FUCK THIS EYES!! (1)

9 4 0
                                    

"Hah? Tinggal setahun lagi Emilie sudah lulus lhoh, masak pindah di penghujung sekolah gini sih yah?" bukannya marah, tapi si Panji ini justru tertawa menyeringai. Sebenarnya dia lebih mirip setan dariku. Bercandanya terlampau melewati batas. Tapi perubahan Emilie cukup signifikan dibanding saat ia bisa melihatku. Mulai dari emosinya yang lebih sering meledak, atau dia yang lebih ekspresif. Bertingkah sewajarnya layaknya anak seusianya, meski sesekali ia menengadah ke langit seolah memastikan sesuatu dan saat mengalihkan pandangan, wajahnya selalu berubah sayu. Tak ada yang tahu apa yang ia lihat di langit saat itu. Menurutku, ini lebih parah dari sekadar saat ia bisa melihat makhluk-makhluk jadi-jadian, setidaknya aku bisa mengcover kekurangannya, atau saat ia ketakutan aku juga tahu apa yang harus kulakukan untuk menutupnya.

"Ayah! Jangan bercanda donk" tanpa memberi penjelasan apapun si ayah terus saja menghindar dari putri bungsunya. "mbak ikut kan yah?" tanya Emilie yang terus mengekornya. "Mbak kan ikut mas mu, mereka sudah punya keluarga kecil lhoh. Ponakanmu nanti masak disuruh tinggal sendirian di sini? Jadi biar rumah ini nggak kosong gitu, mereka yang nempati." Emilie terdiam sejenak. "Kita pindah kota, bukan pindah alam. Lebay banget sih." Ucap si abang sarkas, kupikir Emilie tak akan terpengaruh karena memang dia sudah terbiasa diperlakukan seperti itu, namun..

"Kalo memang nggak mau bicara baik, mending diam! Aku nggak lagi minta pendapat abang." Tangannya mengepal kuat, tatapannya sangat tajam seperti elang yang ingin memangsa sesuatu. Argh, sial. Lagi-lagi aku terpengaruh, tubuhku tak pernah berhenti gemetar ketika ia menguarkan emosi seperti ini. "Manis" ucapku lirih tapi Panji yang mendengar segera melirikku. Mungkin ia sadar dengan apa yang kupikirkan tentang anaknya.

"Bocah! Mana sopan santunmu? Apa hanya karena akan lulus SD sudah mulai bertingkah jagoan?"

"Sopan dengan orang yang tak tahu etika itu tidak perlu!"

Plaaakkk

Sebelum tangannya menyentuh Emilie, Panji sudah ada disana menghalangi. Aku yang melihat ini sedang memikirkan sesuatu. Andai Kau sentuh Emilie ku, Akan kubuat hidupmu berantakan, tak peduli siapapun dirimu. Emosi yang tak terkontrol ini tanpa sadar mempengaruhi seiisi ruangan yang mulai pengap, terasa jika si ibu batuk-batuk. Ya, sebelum Panji berkoar lebih baik aku pergi sajalah, mengalah hari ini bukan berarti menyerah kan. Bye..

"Jangan pernah sekali-kali berbuat kasar dengan perempuan, apalagi keluargamu."

"cih, bela saja terus belaaaa. Makanya makin gede makin arogan, belum juga baligh otaknya udah pengen tawuran terus, apalagi nanti."

"FARIZ!"

Emilie masih mematung di tempat, menatap tajam kepergian abangnya namun wajahnya mulai menyiratkan kegelisahan. Ada sesuatu yang lain yang tidak dilihat orang lain saat itu dan mungkin sesuatu itu juga akan menjadi bumerang bagi semuanya.

"Emilie, jangan bicara seperti itu..." rasanya Panji tak mampu meneruskan kalimat apapun, ia terhipnotis oleh tatapan kosong putrinya sendiri. Bahkan meski tak tahu apapun, Panji yakin Emilie menyembunyikan sesuatu yang besar. Tak mungkin Emilie berkata sekasar itu jika tak ada hal apapun yang membuatnya goyah. Amarah, kesedihan, kekesalan, kecewa. Semua energi negatif menumpuk dalam mata putrinya.
Jika biasanya Emilie akan memilih pergi dan tak ingin berurusan dengan abangnya lagi, berbeda dengan hari ini. Ia berlari menyusul si abang. Menarik tangannya, dan dihempas kasar.

"Apaan sih, mau cari ribut lagi?"

"Maaf."

"Hah? Kau kesurupan apa?"

"Aku minta maaf, kenapa sih."

"Lu minta maaf? apa-apaan hari ini. Mau hujan deras kah? Gempa bumi?"

"Bang! Bisa nggak usah ngomong ngawur nggak sih. Gue cuma mau minta maaf, kalo nggak terima yaudah."

"..."

"Udah ah."

"Lu kenapa sih?"

"Gue bilang gue mau minta maaf sama kelakuan yang tadi."

"Gue tanya lu kenapa?! Lu nggak pernah ngomong apapun tapi mata lu punya ceritanya sendiri."

"....."

"Kan. Kalo lu diem, berarti bener. Oke anggap saja semua orang bisa lu kibulin. Heh, gini-gini saking bencinya sama elu, gue nggak pernah absen perhatiin apapun tentang elu. Biar jadi senjata buat ngehina, ngebully, ngejatohin. Begitulah kira-kira."

"Haaahhhhh? serah deh."

twitch..

"Jangan salahin gue kalo beneran nampar elu ya lama-lama."

"Palingan kena omel ayah. Udah ya, bye."

"woy!"

Dan percakapan adek kakak itu berakhir tanpa adanya perdamaian. Bahkan orang tua mereka sudah jengah dengan hari-hari penuh pertengkaran itu.

~~~

"Ayah, ayolah seminggu lagi deh." rengek Emilie masih kukuh tak ingin pindah kota. Meski pembicaraan ini sudah berlangsung selama sebulan, tapi ia tak pernah lelah merayu sang Ayah. Pagi-siang-sore. Siapapun yang di rumah dirayu untuk tidak pindah dalam waktu dekat. Tapi semua keputusan ada di satu pintu, sang Ayah.

"Nggak. Apa bedanya hari ini dan seminggu lagi sih Emilie? kita sudah berkemas lhoh." Jawab sang ayah tanpa memandang wajah putrinya. "Aku perlu membuatnya pingsan yah? Biar bisa kita masukkan tas tanpa berisik." Masih dengan ucapan sarkas, si abang berusaha menengahi. Bedanya kini ia sangat intens menatap wajah Emilie. "Ini bukan perencanaan pembunuhan ya tolong." Ibu yang sedari tadi diam akhirnya ikut menimpali. Mungkin juga ikut kesal dengan rengekan Emilie. Biasanya anak ini begitu dewasa, tapi hanya karena pindah kota saja ia terlampau menyebalkan.

~~

Sepanjang perjalanan dalam kereta ekonomi itu tak terlihat sedikitpun respon baik dari Emilie, ia hanya menatap jendela gelisah, menatap langit seperti biasa namun lebih dalam. Tangannya mengepal kuat, entah telapaknya terluka atau tidak, ia tak melepas genggamannya sejak mereka berangkat dari rumah. "Woy, gue bisa sumpal mulutmu ya kalo terus gigit bibir begitu. Kalo berdarah malah nyusahin orang. Itu juga, bisa biasa aja nggak sih. Kita nggak lagi berangkat tawuran, jadi berhenti ancang-ancang mau ngejotos orang begitu." Meski katanya benci, justru si abang lah yang paling perhatian. Ayahnya yang duduk bersebelahan dengan Emilie saja tak menyadari hal ini.

ck!

"Bang! Gue bukan bocah. Turunin!" karena kesal perkataan tadi tak dihiraukan, si abang spontan menarik Emilie dan membuat adeknya duduk di pangkuannya. Mencekal tangannya kembali menggenggam, membuat bibirnya tak lagi digigit. "Kalo lu mau gue turunin, berhenti gelisah. Orang disekitar lu tuh jadi risih!" Ia melihat adiknya mulai tenang dan menurunkannya kembali. Orang tua mereka membiarkan kejadian itu berlanjut, selama tidak ada baku hantam mungkin tak apa. Lagi pula, di sini si abang yang biasanya tak peduli malah kebalikannya.

"Besok ayah langsung berangkat kerja di tempat baru, jadi kalian nikmati rumah kita dulu yaa." Ucap ayahnya memecah keheningan. "Mau dimasakin apa nih?" si ibu menimpali dengan mata tertuju pada Emilie, biasanya ia yang paling rame meminta request. Hening, mereka bertiga akhirnya merasakan perbedaan signifikan dari putrinya ini. "Bang! Apaan sih." Ya darah muda si abang memang selalu panas, ia benci keheningan. Meski spontan menendang adiknya sendiri sih. "Lu mau makan apaan besok? Ibu tanya." ucapnya dengan memicingkan mata. "Terserah." singkat padat bikin kesal. Tapi mereka tak memperpanjang hal ini lagi. Perjalanan masih jauh, dan mereka perlu beristirahat. Jangankan tidur, merilekskan diri saja tak bisa. "Esok? Memang ada hari esok?" pikirnya tiba-tiba overthinking hingga sejauh itu. Ia tahu bahwa berucap demikian sangat pamali. Tapi ia bingung sendiri dengan puzzle yang selalu terngiang dalam otaknya.

To be continued....

Happy reading yak.
ntar aku potong dulu, soalnya kepanjangan.

#Author'Aiyy

BATAS CERITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang