23. Antara cinta dan luka

13 5 15
                                    

8

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


8. Antara cinta dan luka

Semua luka, pasti memberikan cinta
Dan setiap cinta pasti membawamu kepada luka

-Thanisa Sheika Rania-

•••

  Hembusan angin di atas rooftop sekolah menerpa kulit mulus milik Thanisa. Gadis itu menutup matanya, menikmati semilir angin yang berhembus. Sesekali, wajahnya tertutupi oleh helaian rambut yang terbawa angin kencang di atas rooftop. Dia tampak begitu tenang dan damai, seolah dunia hanya miliknya sendiri di saat itu.

Thanisa menarik nafas dalam-dalam sebelum menghembuskannya dengan kuat. Baginya, menenangkan diri di atas rooftop adalah pilihan paling tepat. Di sana, dia bisa mendapatkan ketenangan dan menikmati keindahan pemandangan dari atas.

Gadis itu berdiri di pembatas rooftop, matanya terpejam, menikmati angin yang menerpa wajah manisnya. Hari ini, sekolah tidak ada kegiatan belajar mengajar karena para guru sedang rapat.

Thanisa memanfaatkan momen ini untuk menyendiri di atas rooftop sekolah. Renjana dan Hujan, dua teman barunya, juga tidak masuk hari ini. Entah apa yang menyebabkan mereka sampai bersamaan tidak masuk sekolah. Namun, hal itu memberi Thanisa kesempatan untuk menikmati ketenangan sendirian.

Bugh

"Aduhh," Ringis Thanisa.

Thanisa menatap tajam laki-laki di hadapannya, laki-laki yang telah menarik tangannya dengan kasar sehingga ia terjatuh ke lantai kotor rooftop tersebut. Sedangkan laki-laki yang ditatap hanya memandangi Thanisa tanpa rasa bersalah, bahkan ia menatap Thanisa dengan tatapan dingin.

"Rooftop bukan mainan, Than." Tegas laki-laki itu dengan intonasi pelan namun penuh penekanan.

"Bukan lagi main,"

Thanisa berusaha bangkit, berdiri dengan lutut dan telapak tangan yang luka. Sepertinya ia terbentur cukup kuat hingga mengeluarkan darah segar dari lukanya.

Laki-laki itu, meski tadinya tampak dingin, kini membantu Thanisa untuk berdiri, kemudian menuntunnya untuk duduk di kursi yang berada di pojokan. Mungkin di balik sikap dinginnya, ada sedikit rasa penyesalan.

Thanisa menatap heran pada laki-laki yang ada di hadapannya. Gadis itu menatapnya dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. "Kenapa?"

"Ngapain di sini?" Laki-laki itu, bukannya menjawab, malah balik bertanya kepada Thanisa.

"Dunia itu jahat, bikin capek. Ya, cara ngilangin capeknya dateng ke rooftop," jawab Thanisa, menundukkan kepalanya memperhatikan luka yang ada pada telapak tangan mulusnya.

Terdengar helaan nafas yang keluar dari mulut laki-laki itu. "Sorry untuk itu, mau di obati gak?"

"Gak apa-apa. Lebih lama nenangin diri di rooftop ini aja bisa sembuhin lukanya, kok." Thanisa tersenyum manis.

"Rooftop ini pernah jadi saksi betapa brengseknya gue, dan gue gak mau jadi cowok brengsek untuk kedua kalinya." Mendengar itu, Thanisa hanya terdiam, memandangi laki-laki itu, menunggu apa yang akan dia katakan selanjutnya.

"Gue brengsek, Than, brengsek banget." Thanisa mendekat ke laki-laki itu, mengelus lembut pundaknya dan menggenggam tangan kekar miliknya.

"Va... Jangan menyalahkan diri sendiri atas kesalahan yang gak kamu perbuat."

"Aku tau ini gak mudah, tapi berlarut dalam kesedihan juga gak akan merubah keadaan, Va. Ikhlas adalah cara terbaik untuk mencintai." Laki-laki itu hanya diam, tertegun mendengar kalimat yang baru dilontarkan oleh Thanisa. Kata-katanya seolah memberikan sedikit cahaya dalam kegelapan pikirannya.

"Dia gadis pertama yang buat gue jatuh cinta, Than."

Thanisa mengangguk, "Suatu saat nanti aku mau dengar kisah cinta kalian, dan kamu harus ceritain sama aku, ya."

"Kalau suatu saat nanti gue jatuh cinta sama lo gimana?"

"Gak gimana-gimana, Va. Cinta itu realistis, kita gak bisa maksain mau jatuh cinta sama siapa dan milih buat jatuh di hati yang mana. Mengikuti alur yang dibuat Tuhan adalah jalan satu-satunya yang harus kita lewati."

"Lo harus bantu gue buat jatuh cinta sama lo, Than!" Ucapnya dengan suara parau dan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Terus gimana sama aku yang gak cinta sama kamu?"

"Gapapa, Than. Yang penting gue cinta sama lo, karena, ternyata se menyakitkan ini masih mencintai orang yang udah gak ada."

"Jangan di coba, Va. Kamu gak tau aja gimana rasanya mencintai orang yang gak cinta sama kamu. Rasa sakitnya akan lebih berlipat ganda dari apa yang kamu rasakan sekarang. Apalagi, kalau kamu harus ngeliat dia bahagia, tapi bukan sama kamu. Kamu bahagia karena liat dia bahagia, tapi kamu terluka karena kebahagiaan dia bukan kamu yang kasih."

••☾˚。❀୧˚𝓣𝓱𝓪𝓷𝓲𝓼𝓪˚୨❀。˚☽••

Alva baru sampai ke rumah, ia  memasuki kamar dan berjalan ke arah balkon, memandangi langit biru yang selalu menjadi candu baginya. Laki-laki itu menghirup udara segar dalam-dalam sebelum menghembuskannya dengan kasar.

Semilir angin berhembus, menerpa wajah Alva. Dia merasa tenang, seolah semua masalahnya terangkat oleh angin dan dibawa jauh pergi.

"Emang definisi cinta itu gimana? Sebenarnya cinta itu ngasih luka apa bahagia sih?" dia bertanya-tanya, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang selalu menghantui pikirannya.

"Siap maghrib nanti kamu tolong ke rumah sakit ya, nak. Gantian jaga abang kamu." suara wanita paruh baya itu menghentikan lamunan Alva. Laki-laki itu menoleh dan mendapati sang Mama sedang berjalan ke arahnya dengan senyum lembut.

"Iya, Ma."

Renata ikut duduk di kursi lain yang ada di balkon kamar sang anak. "Udah bingung sama perasaan sendiri?" tanya Renata yang berhasil membuat Alva mengerutkan dahi.

"Maksud Mama?"

Renata menghela nafas pelan dan menatap Alva dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Dia tahu bahwa anaknya sedang berjuang dengan perasaannya, dan dia ingin membantu, tapi dia juga tahu bahwa ini adalah sesuatu yang harus Alva hadapi sendiri.

"Mama gak bermaksud apa-apa. Mama cuma nunggu kamu bimbang sama perasaan kamu sendiri. Kamu tau kan, definisi cinta sebenarnya?" Alva terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk.

"Kamu ragu, ya, Va. Karena, emang kamu belum mampu merasakannya. Mama harap kamu segera sadar atas perasaan kamu sendiri," Ujar Renata mencoba memberikan nasihat kepada Alva.

"Mama cuma berharap anak Mama gak jadi laki-laki yang egois. Mungkin bukan sekarang, tapi Mama yakin perasaan cinta yang sesungguhnya akan datang."

"Kamu tau, kan, kalau abang kamu juga suka sama Thanisa. Mama gak mau persaudaraan kalian jadi renggang cuma karena satu gadis ya nak. Apalagi, Thanisa itu udah Mama anggep kayak anak Mama sendiri."

"Karena Mama tau, nak, cinta itu pasti akan timbul seiringnya kalian selalu bersama," Sambung Renata lagi.

"Tunggu! Kenapa jadi bahas Thanisa? Terus, abang? Suka sama Thanisa?" Bingung Alva, menatap Mamanya meminta penjelasan.

"Mama rasa kamu ngerti apa yang Mama maksud. Udah ya, kamu mandi, makan malam, habis itu ke rumah sakit."


˚୨❀୧。TO BE CONTINUED❣
_____________________________________


Thanisa melampaui nestapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang