E.AD (3)

13 4 0
                                    

"Aku pulang agak malem ya yah. Nanti cari makan di luar aja, Emilie nggak masak." Meski semalaman ia bahkan tak tidur, tetap saja tak sanggup jika harus membolos hanya karena kurang tidur. Lagipula salahnya sendiri karena sibuk membaca manga padahal tahu kalau PR nya segunung. Alhasil ia harus mengerjakan pagi-pagi sebelum shubuh. Ayahnya pun sama saja, terus menerus menguap karena setelah kejadian taman belakang, ia benar-benar tak tidur lagi. Efek usia nggak bisa bohong sih, padahal si Panji sudah sempet tidur, tapi malah yang kelihatan lebih lelah. 

Mereka berdua berangkat bersama, meski arah tempat kerja Panji dan sekolah Emilie berbeda, jam masuk yang tak sama, tapi Panji lebih suka mengantar putrinya lebih dulu, berbincang di sepanjang perjalanan, bercerita hal-hal absurd toh ketika jam pulang, mereka jalan masing-masing. Jadi memanfaatkan waktu pagi sebaik-baiknya adalah pilihan tepat.

"Kau bawa bolamu lagi Emilie? Ntar rusak. Emang sekolah nggak punya?"

"Ya ada, Cuma mau main sendiri aja nanti lepas pulang sekolah."

"Punya club?"

"Nggak. Kan aku bilang sendiri yah."

"..."

Panji tak lagi bertanya apapun, ia cukupkan mengkhawatirkan putrinya yang sudah dewasa itu.

"Daaa ayah jelek."

"haaaahhhh"

Braakk

Setelah meledek ayahnya, Emilie menutup pintu mobil cepat dan berlari masuk ke sekolah swasta tempatnya belajar.

"Emiii...." Panji setengah berteriak ketika sadar, sesuatu tengah mengikuti putrinya. Tidak, bukan sesuatu tapi segerombolan. Ia ingin turun namun dicegah Rossaline yang melambaikan tangan ke arah Panji menuju gerbang sekolah. Meski manusia lebih mengerikan, tapi kalau segerombolan yang dateng begitu ya sama aja mending manusia bisa dipidana kalau ngapa-ngapain. Padahal Rossaline sudah ikut Emilie, tapi kecemasannya tak pudar. Kita tidak tahu, seberapa brutal yang sekarang. Atau seberapa batasan yang dimiliki Rossaline. Ia hanya perantara Tuhan melindungi anaknya, tapi anaknya sendiri kepercayaannya dengan Tuhan memudar. Sejak hari itu..

~~●●~~

Tepat di depan kelasnya, ia berhenti. Menghela nafas, lalu menoleh ke belakang dengan tatapan mata tajam. "Bisakah kalian antri untuk mendapat giliran mati?" Rossaline yang melihat dari kejauhan sangat yakin kalau matanya masih belum bisa melihat hal abnormal, tapi instingnya masih gila seperti dulu. Hanya gertakan sederhana, sudah bisa membuat buyar segerombolan makhluk yang menyerupai mayat hidup itu. 'menarik' pikir Rossaline. Ia kembali mendapatkan ketertarikannya terhadap Emilie.

Tak seperti saat Emilie kecil, dimana kelasnya dipenuhi anak-anak polos yang tak paham apapun. Gurunya pun membosankan. Karena pertama kali ia ikut sekolah Emilie, pertama kali masuk kelasnya. Hal yang dibencinya ada di sini. Sekitar 3 anak sekelas bisa mengetahui keberadaannya, 2 diantaranya pingsan setelah berpapasan dengan Rossaline. Padahal ia juga sudah menekan auranya untuk menghindari hal demikian, apa memang anak-anak spesial jaman sekarang terlampau lemah ya.

"Jangan di sini ya. Kasihan anak-anak lain." Siswa yang tak pingsan itu bahkan bisa berbicara dengan Rossaline tanpa takut, tanpa menatapnya bingung, heran atau sejenisnya sama seperti yang lain ketika baru pertama menjumpainya. "Hei." Siswa itu ganti menyapa ke arah Emilie yang melanjutkan manga yang belum selesai dibaca semalam. "haloooo" karena tak direspon baik, ia mendekat melambai-lambaikan tangannya di depan muka Emilie. "ck. Apasih." Seperti biasa, ia sangat benci diganggu. "Bisa kau suruh dia keluar kelas." Sedikit berbisik, ia mengatakan sambil menunjuk ke arah Rossaline. "Hah?" sama seperti ekspresi Rossaline, Emilie pun bingung dengan perkataan siswa ini. "Itu, dia guardianmu kan?" Emilie menutup manga yang ia baca, masih berusaha mencerna perkataan yang terlalu tiba-tiba ini.

"Yang baca manga aku lhoh. Kenapa yang halu orang lain."

"Lha kok halu. Aku beneran, emm.. anu"

"Emilie."

"Ah iya, Emilie. Jadi, bisakah kau minta dia buat keluar dulu? Energinya terlalu level up, anak-anak bakal nggak tahan."

"Efeknya apa?"

"Mual, muntah, panas, pusing. Ya banyak sih. Kasian lhoh."

"Semuanya?"

"Iya, yang punya mata spesial bisa pingsan duluan karena terlalu peka. Different for me ya."

"Wait."

Entah apa yang dipikirkan Emilie, padahal ia sendiri tak tahu apa-apa.

"Kau yang dimaksud anak ini, sedang menahan diri? Bisa lepaskan saja? Aku tak peduli." Mendengar ucapan Emilie yang terdengar lewat batinnya, senyum Rossaline mengembang sempurna. Ia benar-benar melepaskan aura yang sempat ditahannya, menciptakan kegaduhan karena tiba-tiba ambruk satu persatu.

"KAU!" siswa tadi ingin mengecam Emilie, namun memilih meninggalkannya. Berlari menuju ruang guru meminta bantuan.

"Sudah, kau bisa melihatku dari luar kan? Maaf ya, aku tak bisa melihatmu." Sorot kesedihan kembali bertengger di wajah Rossaline, ternyata sekesal itu tak bisa terlihat oleh orang yang ia sayangi. Bahkan meski tak melihatnya saja, Emilie masih percaya bahwa ia ada disana.

"Cuci muka dulu. Jangan ngehalu dipagi hari." Seorang guru kembali meninggalkan kelas ketika semua nampak baik-baik saja. Tidak ada yang ambruk, tidak ada muka pucat seperti mayat seperti yang diadukan salah satu muridnya.

"Pffttt" bukan Emilie, ada lagi seorang yang menatap geli tingkah teman sekelasnya itu. "Jangan disini, kasihan anak-anak. Pfttt.. different for me katanya.."

"Tadi emang dia bilang begitu?" sahut Emilie tak tahan karena ia terus mendengar seseorang berbicara sendiri.

"Lhah, emang nggak denger?" padahal mereka sudah sebulan masuk sekolah ini, tapi masih saja belum saling berkenalan. Atau mungkin hanya Emilie yang malas memulai perkenalan. "Tapi dia ngobrol lewat batin sih, wajar nggak kedengeran sama orang lain." Ucapnya menjawab pertanyaan diri sendiri. 

"Arka. Nama gue." 

BATAS CERITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang