~***~
Di perjalanan pulang, entah kenapa jalanan kini terasa lebih padat dari biasanya. Sepertinya telah tejadi tragedi laka lantas baru baru ini.
Ia sedikit menurunkan kaca mobilnya melihat situasi kondisi di luar sana, ia rasa dugaannya benar adanya banyak warga yang berkerumun mengelilingi korban.
"Kak," ucapnya.
"Iya, Rin. Kenapa?"
"Boleh berhenti dulu ga, aku pengen liat kesana."
"Jangan, bahaya. Disana pasti banyak pecahan kaca, aku gamau kamu kenapa napa."
"Sebentar aja, ya?"
Revan mau tak mau mengiyakan ucapan Erine, ia lalu menyetir mobilnya kearah bahu jalan. Tidak mau mengambil resiko gadis itu pasti akan berbuat nekat jika tidak dituruti kemauannya.
Dengan gerakan secepat kilat, ia membuka pintu mobil Revan dan berjalan mendekat kearah kerumunan.
"Permisi."
Ia menerobos kerumunan, kini Erine dapat melihat korban laka lantas di hadapannya namun ia tidak dapat melihat jelas wajahnya sebab terhalang salah satu warga yang memberikan pertolongan pertama pada korban.
"Pak, udah panggil ambulance?" Tanyanya pada salah seorang warga berumur sekitar 40 hingga 50 tahunan.
"Udah mbak, baru aja, sebentar lagi dateng kayanya." Ucap salah satu warga.
"Kalo boleh tau, awalnya gimana. Ko bisa sampe ada kecelakaan?"
"Saya juga kurang tau kalo itu, tadinya saya lagi di warkop sama bapak bapak daerah sini. Tapi kalo kata saksi yang ngeliat sih, si korbannya naik motor pelan jalurnya juga udah bener, habis itu ga taunya ada mobil muatan kenceng banget oleng gitu. Nabrak motornya sampe mental lumayan jauh, itu aja sih yang saya tau." Paparnya.
Erine hanya mengangguk angguk, "Kasian banget ya, pak." Ujarnya.
"Ya mau gimana lagi mbak, namanya musibah kita ga ada yang tau."
Revan berlari kecil ke arahnya, "Rin, udah jam segini ayo pulang." Ucapnya.
Erine mengangguk pelan, tapi masih belum mau beranjak dari tempatnya, hingga petugas rumah sakit keluar dari mobil ambulance dan menandu korban.
Ia yang masih penasaran akan wajah si korban pun sedikit mencuri curi pandang kearah kerumunan. Wajahnya seperti tidak asing di matanya, ia mendekat langkah demi langkahnya terasa sangat berat.
Erine menutup mulutnya dengan telapak tanganya, matanya membulat tak percaya dengan apa yang di lihatnya kini.
"Oline!" Serunya.
Sementara itu, dengan kesadaran yang kian berkurang Oline samar samar mendengar suara seseorang memanggil namanya. Suara yang ia kenal, tapi kini ia benci mendengar suara itu, kepalanya terasa sakit. Telinganya berdengung hingga kesadarannya mulai hilang.
---
Ia terus menerus menatap kearah luar jendela, kini keduanya ia dan juga Revan. Tengah berada dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Pikirannya campur aduk, rasa bersalah, sedih, marah. Semuanya menjadi satu, andai dia ingat bahwa Oline akan menemuinya malam ini, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi.
Kini di genggaman tangannya terdapat ponsel Oline, setelah tadi warga mempercayakan barang barang Oline padanya.
Kini ia tengah mencoba menghubungi Indah.
"Halo, ada apa Oline?" Sapa nya dari balik telepon.
"Halo tante, ini Erine." Ucapnya lirih
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPOSIBLE (ORINE)
Teen Fiction"Bahkan saat masa depan lo hampir hancur ditangan dia, lo masih bisa ngomong kaya gini? Cewe kaya lo emang gampang buat dimanipulasi, gue jadi nyesel suka sama orang yang salah." -Oline "A-apa?" -Erine ⚠️❗FIKSI ❗⚠️