Skenario terburuk dari semua alur yang terpikirkan justru terjadi. Selama ini, setiap detik bahkan aku tak meninggalkannya. Lalu mengapa? Sejak kapan dan bagaimana. Aku bahkan terus bertanya sembari langkahku membawaku kembali ke sekolah tempatnya belajar. Mencoba menelisik beberapa hal hingga benar-benar tak kutemukan apapun.
Prasangka buruk dengan semua yang pernah mengganggunya membuat emosiku makin meledak, wujudku mengikuti keadaan batin yang tak stabil. Rasanya jika begini, aku benar-benar tak ingin bertemu dengan Emilie, dia pasti akan membenciku. Kulitku semakin menyamakan dengan warna ekorku. Mataku kian memerah, rambut hitam legamku mulai memutih tatkala emosi sudah tak terkendali lagi. Aku melewati satu per satu makhluk yang pernah mengganggu Emilie, menghempaskan mereka tanpa alasan jelas. Meski mereka sudah merintih meminta ampun dan berkata tak melakukan apapun terhadap Emilie, tapi telingaku sudah tak ingin mendengar apapun. Aku kembali kesejatian diri. Makhluk penuh emosi dan pembawa petaka (katanya). Kukernyitkan dahi, sepertinya memang harus kesana. Sepersekian detik, angin membawaku ke sebuah gedung modern dengan kendaraan roda empat yang berjejer di parkiran.
Orang-orang berdasi dan berpakaian rapi berseliweran. Meski bukan menetap, tapi pekerjaan Panji sebagai konsultan selalu membawanya berada di tempat semacam ini. Sayangnya, kemanapun ia. Aku selalu bisa menemukan dengan cepat. Dan Di sinilah aku.. sengaja menyusuri lorong untuk sedikit meredam emosi. Meski tak terlihat, jika dalam keadaan begini. Tak sedikit orang yang akan tiba-tiba merasa sakit, semacam kondisi ingin muntah, pusing, sesak nafas atau paling parah ada yang sampai pingsan biasanya. Halah, apa peduliku. Padahal sengaja perlahan untuk menahan emosi meluap. Namun, justru semakin mendekati ruangan Panji. Emosi yang sempat reda, membuncah kembali. Lampu-lampu ruangan yang dinyalakan meski saat siang pun berkedip. "Hoo.. Keren juga efeknya." Meski sedang emosi, namun aku jarang melihat efek samping ke sekitar. Karena benar-benar tak peduli. Aku mematung di depan pintu, melihat orang-orang yang berkumpul bersama panji merasa pusing dan mual dalam waktu bersamaan. Di situ pula, Panji terlihat menghela nafas, bangkit dari tempat duduknya, lalu melangkah ke arahku. Menggandengku keluar ruangan, menuju rooftop kosong.
"Aku tidak akan bicara denganmu jika kau berpenampilan begini. Kau tau itu kan?" Meski ia berbicara lembut, namun seolah menegaskan akan sesuatu. Sembari melepas tanganku dan mulai menyalakan sebatang rokok, ia kembali menatapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS CERITA
HorrorMengapa hanya kalian saja yang boleh bercerita tentang "Kami". Apa sejenak, tak ingin membaca sedikit tentang pandangan "kami" apa itu manusia? Kemarilah, dan simaklah cerita yang biasanya sering kalian batasi sendiri!!! Sebuah cerita Horror-Fiksi y...