"Emilie.. bantu ibu bebersih donk."
Rumah bergaya minimalis menyambut kedatangan mereka. Meski tak sebesar rumah lama, namun ini cukup elegan dengan cat tembok gradasi putih abu-abu membuat tampilan menawan. Halaman depan nampak cukup luas ditambah sebuah gazebo kecil sebagai ornamen pelengkap. "Punya saung baru deh di sini" Rossaline yang tentu ikut perjalanan ini pun dengan asik berkeliling rumah seperti sudah menjadi bagian dari keluarga ini.
"Emilie kemana yah?" Celetuk ibu menghampiri suaminya yang sedang menata beberapa barang di ruang tamu. "Di depan kayaknya, dari tadi belum masuk kok."
"Fariz, bantu panggilin adekmu donk."
"Iya." Ayah dan ibu saling bertatapan tak biasanya juga si abang mau membantu sesuatu yang berurusan dengan adeknya."Dipanggil ibu lhoh, ngapain di pojokan?" Hening.. ia melihat adeknya dengan posisi meringkuk ke depan, kedua tangannya meremas kepalanya kuat.
"Emilie, lu kenapa?" Abang yang lama-lama khawatir, mendatangi adeknya dengan sedikit berlari, ia menepuk pundaknya berusaha membuat posisi Emilie tegak lebih dulu. Namun tak bisa. "Lu jangan aneh-aneh deh. Masuk dulu." Meski perkataannya masih kasar, matanya tak bisa bohong. Ia sangat khawatir. "Argh." meski lirih, ia mendengar adeknya merintih. Sesaat kemudian, ia tumbang.
"AYAAAAHHHHHH!!" panik merayapi tubuh sang abang, melihat Emilie merintih dengan darah yang terus keluar dari hidungnya. Tunggu, ia gemetar tak karuan. Tangannya ingin menggapai tubuh lemah Emilie, namun tak bisa. Ia terlalu kalap dalam kondisi panik. Selama ini, apa adeknya menahan hal semacam ini? Rasa sakit? apakah begitu? Dan selama ini pula, ia terus menerus membencinya tanpa alasan.
"..riz"
"Fariz" lamunannya buyar ketika ayah dan ibunya memanggil beberapa kali. Memeriksa keadaan Emilie yang masih meremas kepalanya dengan rintihan semakin pilu.
"A..yah.."
"Cari kendaraan! Minta bantuan tetangga terdekat. Jangan melamun. FARIZ!" masih dengan tubuh gemetar, ia mencoba berdiri.
"Panggil ambulance saja" sela ibu yang tak kalah khawatir dengan kondisi putrinya. Mereka baru sampai, namun disuguhkan dengan hal tak terduga. Apa yang sebenarnya terjadi.
"Tidak. Dia benci rumah sakit." Ayahnya tak ingin lagi putrinya mendapat triger seperti dulu. Kekhawatirannya justru lebih besar dibanding dulu. Emilie sudah mendekati usia baligh, hanya tinggal beberapa tahun lagi.
"Mau kubantu? Tak seberapa, tapi cukup efektif mengurangi sakitnya. Setelah itu silahkan bawa ke dokter terdekat." Tanpa dipersilahkan pun, Rossaline memegang lembut kepala Emilie dan menciumnya. Dia tersenyum, layaknya seorang ibu yang sedang menghadapi putrinya sendiri. Senyuman hangat, bukan seringai seperti biasa. Panji terdiam menyaksikan apa yang tidak dilihat orang lain selain dia. "Dia belum bisa melihatku, kau tahu. Tapi entah kenapa, energinya terpakai terlampau jauh menyebrang. Akibatnya ya seperti itu. Shock, kesakitan, koma, dan lain-lain. Untuk kasus tertentu bisa sampai meninggal. Solusinya tinggal tekan energinya kembali pada tubuhnya, selaraskan dengan energi sekitar, tutup koneksi dengan energi negatif di sekitar. Saat itu berhasil, orang itu akan berhenti merasa sakit. Harusnya kau belajar itu, monyet!" biasanya Panji akan protes ketika Rossaline mengatainya, namun ia terlalu terpukau dengan penjelasan panjang lebar namun dilakukan dalam hitungan detik dan kondisi Emilie berhenti merintih, tubuhnya melemas dan tertidur begitu saja.
"Emilie tidur?" tanya ibunya memastikan kondisi anaknya dengan menyentuh urat nadi, mengecek nafasnya. Trauma kehilangan anak dipangkuan masih terngiang di kepala. Saat tahu, nafas putrinya masih ada. Ia menghela lega. "Iya, dia hanya tidur." sang ayah yang mulai tenang, menggendong putrinya untuk di bawa ke dokter terdekat.
~~
"Dia. Sebenarnya dia kenapa?" celetuk Fariz diantara hening. Emilie belum sadar meski dokter mengatakan ia terlalu lelah dan dehidrasi tinggi. "Hanya lelah." jawab ayahnya singkat. "Lelah? Lelah macam apa yang membuat kalian berdua melihat Emilie seperti akan mati? Katakan padaku!" Belum pernah seumur hidup, Fariz berteriak karena adeknya. Bukan sedang bertengkar seperti biasa. "Kenapa kalian diam?! Aku..aku berhak tahu atas kondisi adikku!" nadanya semakin tinggi. Ia tak didengar, atau entah kedua orang tua itu sedang memikirkan jawaban yang tepat. "Berisik! biarkan aku tidur." suasana kembali berubah ketika seseorang yang dibicarakan tersadar dari tidurnya.
"Woy! Lu mau mati? Bisa nggak kalo mau mati jangan di rumah ini. Lu mau jadiin gue tersangka terus gue dipenjara, makan makanan tahanan, tidur di lantai..."
"Hah?"
"Elu tuh ya... asbsdhfhswfhejfnhcr."
Dan mereka kembali bertengkar, meski sebenarnya sang abang mulai luluh sedikit demi sedikit.
~~~~~~~~~
To be continued...
Tunggu-tunggu, aku lagi menyiapkan klimaks yang sedikit panjang. Jadi sayang aja kalo kupotong. Yodah ya, ini kucukupkan sampai 700'an word biar setelah ini kalian puas untuk cerita klimaksnya.
happy reading
Author'Aiyy
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS CERITA
HororMengapa hanya kalian saja yang boleh bercerita tentang "Kami". Apa sejenak, tak ingin membaca sedikit tentang pandangan "kami" apa itu manusia? Kemarilah, dan simaklah cerita yang biasanya sering kalian batasi sendiri!!! Sebuah cerita Horror-Fiksi y...