E.AD (2)

11 6 4
                                    



Rasanya waktu benar-benar berjalan melambat. Sangat lama untuk seorang laki-laki yang masih kepikiran dengan mimpinya. Lalu bekas merah di tangannya. Ia hanya berguling tak jelas menunggu pagi yang tak kunjung datang.

"Mau kutemani?" celetuk perempuan yang entah bagaimana sudah duduk di ranjang yang sama dengan Panji. "Sialan! Bisa ketuk pintu dulu nggak sih?" kadang Panji juga suka lupa kalau perempuan itu adalah makhluk seberang, ntar ngetuk pintu disangka neror. "Bawel, kalo nggak mau yaudah sih." Mau dari golongan apapun, namanya perempuan selalu hobi ngambekan.

"Jangan gitu donk, sensi amat." Kan... endingnya Panji sebagai contoh laki-laki menurunkan ego, meski yang dihadapi Cuma wanita transparant.

"Ross, mau nanya..."

"Nggak. Nggak tahu." Rossaline memotong spontan. "Aku belum selesai lhoh." Semangat berceritanya seketika menghilang. Mereka diam, tanpa ada lagi kelanjutan cuitan masing-masing. "Banyak yang kayak gitu." Sambil menatap memar di tangan Panji, ia meneruskan bicaranya "Orang-orang spesial kan emang pasti ada aja yang ngincar. Jadi nggak usah heran juga. Pun bukan berarti meski sesama dari alam lain, aku hafal semua demit yang hobi ngincar orang. Lu kata gue petugas dukcapil?" bagusnya Rossaline itu meski ngambek, badmood atau dalam suasana seburuk apapun, tetap bakal ngejelasin sesuatu dengan gamblang. "Gue nggak lagi mau nanya ini, setan! Aku mau nanya, Emilie oke kan ya? Dan by the way, sudah 5 tahun lhoh ini. Aku nggak pernah lihat kamu deket dia." Panji menghentikan ucapannya sejenak, melihat Rossaline berekspresi suram. "Ross" merasa namanya terpanggil, ia menegakkan posisi duduknya.

"Emilie kan nggak bisa lihat kamu, terus alasanmu nggak mau deket dia apaan?" Panji beranjak menuju meja kerjanya. Disana masih tersisa sedikit teh yang belum ia habiskan. "Aku juga jarang lihat kamu muncul. Dulu tanpa diminta, kamu udah rebahan aja di saung. Apa mau kubuatkan saung aja? Halaman depan masih luas kok. Nanti ayunannya dipindah aja, kita pakai space itu." Panji menatap intens temannya yang Cuma duduk diam di pinggiran ranjang. "Lu nggak pantes diem. BRENGSEK!" habis sudah kesabaran Panji, ia melempar buku catatan tebal tepat ke arah kepala Rossaline.

"Lu bisa santai nggak sih?"

"Ya lu nggak bisa diajak ngobrol."

"Gue lagi mikir anjing."

"Mikir apaan bangsat, otak transparan gegayaan pakek mikir."

"Elu ya, nggak bisa lihat orang tenang."

"Lhoh, mau kudoain tenang juga elunya malah gentayangan."

"Hah... apa? Ngomong lagi.."

"Apa..."

Dan pertengkaran mereka berlangsung cukup lama, sampai saat keduanya mendengar tabuhan gamelan mulai riuh. Keduanya saling bertatapan, diam untuk memastikan kalau apa yang mereka dengar bukan sekadar halusinasi semata.

ARRRRRRRRRGGGGGGHHHHHHH..........

Teriakan melengking perempuan menggema di seluruh sudut rumah itu, beradu dengan suara gamelan. Mereka berlari keluar menuju sumber suara di taman belakang.

"Emilie, apa yan-g...." ia melihat putrinya berdiri tanpa ekspresi, ucapannya terhenti saat ia menyadari sesuatu. Sebuah tubuh perempuan dengan pakaian kemben merah lengkap dengan selendangnya, tengah terbujur kaku di hadapannya tanpa kepala. Ia masih ingat, jika pakaian seperti itu adalah pakaian para penari yang dilihatnya dalam mimpi. Lalu mengapa sekarang ada di sini? Sesaat setelah ia terpaku dengan tubuh itu, fokusnya kembali teralih.

