seperti ini terhadapku? Bila kau cukup cerdas untuk memahami, katakan sesuatu." Lewat kedua mata Rebecca yang terbelalak seakan tak percaya apa yang dia dengar, kali ini Dweykey berani memastikan kata-katanya berhasil menghantam batin Rebecca.
"Kau belum sampai semusim berada disini, bagaimana bisa kau begitu yakin sudah mengenal diriku?"
"Tidak masalah berapa lama waktu yang diperlukan, kepekaaan membawaku mengetahuinya. Kau pun tentu mengetahuinya, tapi kau menampiknya demi mempertahankan kemarahanmu. Kau menutup rapat-rapat telingamu agar tidak dapat mendengarkan bisik-bisik hati kecilmu sendiri." Serangan Dweykey kali ini benar-benar membuat Rebecca diam tak berkutik. "Aku benar bukan? Dan karena kau kalah, kau tidak berhak menyekap calon selirku. Dweykey langsung menyeret Jennifera dengan senyum penuh kemenangan.*
Berbeda dengan waktu itu, kali ini Dweykey melepas pergelangan Jennifera sebelum gadis itu meneriakinya. Mengetahui Jennifera tidak bergerak mengikutinya lagi, Dweykey menoleh dan menemukan Jennifera hanya berdiri terpaku dan nampak nampak kesal. Telapak tangannya mengepal di kedua tangan yang lurus menunjuk bumi.
"Kapan kau berhenti memperlakukanku seperti ini, Dweykey!" Pekik Jennifera akhirnya.
Namun keinginan Dweykey untuk membalasnya sangat kecil sekali bahkan nyaris tak ada, selain hanya menatap nanar pada Jennifera. "Entahlah. Tapi aku tidak merasa sedang memperalatmu. Dan mengenai selir itu, aku bersungguh-sungguh atas ucapanku." Setelah itu Dweykey berbalik, dan sebentar kemudian tubuhnya menghilang dibalik barisan pagar Darnelia Castle.
Sambil bersiul kecil Dweykey menyeberangi jalan. Dia ingin secepatnya berada di rumah untuk menikmati saat-saat kemenangan ini. Dia akan mengatakaan pada Alexander kalau dirinya berhasil mendepak putri yang tidak pernah diakui ayahnya itu dari singgasana kemenangan yang memang sangat nyaman ini.
Dari arah jalan yang mengarah ke rumah Norwegen, Dweykey melihat pria itu berkuda bersama keponakannya, Ilymush Elliot. Dia sudah cukup tau mengenai kedekatan Norwegen dengan keponakannya ini, jadi kebersamaan mereka siang ini tidaklah aneh dimatanya.
Setelah menaiki beranda rumahnya, Dweykey menoleh lagi ke belakang. Norwegen dan Ilymush tersenyum penuh hormat kepadanya, seperti yang memang seharusnya mereka lakukan. Dan Dweykeypun melakukan apa yang seharusnya dia lakukan, yaitu menaikkan dagunya seraya membalas senyuman itu dengan percaya diri penuh.***
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA PADAM
Fiction HistoriquePertengahan musim gugur di kota London yang tertutup awan mendung, Constantine Louise duduk di samping ibunya dalam kereta kuda yang membawa mereka meninggalkan Collegiate Church st. Peters yang tampak menawan di bawah gerimis. Manakala matanya mena...