24. Kehadiran yang tidak di harapkan

15 5 15
                                    

24

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

24. Kehadiran yang tidak di hadirkan


Kalau kematian bisa mendatangi ku sekarang, mungkin aku menginginkan hal itu.

-Thanisa Sheika Rania-

•••

  Thanisa berdiri dengan tegap di depan cermin besar yang menghiasi dinding kamarnya. Dia memandangi pantulan dirinya, menelusuri setiap detail wajahnya yang tampak begitu jelas di cermin itu. Senyum manis terukir jelas di bibir indahnya, menciptakan gambaran yang sempurna dalam balutan cahaya rembulan yang masuk melalui jendela.

Gadis itu memejamkan matanya sejenak, merasakan denyut jantungnya yang berdetak perlahan. Dia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara segar mengisi paru-parunya, lalu menghembuskannya dengan kasar, seakan ingin melepaskan semua beban yang ada di dalam dirinya.

Dengan langkah yang mantap, Thanisa berjalan menuju meja belajarnya yang terletak di sudut kamar. Dia membuka laci meja itu, mencari sesuatu di dalamnya. Tangannya meraba-raba, hingga akhirnya menemukan apa yang dia cari.

Di tangan Thanisa kini tergenggam sebuah benda tajam yang akan dia gunakan untuk membebaskan dirinya dari beban. Dia kembali berjalan menuju meja riasnya, duduk di depan cermin dengan tatapan kosong. Dengan perlahan, dia mulai mengarahkan gunting itu ke rambutnya. Setiap helai rambut yang dilewati gunting itu terpotong, jatuh ke lantai membentuk tumpukan kecil.

Thanisa tersenyum getir, seolah menikmati setiap detik proses itu. Ya, Thanisa memotong rambutnya. Lagi. Ini sudah menjadi rutinitas bagi Thanisa untuk memotong rambutnya setiap kali dia merasa memiliki banyak beban. Menurut gadis manis itu, memotong rambut bisa menghilangkan beban, dan itulah pelarian Thanisa.

Rambut panjang yang pernah dimilikinya ketika dia masih kecil, ketika dia masih menjadi putri kecil bagi orang tuanya, kini hanya tinggal kenangan. Rambut itu tidak pernah lewat dari sebahu, simbol dari keinginan Thanisa untuk selalu merasa ringan dan bebas.

"Tersenyumlah Thanisa, kamu akan mendapatkan kebahagiaan yang nyata."

"Tunjukkan kepada dunia, anak sebatang kara ini bisa merasakan kebahagiaan dan kehangatan dari sebuah keluarga."

Thanisa kembali beranjak dari tempat duduknya, berjalan dengan langkah gontai menuju kasur yang terletak di tengah kamar. Dia merasa pusing, pandangannya mulai memburam, dan langkahnya yang semula mantap kini terasa goyah. Tanpa dia sadari, tubuhnya mulai merosot dan dia jatuh terduduk di lantai dingin kamar miliknya.

Thanisa meraih hidungnya yang tiba-tiba mengeluarkan darah. Dia menatap darah yang menempel di tangannya dengan senyum miris. "Aku kuat..." Ucapnya pelan, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Dengan susah payah, Thanisa berusaha bangkit dari duduknya. Dia berpegangan pada sudut lemari kayu miliknya, mencoba mencari dukungan agar bisa berdiri. Namun, rasa sakit di kepalanya terasa begitu menggigit, lebih besar daripada keinginannya untuk bangkit.

Thanisa melampaui nestapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang