Chapter 12. Anak Kucing

35 20 3
                                    

Bangkit Dari KeterpurukanTenggelam Dalam Kesengsaraan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bangkit Dari Keterpurukan
Tenggelam Dalam Kesengsaraan

****○•○•○•○****

Hari ini langit begitu mendung, awan-awan kelabu berarak menutupi cahaya baskara yang tadinya benderang. Angin-angin bertiup menghempaskan daun-daun kering dari pohonnya. Sepasang mata berwarna abu-abu kini tengah melihat kota yang tadinya ramai nan cerah, seketika sunyi kembali memasuki rumah.

Ia melangkah santai menikmati setiap inci angin yang memasuki pori-pori kulitnya. Laki-laki itu mendongak ke atas, melihat hamparan lautan awan berwarna gelap. Tak ada kepakan sayap-sayap burung yang terbang. Satu tetes air mulai mengenai ujung hidungnya, dan dalam hitungan detik ribuan air mulai turun membasahi seluruh raganya.

Tak masalah baginya, karena hujan bisa menjadi penyembuhnya. Negara memejamkan kedua matanya, merasakan setiap tetesan air hujan yang membasahi tubuh dan pakaian yang ia kenakan. Namun, tak selang lama ia mengerutkan keningnya kala mendengar suara anak kucing berada di area sekitar sana. Laki-laki itu berusaha mencari sumber suara, walaupun suara itu tersamarkan oleh suara hujan diselingi gemuruh angin.

Tak kenal kata menyerah, Negara terus mencari di tiap-tiap sudut gedung kantor milik papanya. Hingga akhirnya laki-laki itu menemukan anak kucing yang ditinggalkan oleh ibunya, kucing kecil itu mengeong dengan suara parau karena kelaparan seraya bersembunyi dari keramaian.

Dengan cepat, Negara berlari menuju area toko di depannya sembari menutupi kepala dengan kedua tangan. Ia membeli sebuah payung kecil sebagian peneduh, tidak lupa untuk membeli makanan khusus untuk kucing yang laki-laki itu temui.

Segera ia kembali, memberikan makanan kaleng pada anak kucing yang terlihat sendu. Anak kucing itu memakan makanannya dengan suara yang garang, seperti ia berbicara "jangan sentuh makananku!" Itu sangat menggemaskan.

"Kau tau, kau mirip sekali dengan orang yang ku kenal. Orangnya cengeng, sama sepertimu, saat sendirian ia menangis, namun saat ada orang lain di dekatnya ia malah tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa kepadanya."

"Apa kamu kedinginan, mpus?" Negara bermonolog, ia mengajak berbicara pada anak kucing itu. Namun, yang namanya hewan pastinya tak bisa berbicara, maka dari itu tak ada tanggapan dari sang kucing.

"Ayo ikut aku." Negara meraih sebuah kardus kecil yang berada di dekat sana. Mungkin sepertinya kucing itu sengaja dibuang. Laki-laki itu memasukan anak kucing berwarna putih corak hitam itu ke dalam kardusnya, walaupun sedikit rumit karena anak kucing itu tak mau diam. Namun perlahan ia luluh, dan Negara membawanya pulang menempuh kelebatnya hujan.

Tak selang lama, Negara tiba dikediamannya. Payung yang ia beli digunakan untuk menutupi kardus yang laki-laki itu bawa. "Ma ... Nara pulang ...." Wanita paruh baya dengan tergesa-gesa berlari menghampiri anaknya. "Gimana-gimana? Di kantor papamu masih bermain dengan gadis itu?" Tanyanya panik.

Hidup Itu Luka  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang