SAUNG (2)

19 6 0
                                    

"Ayah nulis bumi dulu, sebagai pengingat kalau kita ini jarang melihat ke bawah, jarang merunduk, jarang memperhatikan langkah kita, jarang melihat apa yang sudah kita injak dan lewati."

"Kenapa nggak sekalian langit sih. Kan itu pasangannya."

"Ya karena kita nggak bisa belajar menunduk sekaligus mendongak dalam waktu bersamaan. Kalau sudah belajar tentang bumi. Baru bisa belajar langit. Tentang luasnya dunia, tentang apapun yang Emilie mau di waktu yang akan datang."

"Heeeeeehhhh...."

Diam, hening. Meski profesi laki-laki ini sebagai pengajar, apa tidak berlebihan mengajarkan bocah kecil perspektif yang terlampau dalam. Dasar lelaki gila. 😌 Meski begitu, sekian lama aku di sini, bocah ini tak pernah berekspresi bingung atau jengah. Justru raut wajahnya selalu terlihat penasaran dan rasa ketertarikan.

"Ayah.. Itu kenapa mereka datang bergerombol begitu?" Ucap bocah ini memecah keheningan dengan telunjuk mengarah ke atas di sekumpulan capung yang sedang melintad. Ini anak matanya bisa menelanjangi seluruh isi langit apa gimana yaa.. Cepet banget peralihannya.

"Kalau satu soalnya nggak kelihatan, jadi mereka datang harus bareng-bareng buat ngasih tahu musim hujan sudah mulai datang." Jelas ayahnya dijawab anggukan pelan tanda mengerti.

"Anakmu kan banyak, kenapa cuma dia yang kau manja?" Tanyaku penasaran. "Apa kau melihat ada yang datang kemari selain dia?" Setelah dipikir-pikir, ya iya juga sih. Mungkin karena anak yang lainnya sudah beranjak dewasa, jadi sudah jarang bahkan hampir tidak pernah ke saung belakang rumah ini. Padahal di sini benar-benar menenangkan.

"Ayah ngobrol sama siapa?"

Deg!! Spontan kami membeku. Merasa bahwa pembicaraan kami benar-benar lewat batin tadi. Wait, dia beneran bisa dengar?

"Ayah kan tidak sedang bicara sayang." Kilah ayahnya dengan senyum palsu yang dipaksakan. "Kukira ada suara perempuan tadi." Tanpa membalikkan tubuhnya ke arahku, dan matanya masih menatap kumpulan capung yang di langit. Ia bicara seolah sudah tahu keberadaanku. Belum cukup membuat kami menganga heran, bocah ini berucap kembali "Mbaknya cantik, temen ayah?" Seketika reflek ayahnya merengkuh tubuh kecilnya, ditutup matanya dengan tangan kanan. Sedikit terdengar gugup, ia mengalihkan pembicaraan ini. Sembari batinnya yang bergetar melantunkan doa.

Aha.. Jadi ini dasarmu memperlakukannya berbeda? Aku tersenyum kecil, tapi dibalas tatapan yang sangat tajam seolah menyuruhku untuk segera pergi.

Aku mengangkat kedua tanganku, kepala sedikit kutundukkan, dan okay aku pergi.

Sialan si Panji, ngapa-ngapain juga kagak, maen usir aja. Gara-gara ini, malah ganti aku yang penasaran. Hmm... Kayaknya menarik kalau sesekali aku ngikutin bocah ini.

Emilie ya namanya..


Yuhuuuuu.... Sesuai janji ya, nggak sampai seminggu kan? Ini sebenarnya 1 bab kujadikan 2. Untuk awal-awal, kita santai santai dulu lah.

Happy reading yaaa

Jangan lupa vote 😚

#Author'Aiyy

BATAS CERITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang