"Jadi kenapa ada lagi yang di depan kita?"
Sesosok laki-lagi tegap tinggi besar dengan pakaian punggawa bak film-film kerajaan, menghadang jalan mereka dengan menunggangi kuda berwarna hitam pekat dan matanya merah menyala. Keduanya terdiam tanpa bisa melangkahkan kaki sama sekali. Arka yang bisa melihat dengan jelas, rasanya ingin pingsan saja. Ia tak paham mengapa tiba-tiba ada setan sebatalion menghampiri mereka secara bersamaan. Belum lagi Emilie yang agak ngang ngong karena tak bisa melihat tapi tepat dalam opini imajinasinya sendiri.
Ternyata benar, melewatkan waktu sandikala di luar rumah adalah hal terbodoh. Semacam Golden hours nya 'mereka', sebuah waktu perpindahan dari mode sleep ke mode aktif. Kebalikan dari manusia, yang di waktu ini kebanyakan mulai beristirahat karena usai jam kerjanya di siang hari.
"Jangan berbuat onar di wilayahku!" datang lagi sosok lengkap bersama para ajudannya yang sebagian berpaling menuju lokasi duel antar guardian, sebagian lagi masih setia bersama tuannya.
"Tarik kembali pasukanmu! Sebelum perang yang sebenarnya terjadi. Jangan melangkahi wilayah orang lain, ikut campur konflik wilayah lain. Jika melakukan itu, sama saja dengan mengibarkan bendera peperangan.
"Ah, pamaaan." Paman katanya? Batin Arka semakin tak karuan, ini bukan lagi imajinasi Emilie, tapi ia benar-benar tersenyum dan melambai ke arah sosok lelaki dengan aura yang menantang punggawa menyeramkan itu.
"Emilie, siapa yang kau panggil paman?" tanya Arka sedikit merinding. Tak mungkin ia salah mengenali, mana manusia dan mana makhluk dimensi lain.
"Itu. Dia jago main basket lhoh." Sejak kapan dimensi lain punya atlet basket? Bagi Arka, ini sudah tak masuk akal. Lebih dari biasanya.
"Akupun kaget karena dia bisa melihatku." Seolah bisa menebak isi hati Arka, laki-laki yang entah darimana asalnya bergumam menggunakan bahasa batin. Disini bahkan Emilie terlihat merasa aman sejak kedatangannya.
"Heh.. Kau menduakanku? Sekarang sudah ada yang menggantikanku bermain ternyata. Hatiku patah lhoh." Dengan nada dibuat-buat mendayu, suara khas pria dewasa terasa begitu menenangkan.
"Kau telat sih." Bak melihat anak kecil merajuk, Emilie berperangai tak seperti yang biasa ia lihat. Tapi.. apa Emilie tak melihat hal aneh? Ia tak melihatkah, jika tangan sosok yang dipanggil paman ini memanjang membentuk sebilah sabit, tanpa menggerakan badannya, ia beradu dengan punggawa menyeramkan itu. Apa apaan sebenarnya. Arka menutup mulutnya rapat dengan tangan, ia tak kuasa terus menerus menganga, karena inilah Emilie meliriknya.
"Kenapa sih? Tiba-tiba ngajak lari, tiba-tiba berhenti. Kau kena genjutsu?"
"Pergi. Ayo pergi." Arka tak lagi memedulikan apapun, ia hanya ingin menghilang dari sana.
"Arkaaaaaa, woy! Nggak sopan lhoh lari tanpa pamit." Emilie sedikit memberontak ketika tangannya ditarik paksa.
"Paman juga lagi capek kayaknya, pulang aja nggak apa kok Eiy." Mereka ini sejak kapan sebenarnya sudah saling bercakap, 'Eiy' katanya. Nama panggilan khusus? Otak Arka tak lagi bisa bekerja maksimal. Tanpa bicara sepatah katapun, ia benar-benar menarik paksa Emilie. Mau berontak atau apa, ia bodo amat.
"Emilie, siapa dia?" setelah beberapa meter meninggalkan lokasi, Arka baru bisa berbicara sedikit santai. Meski matanya mengintai keseluruh penjuru arah. "Siapa?" tanya Emilie yang mengikuti arah mata Arka, ia juga ingin tahu sebenarnya apa yang terjadi di sini.
"Yang kau panggil paman itu. Bukan imajinasimu lagi kan?" Arka hanya ingin memastikan, bahwa Emilie ini sebenarnya apa. Maksudnya, matanya ada di rate abstrak. Tak ada siapapun yang bisa menebak apa yang ia lihat, apa yang hanya ada dipikirannya, apa yang terlintas dan apa yang kenyataan seperti biasa.
"emm.. namanya Rajendra, karena susah ngucapinnya biasanya ya aku panggilnya paman En, dan beliau panggil Eiy, karena katanya namaku kepanjangan, nggak enak kalo manggil." Jelas Emilie dengan sedikit berlari karena gerimis mulai turun. Mereka berteduh di teras pertokoan yang sudah tutup.
"Kok bisa kenal?" Arka yang membenarkan tali sepatunya yang lepas terus bertanya agar tak menciptakan suasana hening.
"Beliau berdiri di luar pagar lapangan basket. Hanya melihat, padahal di sana sudah tak ada lagi yang bermain. Saat itu malam hari sekitar jam 7 atau 8 malam, ayahku keluar kota dan aku bosan di rumah. Yasudah, aku main kesini dan bertemu dengan paman. Saat pertama kusapa, ia malah celingukan dan bertanya 'aku?' begitu. Ia bahkan kaget ketika aku menganggukan kepala. Seolah dia itu seharusnya tidak terlihat atau seharusnya tak ada orang lain yang akan menyapanya. Kasihan ya, jadi aku bilang aku mau main tapi nggak punya teman, nggak tahu trik, nggak tahu drible dengan benar. Cuma dasar sih bisa, karena udah belajar dari smp juga. Tapi untuk main dengan asik, aku belum belajar itu. Dan beliau ini yang mengajariku, ia bilang sering melihat anak-anak menggunakan tekhnik begini tekhnik begitu. Kami bermain setiap kali bertemu." Emilie tampak antusias menyeritakan pengalamannya, Arka justru nampak ingin mencerna lebih dalam lagi. Memikirkan strategi pertanyaan yang tepat untuk menggali informasi lainnya. Masalahnya, sebelum bertemu Emilie, ia hampir tidak pernah didatangi secara brutal seperti ini. Guardian kembarnya lebih sering menganggur daripada beraksi seperti tadi.
"Lalu perasaanmu saat pertama bertemu gimana? Maksudku, apakah ada rasa takut, terancam, cemas atau apa gitu."
"Biasa aja, hanya merasa ia itu seorang leader atau sejenisnya. Kau tahu, manusia bijaksana selalu punya aura yang beda. Biasanya setiap orang punya detak jantung beraneka ragam, tapi aku tak bisa mendengarnya. Baik detak jantungnya, nafasnya bahkan langkah kakinya sekalipun. Setiap kali kita bermain, saking senyapnya, rasanya aku bermain sendiri. Telingaku itu bagus lhoh, jadi aku bisa mendengar suara setiap makhluk hidup."
Arka memicingkan matanya 'Ya iya bego, mana ada setan punya jantung berdetak.' Batinya bergemuruh ingin menyuarakan sesuatu.
"Kau bilang telingamu bagus, apa hidung dan matamu juga bagus?"
"Kayaknya Cuma mataku yang bermasalah, indra lainnya lumayan bagus. Ya kalo jadi detective sabi lah buat nguntit orang."
Transportasi online yang mereka pesan sudah datang, permintaan Emilie yang tidak memperbolehkan diantar ditolak mentah-mentah. Lagipula, ini sudah hujan. Takutnya banyak driver yang ngecancel orderan, jadi ya mau gimana lagi kalo nggak jalan bareng.
"Mobil ayahku kenapa sudah ada." Sebagai tuan rumah, Emilie memandu Arka untuk ikut segera masuk. Terlepas dari mobil ayahnya yang sudah terparkir rapi, padahal sendirinya bilang mau pulang telat juga.
"Sayaaaangggggg....." Panji kicep, karena tak sadar jika putrinya membawa laki-laki ke rumah mereka.
"KAU! JANGAN REBUT EMILIE DARIKU." Sifat overprotectif seorang ayah muncul. Tapi sekelas Panji cukup lebay juga, karena ia sampai harus menarik putrinya dalam dekapan.
"Nggak, gini om."
"APA?!" keduanya menghela nafas melihat kelakuan manusia tua semakin absurd.
"Dia temanku, kau tak ingin aku punya teman?"
"ta—pi"
"Berhenti mempermasalahkan hal remeh, dia hanya butuh tempat berteduh. Bukan hati untuk disinggahi."
"Ngapa jadi puitis?" sindir Arka tipis
"Sudah ah, aku mandi dan siapin makanan buat kalian dulu. Yah, pinjemin baju santaimu buat dia ya. Suruh dia bebersih itu, setelah ini kita makan." Emilie kembali ke mode ibu rumah tangga sementara, mengatur kegiatan yang memang harus dilakukan para penghuni rumah.
"Om, aku bisa melihat. Sepertinya om juga begitu, jadi harusnya om tahu kan kalo Emilie lebih dari sekadar 'bisa' melihat?"
Deg!
To Be Continued...
Mengabulkan request untuk update lebih sering. Terima kasih sudah memberi semangat ya.. sehat-sehat readers. Jangan pelit vote yak.
Happy reading
#Author'Aiyy
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS CERITA
HorrorMengapa hanya kalian saja yang boleh bercerita tentang "Kami". Apa sejenak, tak ingin membaca sedikit tentang pandangan "kami" apa itu manusia? Kemarilah, dan simaklah cerita yang biasanya sering kalian batasi sendiri!!! Sebuah cerita Horror-Fiksi y...