Life as Joshua's Wife

49 7 0
                                    

Enjoy the story~❤️

Jangan kira menjalani kehidupan sebagai seorang istri itu gampang, guys. Gue yang biasanya bangun pagi, sekarang harus bangun lebih pagi lagi. Masak, beres-beres rumah, bangunin suami, baru gue bisa lakuin pekerjaan gue sendiri.

Dan bikin makanan buat suami juga gak semudah yang dibayangkan. Contohnya hari ini. Gue udah masak nasi goreng sama telor ceplok, menu sarapan gue kalo di rumah ayah. Eh, dia mintanya sereal sama susu. Ya, emang salah gue sih gak nanya dulu tadi.

Untung ada bibi di rumah, jadi masakan gue gak mubazir. Gue cuma masak buat dua orang. Setengahnya gue kasih bibi, setengahnya lagi gue yang makan. Dia? Asik makan sereal sama susu tuh sambil gak tau ngapain.

Btw, sekarang dia udah mulai terbiasa komunikasi pake bahasa Indonesia sama gue. Gue yang biasain sih. Ya, meskipun kadang-kadang masih suka pake bahasa Inggris.

"This afternoon, I want to try eating pindang telur like your mother makes," - Joshua.

"Okay. I asked for 100,000 to buy eggs, turmeric and other ingredients. is there a vegetable shop around here?"

"Maybe there is. I will ask Bi Sum to buy the cooking ingredients you need," - Joshua.

"Saya mau beli sendiri."

"Oke. Saya temani kamu pergi," - Joshua.

"Gak repot?"

"Kenapa harus repot? Saya hanya mengantar kamu, menunggu, lalu kita pulang lagi ke rumah" - Joshua.

"Ya, terserah deh."

"Tapi sebelum itu," - Joshua.

"Apa?"

"Kamu tidak mau angkat telepon itu dulu?" Joshua nunjuk hp gue yang ada di meja.

Ansen? Ngapain dia nelpon gue? Males banget tau angkatnya. Lagian gak enak juga sama Joshua kan. Kalo diangkat, gue harus ngomong apa coba nanti? Masa ujug-ujug bilang, gue udah nikah. Jangan ganggu gue lagi. Gitu.

"Biarin aja. Urusan saya sama dia udah selesai."

"Siapa tahu itu telepon penting?" - Joshua.

"Angkat aja nih," gue kasih hpnya ke dia.

"Saya harus bilang apa nanti? Itu kan hp kamu," - Joshua.

"Bingung kan? Sama. Paling bener juga gak usah diangkat," gue taruh lagi hpnya di meja.

"Dia masih simpan nomor kamu atau kamu yang tidak pernah ganti nomor?" - Joshua.

"Dua-duanya bener. Kalo saya ganti nomor, ribet lagi nanti urusannya. Saya harus kasih tau temen-temen alumni, kasih tau orang kantor. Dan yang paling ribet, saya harus kasih tau client satu per satu. Males banget kan?"

"Lagian nih ya, kalo emang gak punya masalah sama dia, kenapa harus menghindar? Mau lari sejauh apapun, kalo misalnya emang masih ada urusan yang mengharuskan saya ketemu sama dia, ya tetep harus ketemu. Saya gak bisa lari kemana-mana."

"Saya juga gak akan macem-macem. Saya tau diri kok, saya tau posisi saya sekarang gimana."

"Itu dia telepon lagi. Kenapa gak diangkat aja?" - Joshua.

"Males."

"Angkat dulu. Mungkin benar ada masalah penting soal pekerjaan. Kamu kan lagi menangani proyek iklan restoran dia yang baru," - Joshua.

"Hah! Ya udah!" Gue geser tombol ijo di layar.

"Celine. Kamu sibuk?"

"Tadinya iya. Tapi kalo soal kerjaan, aku bisa ambil waktu 30 menit buat ngobrol."

"Kalo gitu, bisa kita ketemu di restoran sekarang? Ada yang perlu dibahas soal proyek iklan kemaren."

"Sekarang?"

"Iya. Aku tunggu di restoran ya, Cel."

"Hm," gue matiin teleponnya.

"Benar kan?" - Joshua.

"Kayaknya saya gagal deh masak pindang telur hari ini."

"Tidak apa-apa. Saya bisa makan itu besok. Sekarang, saya antar kamu ke restoran" - Joshua.

"Oke."








To be continue

Penerjemah Hati - JoshuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang