Aurora harus menutup lagi segala yang dia korek. Pintu asrama telah terkunci, ia pun berlari menyusuri lagi jalan ke arah rumahnya.
Gerimis tidak lagi tenang waktu Aurora berjalan di bawahnya. Mereka telah berubah menjadi batu air yang menghempasnya dengan keras, seakan sedang menghakiminya. Angin yang berhembus, kencang menerpanya. Tapi tidak satupun dari keduanya yang berhasil membuat Aurora kedinginan, karena ada yang lebih dingin lagi, yaitu hatinya. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya, kecuali sunyi dan kekosongan.
Di dalam rumahnya Aurora tidak langsung menuju kamar. Ia berjalan berkeliling-liling dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Tidak untuk mencari apapun atau siapa-siapa. Aurora hanya ingin memamerkan luka di tangannya yang tambak lebar dan terbuka, tapi entah kepada siapa.
Aurora memang terluka tapi dia lupa siapa yang telah melakukannya. Dirinya sendirikah? Atau Aurora yang lain? Dan malam ini tidak ada air mata. Aurora tersenyum seakan tidak perduli dengan pikirannya yang tengah berkecamuk, bak badai yang menghempas pohon-pohon hingga tumbang. Atau sebenarnya ia sedang menunggu saat dirinya jatuh dan tumbang.
"Aurora." Terdengar sapaan seseorang dengan suara berat dan dalam.
Aurora berputar menghadap ke pintu ruang kerja ayahnya. "Papa." Balasnya dengan tersenyum manis seperti yang selalu diberikannya kepada ayahnya.
"Apa yang terjadi?" Tanya Norwegent. Setelah melihat lebih jelas keadaan putrinya, ia pun berjalan mendekat dengan wajah ngeri yang tidak bisa disembunyikannya. Tatapannya nanar seakan menangisi semua yang dilihatnya, lalu kedua tangannya terentang. Bukan untuk memeluk Aurora, tapi untuk mempertanyakan keadaan putrinya itu. Ketika sudah saling berhadapan dalam jarak yang dekat, Norwegent menangkup wajah putrinya dengan kedua telapak tangannya. Tidak ada yang ingin ditanyakannya dan iapun tidak ingin mendengarkan apa-apa dari mulut Aurora. "Ris!" Panggilnya.
Aurora mendesis. "Tadi aku hampir membunuh gadis itu, Papa. Sekarangpun aku masih bisa membayangkan yang akan terjadi padanya. Kalau saja tanganku ini tidak berbalik arah melukai diriku sendiri, aku pasti sudah menancapkan pisau itu di jantungnya."
Tubuh Norwegent bergetar mendengarnya. "Diamlah, Aurora." Katanya gemetar. "Kau tidak boleh melakukan ini lagi. Kau tidak boleh menyakiti dirimu sendiri. Kau putriku. Biarkan aku mengurusi semuanya untukmu. Ris!"
"Tapi kau tidak bisa, Papa. Dweykey tetap menyukainya."
Norwegent menghentikan Aurora dengan meletakkan jari jempolnya di atas bibir putrinya itu. "Percayalah padaku." Katanya kemudian berbalik waktu mendengar langkah Ris dari arah dapur.
"Bersihkan dia." Perintah Norwegent.
Ris mengangguk cepat. Dengan penuh kesabaran Ris membawa Aurora selangkah demi selangkah, dan di setiap langkahnya wanita itu terus saja menyebut-nyebut nama Aurora meskipun sangat pelan.
Sama seperti yang dilakukannya empat hari yang lalu, Ris membukakan pintu lagi, meletakkan Aurora di atas tempat tidurnya. Selanjutnya ia mulai kebingungan antara menuju ke lemari atau menuju ke dapur untuk mengambil air hangat. Dan persis sama seperti yang dilakukannya hari itu, Ris akhirnya berlari ke dapur.
Di antara seling waktu yang singkat itu, Aurora yang lain datang menjenguk. Aurora yang enggan menemuinya itu pun memalingkan wajah. Tapi sempat di lihatnya luka di lengan kiri Aurora yang lain yang mirip sekali dengan yang terdapat pada lengannya sendiri. Di wajah Aurora yang lain pun terlihat senyuman pahit, malah lebih pahit lagi.
"Kau tau? Sekarang tiga sekawan itu tengah membicarakanmu." Bisiknya. "Tidak masalah bukan? Karena malam ini adalah malam terakhir mereka bersama."
Aurora spontan menoleh pada Aurora yang lain. "Apa maksudmu?"
Dengan tertawa Aurora yang lain menjawab. "Tidurlah Aurora. Nantikan pagi yang cerah yang sebentar lagi akan datang." Kemudian tubuh Aurora yang lain mundur dengan perlahan, sebelum akhirnya melayang terbawa angin dan pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal.***
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA PADAM
HistorycznePertengahan musim gugur di kota London yang tertutup awan mendung, Constantine Louise duduk di samping ibunya dalam kereta kuda yang membawa mereka meninggalkan Collegiate Church st. Peters yang tampak menawan di bawah gerimis. Manakala matanya mena...