"Masih jam 3 lho yah, kenapa bangun lagi?" tanpa menengok sedikitpun, Emilie menyapa dengan nada datar. Panji ingin menjawab namun lidahnya kelu, ia melihat putrinya menginjak sebuah kepala. Lalu...

Splasshhh...

Layaknya sebuah tomat yang terinjak, begitu pula adegan yang kini ia saksikan. Kepala itu remuk dan memuncratkan darah segar. Matanya menggelinding tanpa arah, otaknya menyembul dari retakan tempurung kepalanya. Ia menahan mual yang tak bisa lagi ditutupi. "Ya kan, ayah jadi masuk angin." Baru kali itu ia begitu merinding, bukan tentang apa yang ia lihat, tapi karena nada bicara putrinya yang sangat dingin. Rasanya hanya karena mendengar suaranya saja, ribuan jarum menusuk tepat di jantungnya. Apakah putrinya tahu apa yang ia lakukan? Bahkan untuk sekadar melihatnya saja ia tak mampu.

Tubuh beserta kepala itu, perlahan lenyap bak debu tertiup angin. Hilang begitu saja tanpa meninggalkan bekas apapun. Emilie yang dihiraukan ayahnya pun memilih masuk dan meninggalkan ayahnya yang masih mematung.

"Ross, dia..putriku..kan?" dengan terbata, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri tentang apa yang sebenarnya terjadi. "Hmm.. reflek yang bagus." Mata Panji terbelalak mendengar komentar Ross dengan pose yang tak ada panik-paniknya sama sekali.

"REFLEK KAU BILANG?!" Rossaline lupa kalau manusia itu tak mudah mengerti apa yang ia pahami dari sudut pandang seorang hantu. Ia mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah atau mungkin defense agar ia tak ditodong perkataan-perkataan murka dari Panji.

"Wait-wait, santai, kalem bang kalem. Beneran aku nggak bohong, itu reflek. Ya kita aja nggak tahu lhoh kejadian awalnya kayak gimana. Masak mau langsung ngejudge gitu aja hanya karena melihat ending cerita? Emilie itu Cuma nggak bisa melihat, bukan berarti ia tak bisa merasa. Coba deh inget-inget, gimana tadi ia pas ke gep kamu." Mendengar itu, Panji mulai menenangkan diri, seingatnya ia tak melihat kilatan buruk di mata putrinya. Justru yang terlihat, putrinya menatap kosong udara malam itu.

"Reflek macam apa yang sampai memenggal kepala?" ucapnya sembari membanting pantatnya ke serambi taman. "Ya kau kalau ada nyamuk kan reflekmu bakal nepok sampai remuk juga kan?" dipikir-pikir, Rossaline kadang realistis juga. Hanya saja, ia masih belum terima jika putrinya punya reflek seperti itu.

Mereka yang kalut dengan pikiran masing-masing, tak sadar jika suara gamelan tadi mulai lirih. Sunyi kembali merayap, masih ada sebentar waktu menjelang shubuh. Masih ada waktu bagi mereka yang tak terlihat, kembali memunculkan eksistensi parahnya.

"Aku menginginkannya. Aku menginginkannya. Aku menginginkannya."

Suara berat seorang perempuan meracau diantara sunyinya malam.

"Aku juga."

"Haaahhh"

Bukannya marah, Rossaline malah menanggapi enteng suara misterius itu. Dan disambut tatapan tajam Panji.

"Aku juga menginginkannya. Coba saja menyentuhnya. Kubuat seluruh anak buahmu bernasib sama dengan yang dipenggal Emilie tadi." Tidak ada nada yang tinggi, hanya perkataan lembut namun penuh penekanan. Panji yang tadinya ingin marah, justru terdiam kembali. Ia tak tahu harusnya senang atau sebaliknya.

"Sepertinya aku akan kembali ikut di kehidupan Emilie." Ucap Rossaline tanpa memandang Panji. Ekspresinya datar, namun matanya seolah mengisyaratkan genderang peperangan yang nyata. "Ya." Hanya itu yang bisa dikatakan Panji. Ia terlalu lelah untuk berkata-kata, malam ini benar-benar malam yang terlalu panjang.


To be continued...


Kayaknya aku udah bisa back to jadwal rutin yaa.. hehe
Kalian jangan baca doank donk, kasih vote lah. Pelit amat. 


Happy reading. 

Author'Aiyy

BATAS CERITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang