Kemarin malam, tepatnya tengah malam buta Alexander disadarkan oleh suara ragu-ragu seorang pelayan yang menyampaikan, ada orang yang ingin bertemu dengannya. Awalnya ia mengira orang itu adalah Dweykey. Namun ketika sedang mengenakan mantel, pikirannya berubah. Dweykey tidak mungkin menemuinya pada jam-jam seperti itu, dan dugaannya ternyata benar karena yang ditemuinya beberapa saat kemudian adalah Norwegent dengan kemarahan yang tidak bisa ditebak kadarnya, yang memastikan dirinya harus di bawa ke dalam pembicaraan yang lebih menenangkan. Namun Norwegent menolak pengalihan itu dan memilih untuk langsung menuju inti kecemasannya. Setelah itu barulah Alexander menyadari, sebentuk kemarahan yang ditemukannya ketika pertama kali melihat Norwegent, sebenarnya adalah raut kebingungan yang teramat sangat.
"Ada apa?" Tanya Alexander seraya mengikat tali mantelnya ke depan pinggang. "Tidak biasanya kau datang selarut ini. Bukannya aku keberatan, tapi ada apa?"
"Lihat ini." Norwegent mendorong tangan kanannya ke udara, tepat di depan hidung Alexander.
Mula-mula yang tampak hanya telapak tangan Norwegent saja, sebelum perlahan-lahan tatapan Alexander mulai dikacaukan oleh piasan noda berwarna merah diujung-ujung renda lengan baju yang dikenakan pria itu.
"Darah siapa itu?"Alexander tidak akan khawatir bila Norwegent membunuh siapapun, asalkan bukan orang-orang di dalam rumahnya karena itu terlalu mengerikan. Negri Casabania tidak pernah mengajarkan para ksatrianya untuk melukai orang-orang disekitar mereka, kecuali musuh. Dan musuh adalah orang-orang yang tidak berada di dalam rumah.
"Aurora terluka." Norwegent langsung terduduk.
Alexander terkesiap tapi kemudian wajahnya kembali tenang. "Tenangkan dirimu dulu sebelum menjelaskan semuanya."
"Kau?"
"Bukan seperti itu."
"Tapi bagaimana kau bisa menanggapi ku setenang itu?"Dari tempat duduknya Norwegent menatap lekat-lekat pada Alexander. Mata coklatnya yang berupa sekali dengan milik putrinya itu menjelaskan, bahwa ada masalah yang begitu pelik tengah meliputi dirinya. "Kau tau? Penyebabnya adalah putramu. Tapi aku tidak ingin menyalahkan siapapun sekarang. Aku hanya meminta kerendahan hatimu untuk tidak..."
"Apa yang sedang kau bicarakan?" Tanya Alexander yang kebingungan oleh penjelasan yang bertubi-tubi itu. Namun sungguh, permintaan Norwegent selanjutnya malah lebih memberatkannya dari pada pria itu menyalahkannya atas segala yang telah ia perbuat.
"Begini," Norwegent diam sejenak menikmati beberapa tarikan nafasnya yang panjang. "Aku tidak mau menyebutmu sebagai satu-satunya dalang dari semua ini, Alexander, karena kita berdualah yang memulainya. Aku yang mengatakan padamu, betapa aku jatuh hati kepada bayi yang kini besar dengan nama Aurora itu. Betapa senangnya diriku ketika kau memperbolehkanku membawanya pulang, sekalipun aku tau ini hanya caramu untuk semakin menjeratku ke dalam segala sesuatu yang kau rancang bagi dirimu sendiri. Mungkin sebagian kecil kau limpahkan kepadaku, temanmu ini, dan sejauh ini aku tidak pernah keberatan. Namun kiranya belakangan ini kau merusak apa yang telah berjalan sekian lama, dan itu menempatkan kita di dua jalan yang berbeda arah."
Mereka berdua sama-sama menghela nafas, menyadari semua itu terjadi begitu saja tanpa ada niat di hati masing-masing untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Mereka berdua hanya terlalu jauh mengikuti perasaan sebagai pria-pria yang telah lama kedap oleh rasa sayang. Dan orang-orang yang membelokkan mereka pun hadir tanpa disengaja, bahkan sebagiannya ada yang tidak ingin menjadi salah satunya.
"Terlepas dari masalah antara kita berdua walau sebenarnya masih memiliki sangkut paut, putriku dan putramu memiliki sedikit problema." Norwegent melanjutkan. "Kau tau putriku mencintai putramu, namun putramu mencintai gadis lain yang entah bagaimana perasaannya terhadap putramu itu. Dari sanalah awal kemelut yang kurasakan malam ini." Norwegent menatap Alexander dengan mengangkat satu alisnya, kemudian matanya beralih sebentar pada lukisan yang bergantung di dinding di belakang Alexander. "Karena rasa cintanya, Aurora membenci gadis itu dan hampir saja membunuhnya."
