Dweykey tidak melepaskan Jennifera dari genggamannya, bahkan sampai dirinya berjalan cukup jauh meninggalkan Rebecca dan Suryanie yang terpaku memerhatikan Jennifera yang terpontang-panting dibelakangnya, berusaha menyeimbangkan langkah sambil sesekali menoleh ke belakang.
Kalau saja tubuhnya dapat menolak apa yang ada di pikirannya, Dweykey pasti memilih untuk tidak mengikuti mereka, apalagi sampai memulai peperangan tadi. Baginya terlalu memuakkan menyadari dirinya harus terus-terusan menghadapi kenyataan, Rebecca akan selalu menang di setiap pertarungan mereka. Rebecca adalah bakat sempurna yang diturunkan Alexander. Satu kenyataan yang sampai hari ini tidak bisa diterima ayahnya itu sebaik apa yang mampu dilakukannya.
Rebecca, gadis setengah tanpa nama belakang, yang apabila ia tau siapa ayahnya maka bisa dipastikan ia lebih memilih mati itu, sekali lagi membuat Dweykey meradang. Dweykey menggeram, di dalam hati maupun yang terlihat. Kalau bukan karena alasan tertentu pasti sudah dikatakannya yang sebenarnya agar Rebecca benar-benar lenyap dari hadapannya.
"Kau bisa mematahkan pergelanganku!" Teriak Jennifera setelah cukup lama membisu dan terluntang-lantung di belakang Dweykey.
Dweykey tersentak. Langkah seketika terhenti dan serta merta ia melemparkan seseorang yang baru berkomentar itu jauh ke depan. "Kau?!" Ia menatap terperangah seolah tak percaya tangan kanannya sedari tadi mencengkram lengan Jennifera. "Maaf aku benar-benar lupa, bahkan tidak menyadarinya."
"Aku tau." Jennifera menyahut dengan wajah keruh ia menunduk lalu menggosok-gosok pergelangan kirinya yang memerah dan terasa panas.
Dweykey menatap terkesima. Alis Jennifera bertaut hingga sangat dekat dan nyaris menyatu itu, semakin menambah keindahan di wajahnya. Dweykey memang bukan type pemuda yang bisa menyembunyikan kekagumannya. Apabila menyukai sesuatu, ia tak segan mengakui dengan berkata apa adanya. Tapi kali ini permasalahannya sedikit berbeda. Pengakuannya cukup di dalam hati. Hanya saja yang membuatnya terheran-heran mengapa dirinya tidak menyadari hal ini sejak semalam. "Maafkan aku." Ucapnya sekali lagi, namun sudah tidak lagi menatap Jennifera.
"Kau harus tau aku tidak mengharap kata-kata seperti itu meluncur dari mulutmu."
"Apa?" Dweykey kembali pada Jennifera dengan menyipitkan matanya. "Jennifera, kau seharusnya tau dirimu tidak sekuat itu untuk berdebat denganku. Dan harus kau ingat ada sesuatu yang membuat Rebecca dan aku tidak akan pernah saling menyukai satu sama lain. Hal yang tidak bisa kau miliki sampai kapanpun."
"Aku tidak menyukaimu, Dweykey."
"Kau benar-benar membuatku ingin tertawa."
"Tapi aku bersungguh-sungguh." Jennifera menegaskan dan tampak sangat kesal. "Aku tidak sama dengan Aurora."
Dweykey mendekati Jennifera. Cukup dekat untuk membuat tubuh yang sempat ia lempar beberapa waktu yang lalu itu, terdiam kaku layaknya patung batu. "Ada alasan lain, Jennifera. Alasan yang bagiku jauh lebih besar dari kenangan masa lalumu itu."
"Lebih?" Jennifera mendongak.
"Beri aku alasan yang dapat memaksaku menceritakannya padamu."
"Karena aku ingin tau."
"Bolehkah aku memanggilmu Gadis Setengah Yang Tolol?" Tanya Dweyeky sambil menyeringai. Sekarang kuijinkan kau mengadu pada pahlawan kecilmu itu." Kemudian dilihatnya sekilas senyuman menghiasi wajah Jennifera yang serta merta membuatnya ikut tersenyum.
"Apakah Rebecca sudah mengetahui hal yang tidak ingin kau beritaukan kepadaku itu?"
"Aku juga tidak ingin memberitaumu mengenai keduanya." Jawab Dweykey saat mulai melangkah meninggalkan Jennifera.
"Aku memang tidak cukup kuat untuk berdebat, tapi aku akan mencari tau!" Jerit Jennifera, dan sekali lagi, "meski tanpa kau beritau!" Itu menjadi yang terakhir.
"Dweykey yang sudah berada di seberang jalan menoleh, "Silakan saja, Nona Setengah Yang Tolol!"*
Mengapa aku yang harus melihatnya,
Mendapatimu tengah menggenggam tangan gadis lain?
Aku bisa merasakan cengkraman yang sangat kuat itu
Namun tak kumiliki kekuatan di dalam diriku untuk melepasnyaApalagi yang harus kulakukan disaat kau memunggungiku?
Aku layaknya sesuatu yang tidak akan pernah ingin kau lihat lagiTaukah dia
Apa yang dilakukannya, dan yang dikatakannya, tidak pernah kulupa?
Dari sana seharusnya dia mengerti
Seberapa besar bebanku iniDia tidak seharusnya menggantikan aku dengan siapapun
Tidak juga menjadikan aku pilihan
Yang hanya untuk dicampakkan
Lalu menaruh hatinya yang bebas kepada orang lainDisini aku melihatnya melakukan semua itu
Menyadarinya dalam terang
Dan menangisinya dalam gelap
Namun dia tidak akan pernah menyadarinyaYang dia tau hanyalah sebagian kecil keinginanku untuk menjadi murni
Dia tidak pernah melihat disaat aku kuat untuk membela harapanku
Atau ketika aku lemah di dalam keputusasaanku.Sekarang sebut saja
Akan ku usahakan untuk melakukannyaTerkadang disaat kekecewaàn merayapiku dengan segala siksaannya
Langkahku akan semakin kuat menapaki jalanan
Jadi cepat beritau aku, apa yang harus kulakukan. ***
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA PADAM
Historical FictionPertengahan musim gugur di kota London yang tertutup awan mendung, Constantine Louise duduk di samping ibunya dalam kereta kuda yang membawa mereka meninggalkan Collegiate Church st. Peters yang tampak menawan di bawah gerimis. Manakala matanya mena...