Dweykey meminta Jennifera naik ke atas punggung kuda dan Jennifera melakukannya tanpa membantah, selanjutnya ia sendiri memposisikan tubuhnya di belakang dan merengkuhkan tubuhnya di sekeliling Jennifera.
Tadi banyak sekali mata yang memerhatikan mereka, salah satunya adalah sepasang mata milik ayah Dweykey, Alexander Louise, yang membuat Jennifera sangatlah tidak bernyali untuk mengangkat wajahnya selama Dweykey menyeretnya menuju kuda jantan itu.
"Kemanakah kita akan pergi?" Tanya Jennifera setelah Dweykey menggerakkan kuda itu perlahan-lahan. Jennifera berusaha untuk tidak menyandar pada Dweykey, karena memang ia terlalu malu untuk melakukannya.
"Aku tidak ingin berkata entahlah, karena bisa jadi kau akan menangis lagi dibuatnya. Namun berhubung aku memang belum tau, aku hanya akan mengarahkan kudaku ke depan asalkan tidak ada jurang disana.
Jennifera mendongak pada Dweykey, namun Dweykey sama sekali tidak menyadarinya sebab matanya terkunci pada jalan yang bergerinjal di hadapan mereka. "Aku bahkan tidak boleh meninggalkan Darnelia Castle, apalagi sampai sore."
"Kecuali bila kau bersamaku."
Jennifera menghadap lagi ke depan dan mengelus-elus rambut kuda yng panjang itu. "Lalu, apa sekarang kau sudah tau kemana kita akan pergi?" Tanyanya lagi tidak lama kemudian.
Dweykey tidak menjawab. Ia membelokkan kudanya ke kanan, memasuki jalan yang menuju ke kediaman Norwegent. Setelah dekat, beberapa serdadu yang berjaga di dua gardu di depan rumah tersebut menatap terkejut. Ingin sekali Jennifera menutup wajahnya atau meneriakan sekencang-kencangnya bahwa ini bukan kehendaknya. Dweykey yang merencanakan semuanya.
Setelah meninggalkan jalan kemerahan, berbatu dan terjal, mereka sampai ke tepi sungai berair tenang. Dweykey menghentikan kudanya di daratan yang sedikit menjorok ke tengah sungai. Dari atas kuda dia menatap langit yang siang ini tampak cerah meski berselimut awan. "Aku ingin tau, mengapa kau menangis?"
"Haruskah ku jawab semua itu? Bukankah kau sudah mendengarnya sendiri dari Rebecca? Aku dan teman-temanku tidak ingin mengkhianati perjanjian kami."
"Tapi kau memang tidak berniat mengkhianati mereka, Bukan?" Dweykey bertanya seakan sudah tidak ada masalah lagi antara dirinya dan Jennifera. "Atau, kau sebenarnya ingin menyalahkan aku atas keinginanmu untuk berkhianat?"
"Aku tidak ingin berkhianat." Tegas Jennifera. "Biar kujelaskan lagi, dari semua yang terjadi dalam hidup kami harusnya aku bisa lebih tegas padamu. Tapi disitulah letak kemelutnya, aku tidak bisa seperti Rebecca."
"Karena kau menyukaiku."
Harusnya Dweykey tidak perlu mengatakan hal yang membuat Jennifera ingin sekali menenggelamkan dirinya ke dasar sungai di hadapan mereka. "Mungkin."
"Tapi memang seharusnya begitu." Dweykey memajukan kepalanya ke samping kepala Jennifera. "Aku senang kau menyukaiku karena aku juga menyukaimu."
Ada penolakan dalam hati Jennifera untuk langsung percaya pada apa yang baru saja didengarnya, namun dengan cepat Dweykey menjawab keresahan itu dengan sangat amat tegas. "Jangan lagi menganggapku tidak pernah bersungguh-sungguh dengan perkataanku, Jennifera." Dan kalau saja Dweykey mengetahuinya, dia baru saja membuat jantung Jennifera berdetak-detuk seakan dilempari kerikil yang cukup besar, namun Jennifera sengaja tertawa kecil menutupinya.
Setelah meninggalkan tanah yang menjorok itu, mereka memasuki jalan di pinggiran sungai yang beraral batu-batu besar setinggi lutut orang dewasa.
"Apa kau akan marah bila kukatakan awalnya aku hanya merasakan kasihan pada kalian semua. Tapi kau harus tau, perasaan itulah yang membawaku ke titik ini, yaitu menyukaimu."
"Aku tidak marah."
"Memangnya kau bisa?"
"Lalu mengapa kau bertanya?"
"Hanya sebagai bentuk kesopananku padamu. Kau seorang wanita dan aku harus memperlakukanmu dengan penuh hormat."
"Sekalipun aku hanya gadis setengah?"
"Itu hanya untuk membuat sahabatmu itu berang." Dweykey tertawa kecil dan tawanya terdengar sangat leluasa hingga Jennifera merasa lebih nyaman. "Katakan saja."
"Jennifera mendongak. "Apa?"
"Keinginanmu. Kau tau tidak, bila seorang pemuda menyukai seorang gadis, maka dia akan melakukan sesuatu untuk membuat gadis itu bahagia. Dalam kasusmu yang mungkin bisa kulakukan adalah meringankan bebanmu."
"Apa kau benar-benar menyukaiku?" Jennifera terbelalak sendiri. Mengapa pertanyaan tolol itu yang meluncur dari mulutnya. Ia menunduk, lalu mengetuk keningnya beberapa kali dengan tangan kiri.
"Ya, bahkan lebih menyukaimu lagi mulai dari sekarang." Dweykey tertawa kemudian meraih tangan kiri Jennifera lalu menaruhnya di atas yang kanan, membuat Jenniferaa tak kuasa menahan senyuman, bahkan rasanya ingin menangis tanpa alasan yang jelas. Lalu Dweykey menyebut Jennifera seorang gadis yang cengeng, namun ia bersumpah Jenniferalah yang pantas menjadi pendampingnya.
"Bukan karena aku suka mendengar rengekanmu, tapi ada yang kurasakan berbeda waktu kulihat gadis yang kucintai menangis. Tidak akan kubiarkan air matanya mengalir oleh ulahku, karena itu akan membuatku merasa berdosa seumur hidup." Dweykey mengangkat tangan kiri Jennifera, menggenggamnya sebentar, lalu meletakkannya di dada Jennifera. "Jadi katakan padaku, apa yang dapat mengurangi kesedihanmu. Anggap saja untuk membayar air matamu kemarin."
Harmonika ibunya seketika melintas di benak Jennifera, dan dengan dasar itulah ia menjawab pertanyaan Dweykey. "Aku ingin menemui ibuku."***
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA PADAM
Ficción históricaPertengahan musim gugur di kota London yang tertutup awan mendung, Constantine Louise duduk di samping ibunya dalam kereta kuda yang membawa mereka meninggalkan Collegiate Church st. Peters yang tampak menawan di bawah gerimis. Manakala matanya mena...