Alexander tercekat mendengarnya. "Benarkah?"
Norwegent mengangguk pelan sebelum wajahnya terpaku ke bawah. Ia kemudian mengangkat telapak tangan dan menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Setelah cukup lama, perlahan-lahan tangannya bergerak naik merayapi kening hingga ke puncak kepala dan menahannya sebentar disana. "Aku belum pernah setakut ini, Alexander. Aku takut sekali membayangkan diriku harus berhadapan dengan putriku dengan keadaannya itu. Dia mendapat dorongan yang begitu besar dari kemarahannya sendiri. Sungguh aku belum pernah melihat gadis dengan kesadarannya sendiri tiba-tiba menjadi begitu kuat, lalu dalam waktu yang sebentar saja berubah menjadi sangat lemah, sampai-sampai aku tak memiliki keberanian untuk menyentuhnya. Namun dia tetaplah putriku. Aku sudah menetapkannya sejak empatbelas tahun silam. Dan kini dia menuntut bukti pengorbananku untuknya. Bukti yang lebih besar lagi." Norwegent berhenti sebentar memikirkan apa yang ingin dikatakannya. "Aku akan melakukan semuanya untuk Aurora, termasuk menemuimu di tengah malam begini."
"Ya, kau telah melakukannya."
"Dan kuharap kau menghargainya dan dapat memenuhi permintaanku kali ini, Alexander."
"Apa itu?" Alexander menjawab dengan perasaan ragu. "Aku akan memikirkannya."
"Tidak ada waktu lagi untuk berpikir."
"Sesegera itukah?"
Norwegent mengangguk. "Setidaknya bagiku." Ia mengepal kedua telapak tangannya di atas pengkuan. "Kau telah menarik begitu banyak gadis-gadis campuran itu untuk sekedar menuruti kehendak mu atas seorang gadis, bila kau tidak ingin kusebut dia adalah putrimu. Dan malam ini kuharap kau membiarkanku mengorbankan satu orang gadis dari sekian banyak gadis itu demi putriku. Satu saja. Anggaplah sebagai hadiah yang kau berikan untukku atas tidak ada satu rahasia pun yang terbongkar dari mulutku ini selama bertahun-tahun."
"Gadis yang kau maksud itu Jennifera?
"Kau bahkan mengetahui namanya." Norwegent menatap nanar pada Alexander. "Entah karena Dweykey atau Rebecca."
"Karena putriku."
"Ya, putrimu. Rebecca Louise itu, Bukan?"
"Aku belum mencantumkan namaku untuknya."
"Tapi sikapmu lebih dari mencantumkan namamu di belakang namanya."
"Terserahlah." Kata Alexander yang tidak ingin memperpanjang masalah tersebut.
"Jadi bagaimana dengan Jennifera?" Alexander mengembalikan mereka pada pokok permasalahan. Ia tau waktu membahas masalah Jennifera tadi Norwegent tidak sedang bermain-main. Apalagi pria itu menyebut kata mengorbankan dengan sangat tegas. Meski tanpa pengulangan, kata itu terdengar berulang-ulang di telinga Alexander.
"Aku tidak ingin mengecewakan Aurora, makanya aku harus menyeret Jennifera keluar dari rombongannya."
"Tidak mungkin. Itu akan menimbulkan kemarahan anak-anak lain."
"Aku tidak peduli Alexander. Kaupun begitu ketika menarik mereka masuk kemari. Apa kau pernah mempertimbangkan kemarahan mereka saat kau memisahkan mereka dari ibu-ibu mereka? Dan kau juga melakukannya demi putrimu, Bukan?"
"Waktu itu mereka terlalu kecil untuk menyuarakan ketidak sukaan mereka. Berbeda dengan sekarang."
"Apa bedanya? Dan sejak kapan kau mulai mendengarkan protes mereka?"
"Bila aku tidak menyetujuinya bukan karena aku tidak menghargai mu, Norwegent. Setidaknya karena aku ingin memperbaiki kesalahaku terdahulu."
"Kumohon kau memenuhi permintaan dari seorang teman, Alexander."***
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA PADAM
Historical FictionPertengahan musim gugur di kota London yang tertutup awan mendung, Constantine Louise duduk di samping ibunya dalam kereta kuda yang membawa mereka meninggalkan Collegiate Church st. Peters yang tampak menawan di bawah gerimis. Manakala matanya mena...