Mengapa hanya kalian saja yang boleh bercerita tentang "Kami". Apa sejenak, tak ingin membaca sedikit tentang pandangan "kami" apa itu manusia? Kemarilah, dan simaklah cerita yang biasanya sering kalian batasi sendiri!!!
Sebuah cerita Horror-Fiksi y...
“Jika KAU sebegitu ingin memberiku mata ini. Bukankah menarik jika aku merusak pemberianMU TUHAN? KAU bisa marah padaku, akan kujalani dengan kegelapan sempurna. Tak akan lagi kubiarkan KAU memberiku pemandangan mengerikan lagi. Bukankah ini adil TUHAN? Akan kubantu KAU menyempurnakan penderitaanku” ia berteriak menatap langit dengan frustasi, tangan kanannya tak lagi bisa digunakan, tapi tangan kiri dengan jari jemari terkelupas mengangkat Besi lancip itu.... “Seseorang kumohon!!!!”
Pletaaakkk..
Sebuah batu mengenai kepala belakang Emilie dan membuatnya pingsan. “Kalau panik emang bikin bodoh yaa?” seseorang berjalan mendekat, aku yakin ia yang melempar batu itu. Tidak, dia bukan orang. Tapi mengapa bisa memegang benda? “Mengapa tak kau lakukan sejak tadi? Malah kayak orang gila teriak-teriak, meluk tak jelas.” Tunggu, dia mengatakan seolah sejak tadi ia memperhatikanku? Auranya mendominasi, tapi bukan yang ingin menguasai. Hanya seperti segan atau hormat, semacam itu. “Kalau tak bisa menggerakan benda besar, kau bisa kan menyentuh benda-benda kecil? Gunakan dengan baik maka sekecil apapun yang bisa kau genggam, pasti akan bermanfaat.” Ucapnya melewatiku dan kupikir akan melihat Emilie, tapi ia melewatinya lalu berjalan menuju jenazah abang Emilie, mengusap matanya dan membuatnya tertutup sempurna, membantu mulutnya yang sedikit menganga juga terkatup, ia kemudian berjalan ke arah jenazah perempuan yang sepertinya adalah ibu Emilie, ia berjongkok kembali, tangannya menengadah bibirnya merapal doa, matanya terpejam khusyuk. Setelah semua itu, ia berjalan mendekati Emilie yang meringkuk dengan kepala penuh darah, nafasnya pun tak teratur. “Kumohon, tolong Emilie.” Pintaku sedikit terisak, meski tahu kalau dia juga sama-sama makhluk tak terlihat tapi, tak ada lagi yang bisa kumintai tolong sekarang. Tidak ada, benar-benar tak ada. “Dia anak manusia lhoh.” Deg ,, maksudku, aku tahu itu tapi tak perlu dijelaskan juga. “Jangan terlalu simpati dengan manusia. Kau tahu, kau akan menyesal.” Ucapnya dengan langkah menjauh dari kami. Pakaiannya serba putih, usianya mungkin sekitar 35 atau 40 tahun dengan aroma parfum yang sangat wangi. “Aku tahu, tapi bisakah kali ini saja. Tolong Emilie.” Pintaku terus kulayangkan bahkan ketika beliau tak menoleh sama sekali. “Tuan, tolonglah.” Mataku berair, kerongkonganku kering karena berteriak terlalu banyak. “Aku juga bukan makhluk sempurna, kau tahu itu kan? Jadi aku tak bisa menolong si makhluk sempurana bernama manusia yang sekarang sedang sekarat itu.” Perkataanya justru membuatku lebih menderita. “Tapi kau bisa melempar batu untuk mencegah ia melukai dirinya lebih jauh kan? Jadi, tolonglah.. apa tak ada cara lain?” desakku dengan nada tetap meninggi. “Manusia lainnya sebentar lagi juga kesini, jadi biar sesamanya yang menolong. Kita tak berhak dan tak punya tanggung jawab untuk menolong atau menyakiti. Kita berbeda dengan manusia. Belajarlah untuk sadar akan posisimu di dunia ini. Biarkan manusia dengan urusannya dan kita dengan urusan sendiri.” Dan ia menghilang, sialan. Orang itu datang hanya berceramah, ia berkata seperti itu di depan jenazah dan anak kecil yang terluka parah. Tapi mengapa juga ia menolongnya di awal kalau setelahnya ia juga mengabaikan. Cih. Benar juga apa yang diucap, beberapa menit kemudian segerombolan manusia berpencar untuk melakukan evakuasi. Bagaimana caraku memberi tahu kalau ada yang masih bernyawa di sini. Kumohon prioritaskan Emilie.
Taaaak....
Suara-suara kecil kubuat senatural mungkin agar ternotice oleh petugas. Ah, orang tadi benar. Benda sekecil apapun bisa berguna, buktinya petugas-petugas itu bergegas kemari. Sekitar enam orang.
“Nafasnya tipis, tapi ia masih hidup. Hentikan pendarahannya, berikan ia oksigen, segera evakuasi.”
“2 orang tak bernyawa.”
Dan laporan-laporan yang membuat panas telinga. Terserah bagaimana nanti, yang jelas aku ingin Emilie selamat.
