20. Kenangan pahit

19 5 13
                                    

Hujan yang begitu jernih dan sejuk nyatanya selalu datang dari gelapnya awan hitam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan yang begitu jernih dan sejuk nyatanya selalu datang dari
gelapnya awan hitam. Jika hari ini dirimu berada pada kegelapan, percaya lah akan ada pelangi yang akan datang

-ALVARO AIDAN MELVIANO-

•••

  Malam ini, hujan turun dengan derasnya, seolah-olah langit sedang menangis. Bunyi gemuruh petir dan guntur yang menggelegar memecah kesunyian, menciptakan simfoni alam yang dramatis. Cahaya petir yang menyilaukan menembus kegelapan, diikuti oleh dentuman guntur yang bergema, memperkuat keganasan badai. Setiap tetes hujan yang jatuh, setiap kilatan cahaya, dan setiap dentuman guntur semakin menambah kegelisahan di dalam dada. Malam ini, hujan, petir, dan guntur menjadi teman setia, menciptakan suasana yang begitu memukau sekaligus menakutkan.

Di sudut kamar yang redup, seorang gadis duduk dengan tatapan kosong, memandangi pemandangan luar melalui jendela kayu yang terbuka lebar. Suasana malam yang gelap dan hujan yang terus mengguyur membuat dadanya terasa sesak, seolah-olah ada beban berat yang menekan. Tubuhnya terasa goyah, seakan-akan kehilangan keseimbangan hanya untuk berdiri tegak. Ekspresi wajahnya mencerminkan kebingungan dan kecemasan yang mendalam, seolah-olah dia terjebak dalam keheningan yang terusik oleh suara petir dan guntur yang menggelegar di luar.

"Kangen Ayah." Ucap gadis itu dengan pandangan kosong, sementara matanya masih terpaku memandangi hujan.

"Thanisa takut hujan, yah. Thanisa takut petir juga, tapi Thanisa harus bisa melawan semua rasa takutnya karena musuh sebenarnya bagi Thanisa adalah ketakutan itu sendiri."

Thanisa merasakan denyut jantungnya berdegup kencang saat ingatan yang menyakitkan itu kembali menghantui pikirannya. Seperti film yang terputar ulang, setiap adegan yang dulu pernah ia alami kini kembali hidup dalam ingatannya. Setiap detik terasa seperti waktu yang terjepit, dan dadanya terasa sesak karena perasaan yang menggelayuti hatinya.

Luka lama yang belum sempat benar-benar sembuh, kini terbuka kembali dan memancarkan rasa sakit yang begitu dalam. Ingatan kejam itu seperti hujan yang tak henti-hentinya mengguyur hatinya, membuatnya merasakan kepedihan yang sama seperti saat itu. Setiap detail, setiap kata, dan setiap emosi kembali membanjiri pikirannya, membuatnya terjebak dalam pusaran kenangan yang tak pernah berakhir.

Flashback

"Ayah, jangan bermain hujan! Thanisa gak mau Ayah sakit."

Seorang gadis kecil dengan rambut hitam lebat yang di kepang dua, memiliki usia sekitar 6 tahun, gadis kecil itu melihat ayahnya yang basah kuyup karena terjangan hujan deras. Tubuh kecilnya bergetar dengan kuat, ia berusaha menahan air mata yang ingin mengalir dari mata indahnya.

Gadis kecil itu kembali merengek, tetap pada posisi awal memperhatikan sang Ayah dari kejauhan. "Ayah, sini! Hujannya semakin deras, Thanisa takut."

Thanisa melampaui nestapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang