29. Rasa sakit yang mendalam
Dalam sebuah ruangan dengan nuansa berwarna putih, sejak tadi terus terdengar suara isak tangis yang menelisik indra pendengaran. Seorang laki-laki dengan pakaian rumah sakit yang kini melekat pada tubuh kekar miliknya, tidak lupa juga dengan wajahnya yang terlihat pucat dan bibirnya yang membiru.
Mata laki-laki itu terpejam dari setengah jam yang lalu sampai sekarang. Seperti tidak ada pertanda dirinya akan membuka mata, deru nafasnya terdengar lembut, ralat, lebih tepatnya lambat.
"Pasien harus mendapatkan transplantasi ginjal secepatnya. Saya bukan Tuhan, tapi saya takut hal yang tidak di inginkan terjadi."
Mendengar penuturan yang keluar dari mulut Dokter tersebut membuat wanita paruh baya yang ada di hadapannya mendadak lemas dan jatuh tak sadarkan diri.
"Mama!" Pekik Alva saat melihat sang Mama tergeletak tak sadarkan diri di lantai rumah sakit yang dingin.
Dengan sigap Alva mengambil alih sang Mama dan memboyongnya untuk menuju ICU. Dirinya takut terjadi apa-apa kepada sang Mama, kalau boleh jujur kenyataan pahit yang baru diketahui tentang sang Abang sudah membuat dunia Alva sangat hancur. Jangan terjadi hal yang sama dengan sang Mama.
"Mama jangan gini, Ma! Alva gak bisa liat Mama gini, kita semua tau kalau Abang itu anak yang kuat. Dia pasti bisa lawan penyakitnya."
Alva menidurkan sang Mama di atas brangkar ICU, mata indah milik Alva kini terlihat sangat sembab karena ia sudah daritadi menangisi sang Abang. Dirinya duduk di kursi, menggenggam erat jari jemari Mama yang terasa dingin kala ia genggam.
"Kita kuat Ma, kita pasti bisa lewatin ini semua. Alva juga yakin kalau Abang bisa lewatin ini, dia anak yang hebat Ma, dia Abang Alva, dia-" Napas Alva tercekat, rasanya ia tak sanggup untuk melanjutkan ucapannya karena isak tangis yang terus keluar dari mulutnya.
Ia memijat pangkal hidungnya, lalu beralih mengambil tissu yang ada di atas nakas, setelahnya kembali menggenggam erat tangan Mama. Tadi, sewaktu Mama berbicara kepada Dokter di ruangan Sakti, Alva sempat mendengar percakapan mereka. Bukan maksud menguping, niat hati Alva hanya ingin mengajak sang Mama makan karena sejak tadi wanita itu tidak bernafsu untuk menyentuh makan siang miliknya. Namun yang di dengar oleh Alva hanyalah kenyataan pahit yang harus di terima olehnya dengan lapang dada.
"Ma, sakit banget dada Alva, Ma. Gak kuat." Lagi dan lagi Alva terisak, ia memukuli dadanya sendiri berharap rasa sesak itu berhenti untuk menghantuinya.
"Alva sayang Abang, Ma. Bahkan Alva ikhlas kalau Thanisa harus seutuhnya jadi milik Abang. Alva rela asal Abang sehat lagi dan bisa kayak dulu."
Menyebut nama Thanisa, hati Alva semakin remuk. Rasa bersalah kembali menghantui dirinya saat ini. Mengapa dia harus jatuh cinta kepada gadis yang di cintai juga oleh sang Abang. Sekarang bukan hanya pilihan yang sulit namun juga menjadi pilihan yang sakit.
••☾˚。❀୧˚𝓣𝓱𝓪𝓷𝓲𝓼𝓪˚୨❀。˚☽••
Setelah banyaknya cinta yang dia beri, akhirnya dia memilih untuk memberi luka daripada memperbanyak cinta yang dia punya.
Dia tidak pernah tau sesulit apa gadis kecil itu menjalani hidup tanpa memiliki peran dari dirinya. Dia tidak pernah tau gadis kecil yang selalu merengek meminta mainan kini sudah tumbuh menjadi gadis mandiri yang serba bisa. Ketika gadis kecil itu menaruh harapan besar padanya, dia lebih memilih untuk menghancurkannya dan meninggalkannya seorang diri. Dia pergi, dan tidak pernah hadir kembali.
Kurang sekali kasih sayang yang gadis kecil itu dapatkan dulu, bahkan sekarang dia masih ingin pergi ke pasar malam dan memakan buah durian di bawah rintikan air hujan. Bermain dan bersembunyi di rumah balon yang selalu menjadi bahagia untuknya.
Gadis kecil itu merindukan masa-masa yang tidak mungkin terulang lagi.
Perihal gadis kecil yang kini sudah tumbuh menjadi orang dewasa, dengan segudang luka dan trauma yang ia punya. Tak masalah sekiranya bahagia sedikit saja datang untuk menyapa, sekedar berkata, bersabarlah, bahagia itu akan datang kepada mu dan menjadi seutuhnya milik mu.
Hal yang lebih menyakitkan lagi ketika rasa rindu itu hadir tanpa aba-aba, menyerang dan menggerogoti jiwa tanpa memiliki izin dari pemiliknya. Yang bisa di lakukan hanyalah berusaha meredam semua itu dengan kebencian. Menelisik ingatan dan terus mengingat kejahatan, kejadian menjijikkan yang harus kembali di telisik agar rasa rindu itu pergi menghilang. Perihal mengingat semua itu, membuatnya bisa mengusir rasa rindu seraya terus berkata mereka manusia jahat yang tidak pantas untuk di rindukan.
Setelahnya apa yang terjadi? Apakah rasa rindu itu benar-benar pergi menghilang? Jawabannya tentu saja tidak, rasa rindu itu tetap bersemayam dan enggan untuk pergi. Ia semakin menggerogoti hati dan membuatnya berakhir dengan sebuah tangisan. Air mata terus keluar dengan suara pilu yang terdengar menyiksa, menggema di sudut kamar yang terlihat gelap tanpa secercah cahaya sedikitpun.
Bingkai poto yang berada di genggamannya ia peluk dengan erat, menampilkan figura seorang gadis kecil dengan rambut sebahu sedang tersenyum ke arah kamera. Di sekelilingnya ada hiasan balon warna-warni dan beberapa kue bolu yang memiliki rasa beranekaragam. Bukan itu yang menjadi faktor utama kesedihan, melainkan figura gadis kecil itu berada tepat di tengah-tengah figura seorang pria tampan dan wanita cantik yang berperan sebagai kedua orang tuanya.
Rindu sekali, andai kata maaf kalian bisa membuat ku lupa dengan semua rasa sakit dan kepahitannya, maka aku akan dengan antusias menerima maaf itu dan memeluk kalian dengan begitu erat. Hanya saja, maaf itu sama sekali tidak merubah apapun.
˚୨❀୧。TO BE CONTINUED❣
06-07-2024
[A.T]
_Icaaaa_
KAMU SEDANG MEMBACA
Thanisa melampaui nestapa
Loup-garou"Semua orang yang menyakiti maka akan tersakiti. Tapi semua orang yang membahagiakan belum tentu dapat kebahagiaan" LUKA ITU TERLALU BANYAK TAPI TIDAK SATU PUN ADA YANG BERDARAH. TRAUMA ITU MELEKAT, MENCARI OBAT DI MANA DAN SIAPA YANG DAPAT MENYEM...