Sepertinya Panji belum memahami tentang putrinya. Tentang sesuatu yang mungkin lebih berbahaya dari sekadar bisa 'melihat'. Manusia selalu saja menormalkan hal-hal tak normal hanya agar semua yang terjadi tak menjadi lebih buruk. Dan pada akhirnya sia-sia.
Meski baru menyadari hal ini, tapi tak apa. Kemungkinan besar aku tertarik dengan Emilie karena dia memang 'sesuatu'. Seringaiku tak henti terukir sejak kami pergi dari pesantren itu. Menjejakan kaki kembali ke dalam bus penuh sesak dan pulang dengan harapan tak ada lagi hal buruk yang dialami Emilie.
Hmm..
Hal buruk ya, kurasa tak buruk juga. Lagipula, siapa manusia yang bisa menutup seluruh permukaan laut dengan secarik jaring? Yang ada akan kembali menimbulkan percikan air lainnya."Berhentilah menyeringai! Kau menakutiku."
"Kau takut itu bukan salahku lho."
"Masalahnya matamu dari tadi ga lepas dari anakku."
"Yang kukenal kan anakmu saja di sini. Apa kau ingin aku melihat orang lain dengan seringaian juga? Gila."
"Kau paham konteks ga sih? KAU. MENYERINGAI. why?"
"Bukan apa-apa."
"..."
"Apa sih. Berhenti menatapku curiga."
"Kau saja risih dilihat begitu."
"Oke oke, aku tak akan melihatnya lagi."Yaa seperti biasa, orang tua itu selalu berlebihan dalam menanggapi sesuatu.
Belum juga 15 menit meninggalkan lokasi, hujan deras turun tanpa aba-aba."Datang.. Airnya datang." Lirih terdengar Emilie bersuara sembari melihat jendela lekat.
"Cih, anak ini." Ucapku semakin melebarkan seringaian, tapi segera kualihkan pandangan ketika ayahnya kembali melirik tajam ke arahku. Padahal ia juga mendengar, kenapa tak merespon apapun dari ucapan anaknya. Bukankah itu adalah hal janggal bagi sebagian manusia?
"Kau yakin keluargamu tidak ada yang punya 'mata' begitu lagi?"
"Di bawahku cuma Emilie. Di atasku, emm.. nenek, kakek, buyut emm.. hampir semua mungkin punya 'sesuatu' itu"
"Hah? Kau ini keluarga dukun?"
"Iya."
"Serius?"
"Iyalah. Nenekku dukun beranak."
" --____-- Berantem bisa lah ya di sini"
"Lhah, kok ngamok. Kan kau yang tanya."
"😈 "
"Nenekku, bisa tahu orang mau meninggal bahkan kurang 100hari."
"Waw, dukun beranak sampingannya tukang ramal?"
Twitch
"Oke, kau ngajak berantem dimana?"
"Heh, santai santai. Ngapa gantian ngamuk sih."
"Hmm.. intinya keluargaku ke atas memang 'sesuatu'. Dari sisi ibuku adalah gelap, maksudku beberapa memainkan hal-hal klenik ga sampe jadi dukun santet juga sih. Dari sisi bapakku adalah 'orang putih' kataku. Beberapa dari mereka menjadi 'sesuatu' karena ketaatan. Lalu bercampurlah menjadi abu-abu sepertiku."
"Pfffttt..."
"Puaaaassss kau."
"Bwahahahahahahaha...."
"Diem setan! Lu kemana aja sih baru tanya?"
"Nggak kemana-mana, udah tahu tapi sedikit doank tentang keluargamu."
"Tahu dari mana?"
"Lhah, aku ikut kakekmu dulu."
"Haaahhhhh"
"Eh, lupakan."
"Ulangi lagi. Apa katamu? Ikut kakekku?"
"Nggak lupakan!
"Ross...."Fuuushhh
Aku memilih menghilang dan pergi ke tempat random, daripada terus dicecar banyak pertanyaan. Padahal emang nggak sengaja ketemu aja. Bukan berati mengikuti karena garis darah. Tolong garis bawahi, aku benar-benar tak sengaja bertemu manusia yang bisa melihatku dan kebetulan manusia-manusia itu punya ikatan darah. Singkatnya keluarga. Lalu setelah ini, apa yang akan dilihat Emilie ku itu? Bencana? Korban? Penderitaan? Ratapan? Apapun itu, semua terdengar menarik. Membayangkan saja liurku menetes, tubuhku berubah wujud tanpa terkontrol. Ah, anak itu benar-benar sesuatu.
~~●●~~
"Ayah.. ada potongan-potongan film di otakku. Aku harus apa?" Ucap Emilie memandang ayahnya lekat.
"Hmm.. coba.."
"Nggak jadi, sudah hilang. Wuuuss begitu." Pada akhirnya ayahnya hanya bisa cengok melihat tingkah putrinya yang aneh.
"Memang filmnya apa?"
"Banyak sekali air, hujan ini ga berhenti sampai nanti malam. Ketika air mulai jebol, orang-orang banyak yang nggak sadar. Mereka tidur, teruuus"
"Dek." Seseorang yang sedang berdiri mungkin ikut mendengarkan lalu menyela sebelum Emilie meneruskan ceritanya.
"Banyak rumah yang hancur ya? Terseret air." Seketika Panji semakin bengong dengan percakapan saat ini.
"Eum. Paman lihat filmnya juga?" Tanya polos Emilie, dia benar-benar tak paham apa yang terjadi sebenarnya.
"Iya. Sudah seminggu lihat film yang sama. Tapi semua orang nggak ada yang percaya lhoh." Timpal laki-laki muda kisaran 25tahun ini. Raut wajahnya menekuk, seolah ia sudah menahan diri lama untuk tidak bersedih.
Beberapa waktu hening tanpa jawaban dari Emilie, ia sibuk merogoh isi tas kecilnya. Memberikan sebuah permen coklat ke orang asing yang tiba-tiba menimpali pembicaraan kami.
"Emilie percaya. Hehe. Satu orang cukup kan? Kata-kata 'semua orang' itu banyak lhoh' jadi jangan serakah ya."
"Heh? Pfftttt.. kau itu anak umur berapa sih?" Gelak tawa pecah karena hal sederhana itu. Akhirnya mereka bertiga justru saling cerita banyak hal random sampai di penghujung jalan lalu berpisah tanpa ada perkenalan atau saling meminta kontak. Ya, hanya bertahan di sepanjang jalan saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS CERITA
HorrorMengapa hanya kalian saja yang boleh bercerita tentang "Kami". Apa sejenak, tak ingin membaca sedikit tentang pandangan "kami" apa itu manusia? Kemarilah, dan simaklah cerita yang biasanya sering kalian batasi sendiri!!! Sebuah cerita Horror-Fiksi y...