Back to Rossaline POV.
Sudah 5 hari berlalu sejak Panji pamit untuk pekerjaannya. Dan aku masih tetap bersenang-senang melihat tingkah polah anaknya. Yang kurasa makin kesini makin aneh. Kupikir kadang ia bisa melihatku atau melihat seseorang sepertiku. Ralat, yang levelnya di bawahku. Tapi jika dia benar-benar bisa melihat, harusnya dia merasa takut atau minimal tak nyaman dengan sekitar. Sedangkan dia sangat suka mengabaikan apapun tanpa alasan jelas. Beberapa waktu berlalu, terasa makin banyak seliweran yang ingin mendekatinya. Apa yang menarik, hingga banyak yang menginginkannya. Karena anak-anak?Ya kan anak-anak lain banyak..
Ahhh... Spontan aku menjentikkan jari ketika menyadari sesuatu. Banyak anak-anak namun aromanya tak semanis dia. Aku tak mengikutinya karena ini, meski kuakui hanya menghirup aromanya saja sudah meneteskan liur. Aroma yang hanya bisa tercium oleh 'kami' dan dimengerti oleh 'kami'. Aku tak pernah membicarakan ini pada Panji. Mungkin selepas ini, setidaknya dia harus lebih berjaga jika suatu hari, Emilie menjadi seperti dirinya. Suka tidak suka, dalam satu keluarga pasti selalu ada yang mewarisi.Lalu hari ini, bahkan mulai berani mengikuti Emilie sampai ke kelas, menatap tajam seolah tak sabar ingin menerkam. Kubiarkan beberapa lama, namun ia tak bergerak pergi ataupun mendekat. 'setan sialan!' rutukku dalam hati lalu mendekatinya.
"Pergi!" Dia hanya diam. Monyet besar seperti ini yang paling membuatku muak karena tidak kenal takut atau menyerah. Sekali ia menetapkan mangsanya. Tak akan pernah ia lepaskan sampai ia mendapatkan. Tapi disini dia mengincar Emilie.
"PERGI!" teriakku sedikit mengeras. Masih saja tak menggubris dan tetap menatap Emilie.
"KAU MAU PERGI ATAU BERDUEL DENGANKU??!!!"
karena sudah tak sabar, terpaksa aku merubah wujudku lengkap dengan aura membunuh yang membuat ia akhirnya pergi menjauh. Setidaknya saat ini Emilie aman, mungkin aku harus lebih intens bersamanya. Kalo tiba-tiba ada kayak itu lagi, kasian juga si Emilie. Setelah bulu babi itu pergi, aku mendekat dan melirik ke arah Emilie. Ini anak sakit atau gimana yaa. Wajahnya sangat pucat, tangannya gemetar, keringatnya bercucuran di pelipis membasahi poninya yang mulai lepek. Ku lambaikan tanganku di depan wajahnya. Dia tak bergeming.
"Emilie, apa soalnya benar-benar susah? Sampai kau sepucat itu? Kau tahu, Kak Rossaline baru saja mengusir setan kurang ajar. Dia membuatku muak karena berdiri lama sambil sesekali melihatmu. Ah, andai kau bisa melihatnya, pasti kau akan kesal juga." Gumamku tak jelas, sembari menyandarkan punggungku ke tembok depan meja Emilie dengan wajahku menatap nanar langit-langit.
"Nah Emilie, kupikir lebih baik kau benar-benar tak bisa melihatku. Aku khawatir kau akan takut denganku. Lalu menjauhiku atau meminta ayahmu agar aku tak mendekatimu. Haha.. entah sejak kapan aku merasa ingin selalu di dekatmu, merasa tidak rela jika ada yang ingin mencelakaimu. Padahal awalnya cuma penasaran." Apakah sekarang aku bisa disebut hantu galau? Harusnya jika dunia kita tercipta berbeda, Tuhan ga perlu ciptain manusia yang bisa lihat 'kita' donk. Biar semua berjalan masing-masing. Jika begini, statusku di opini orang-orang tetap sebagai pengganggu sesuai kodrat terciptanya 'kami' padahal... Ah sudahlah. Mikir begini juga kagak kelar.
"Terima kasih, emm.. Kak Rossaline." Hah? Aku menganga sejenak mendengarnya.
"Heehhhhhhh..... Emilie, kau?" Belum sempat aku berucap. Bocah itu sudah lari keluar menghampiri Allen.
Tadi?
Itu beneran?
Beneran kok yaa, ga salah denger aku.Masih syok dengan yang barusan, tapi aku harus mengikutinya, berharap tadi hanya salah dengar. Apakah Panji bercerita tentangku? Namaku misal? Bagaimana dia?? Ah!
Sesampainya ia di lapangan, aku melihatnya sedikit terhuyung. Namun kembali memosisikan diri berdiri tegak agar tak ada yang menyadari. Apa ia benar-benar sakit hari ini?
Melihatnya bermain dengan riang, membuatku cukup bahagia. Yah, begini sudah cukup.
Setelah beberapa waktu ia memainkan lempar tangkap bulu angsa, apa sih itu namanya. Pokoknya kegiatan semacam itulah.
Tiba-tiba dia ambruk.."Emilie......" Spontan aku ikut berlari ke arahnya yang sudah dikerubuti teman-temannya. Terlihat nafasnya berat, wajahnya memerah, keringat dingin bercucuran.
Tanpa aba-aba, sang guru membopongnya ke ruangan dengan label nama UKS. Sedikit panik, karena Emilie tak kunjung membuka mata."Emilie, kau kenapa? Oey..." Aku menoel pipinya berharap ia bangun. Baru kali ini aku bisa sekhawatir ini pada manusia.
"Kak Rossaline.."
Dia mengerjapkan matanya beberapa kali mengarahkan tatapan lemahnya ke arahku, dan memanggilku.
Dia beneran? Apa karenaku dia begini?"Emilie?" Guru yang membopongnya memanggil namun tak ia hiraukan. Matanya terus menatap ke arahku. Berbicara sangat lirih. "A-ku ta--kut. Ja-ngan per-gi. Me..re..ka.." Belum sempat ia melanjutkan omongannya, kembali ia menutup matanya.
Dia bilang mereka? Sialan!To be continued...
Hai hai.. Huhu maapin baru update ya. Kupikir kemarin sudah publish ternyata pas kulihat lupa belum ku klik publish 😓
Gitu aja sih, happy reading yaaa...#Author'Aiyy
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS CERITA
TerrorMengapa hanya kalian saja yang boleh bercerita tentang "Kami". Apa sejenak, tak ingin membaca sedikit tentang pandangan "kami" apa itu manusia? Kemarilah, dan simaklah cerita yang biasanya sering kalian batasi sendiri!!! Sebuah cerita Horror-Fiksi y...