~ ●●~
Suara deru mesin memenuhi ruang-ruang beraroma obat ini, nyaring dan lebih mencekam dibanding suara tak terlihat dari hantu yang menakuti. Lalu lalang para dokter dan suster kewalahan dengan pasien yang membeludak. Rumah sakit yang terletak sedikit jauh dari pusat gempa, membuat bangunan ini masih kokoh dan muat untuk evakuasi para korban. Bagusnya adalah, mereka akan mendahulukan yang parah atau anak kecil dan wanita. Untuk Emilie, persyaratan mendapat perawatan utama cukup sempurna. Luka parah+anak kecil+perempuan. Kombo yang cukup berguna. Eh, bukan begitu maksudku. Sebenarnya Panji kemana sih, apa ia mokad juga sampai tak datang-datang kemari. Ini gimana kalo dokternya butuh wali? Yakali aku buat pulpen melayang sendiri untuk tanda tangan.
“Pasien nomor 71 butuh sekantong lagi darah O.”
“Kita kehabisan stok, tunggu akan kucari pendonor lainnya. Dia bisa bertahan 15menit?”
“Bisa!” para dokter yang kebingungan dengan kondisi overload begini benar-benar dipaksa berinisiatif tinggi untuk membuat jalan keluar di setiap problem. Sampai seorang laki-laki paruh baya menghampiri. “Kalian bisa ambil darahku sepuasnya. Pasien 71 itu perempuan kecil kan?” “Iya.” “Ambil saja sepuasnya, tolong selamatkan anak itu. Kalian bisa mengambil apapun dari tubuh renta yang tak bisa melindungi cucunya sendiri.” Nice orang dewasa, ia tahu kalau ada seseuatu yang memang tidak bisa digenggam dan menebus dengan perbuatan baik lainnya.
~ ●●~
Emilie selamat meski saat sadar, ia nampak kosong. Panji yang sudah berada di kamarnya pun merasa tak menemukan putrinya di sana. Bukan arti sebenarnya, tapi ia merasa putrinya telah tiada secara jiwa. Penyesalan karena tidak mempercayai putrinya benar-benar membuatnya terpukul. Ia yang datang tanpa luka sama sekali, melihat jenazah anak dan istrinya dalam kantong yang dijejer bersama korban lainnya pasti sangat terpukul. Sedangkan putrinya yang berumur 10tahun, harus menjalani operasi berulang kali, transplatansi darah, dan penanganan medis lainnya karena kondisi yang mengkhawatirkan. Mentalnya rusak karena melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana dua orang keluarganya menghembuskan nafas, melihat bagaimana rumah mereka hancur berkeping. “Emilie, setelah ini kita pulang. Ke rumah kita yang lama.” Ucap Panji dengan tangan yang terus mengupas apel tanpa henti meski sudah 3 buah yang terkupas dan terpotong, tapi ia belum juga berhenti karena bingung harus bertingkah bagaimana di depan putrinya. “Pekerjaan ayah di sini kan? Pekerjaan impian itu. Jadi kita jalani saja di sini. Akan kupastikan TUHAN melihatku.” Ia cengok sendiri dengan perkataan putrinya, menganggap bahwa ini hal positif. Tak tahu saja tentang teriakan kala itu. “TUHAN kan memang Maha Melihat Emilie.” Ah, bodoh sekali ucapan orang ini. “Ya, DIA melihat semuanya dan tertawa sekarang. Para hamba yang menyembahNYA sedang terluka karena sesuatu yang disebut musibah. DIA melihatnya kan? Tentang seorang anak tak bersalah tapi dibiarkan berdarah-darah menyaksikan keluarganya merenggang nyawa. Ya, DIA melihat semuanya. Dan DIA diam.” Kaaan, goblok sih jadi ayah. Makanya jangan kerja terus, makin rusak mental ini anak. Kukira Panji akan marah dengan perkataan Emilie, tapi justru ia menangis dan meletakkan apelnya di nakas yang disediakan rumah sakit, kepalanya tersungkur di tempat tidur Emilie. Mungkin ia tak menyangka kalau putrinya akan benar-benar sefrustasi itu, kudengar samar hatinya memohon ampun pada TUHANnya karena tak bisa menenangkan putrinya yang marah akan takdir, karena ia pun juga belum bisa menerima semua ini.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Semua akan berjalan kembali, waktu akan kembali membangun peradaban tapi tak akan mengembalikan sebuah nyawa yang melayang. Waktu akan memudarkan kenangan pahit, tapi tak selalu menyembuhkan luka dari kenangan itu. Waktu adalah boomerang bagi mereka yang suka menerka masa depan. Waktu adalah racun bagi mereka yang terjebak masa lalu. Waktu adalah doktrin terburuk bagi mereka yang hanya fokus pada masa sekarang.
To be continued...
Sampai jumpa di part selanjutnya tentang Emilie yang mulai dewasa. Kira-kira kisah apa yang bakal ia bawa yaa... 😃
See you next time.. Tenang-tenang, ga bakal hiatus kok. Mumpung lagi ada laptop nganggur juga di rumah.