Emilie Addult (1)

11 5 0
                                    


Sebuah tangan mencengkram erat lengan Panji. Memamerkan jari-jari dengan kulit menghitam, terkelupas tak beraturan. Darah kental merembes dari pori-pori kulit. Aroma busuk menguar tatkala kini tubuhnya didekap dari belakang. Sebuah dagu menempel di pundaknya, sementara itu ada satu tangan lagi yang membelai wajahnya dengan lembut. Nafasnya tercekat, ia mematung di tempat. Otaknya menyuruh lari, namun kakinya enggan menurut. Suasana gelap gulita dengan sedikit pendar cahaya mulai berubah perlahan menjadi terang dengan temaram merah mengelilinginya. Sayup mulai terdengar alunan musik yang semakin riuh, kesendirian mencekam ia rasakan semakin menjadi ketika pandangannya berubah melihat sekelompok orang sedang berpesta. Tari menari saling mengikat seolah menjadi ajang yang membahagiakan. Perempuan-perempuan cantik yang entah darimana asalnya, meliuk dengan fasih. 

"Mungkin jika ada putrimu, pesta ini semakin riuh." Ucap seorang perempuan membuyarkan lamunan dalam Panji. Perempuan yang entah sejak kapan berganti memeluk dari belakang, menggantikan sosok tangan hitam yang menjijikan diawal ia mulai ada di tempat ini. "Jangan bercanda!!" jiwa seorang ayah tak bisa diam saja jika menyangkut anak. Meski ketakutan setengah mati, ia tahu jika ia berhenti di sini, putrinya dalam bahaya. "Aku tidak bercanda sayang.. kami akan menantikan putrimu yang manis itu." Tutur perempuan yang bertingkah semakin manis di pelukan Panji. 'Menjijikan', pikirnya "Lepaskan!" gertaknya kini yang sudah memperoleh keberanian kembali. "Ayolah, menari dulu. Atau mau bermalam denganku juga boleh. Aku akan memberikan pelayanan terbaik untuk seorang pria tampan sepertimu." Apakah dunia seberang juga memiliki mucikari? Sehingga ada wanita jalang yang menggoda duda beranak tiga ini. ....

"yah.....Ayah"
"........(sedang mengumpulkan kesadaran)" sedetik kemudian.. "UWAAAAAAAA" pletakkk. Suara nyari berbunyi dari kepala Panji dan Emilie yang terantuk satu sama lain. "aduh... Ayaaaahhh" geram Emilie sembari tangannya tak berhenti mengusap keningnya yang mungkin sekarang mulai benjol. "Kamu ngapain sih Emilie." Tanpa rasa bersalah, Panji membenarkan posisi duduknya.

"Aaaaaa... yah, kepalamu terbuat dari semen cap badak apa ya. Keras banget"

"Cap kaki tiga sih kebetulan."

"Sejak kapan cap kaki tiga produksi semen?"

"Lhah kamu juga, sejak kapan produk knowledge cap badak berubah jadi semen?"

"aaaa... udah ah. Terserah!" perdebatan antar merk itu selesai dengan Emilie yang menekuk mukanya tanda ngambek dan Panji yang menghela napas panjang karena jengah dengan segala sesuatu hal kecil tapi diperpanjang begini.
"Mau bangun apa lanjut tidur?" Emilie menjeda ucapannya ketika melirik arah jarum jam. "Sepertinya kau harus lanjut tidur aja deh yah. Baru jam 2 pagi juga. Mandi dulu tapi, jangan kayak gini, pulang-pulang langsung ambruk, nggak cuci kaki, tangan, muka. Nggak makan, aku tuh udah masakin buat ayah, minimal kalo telat pulang tuh ngabarin, ada hp buat apa?....." dan omelan masih berlanjut sampai beberapa menit berlalu. "Iya-iya" jawab panji tak terlalu menanggapi dan melengang pergi.

"Kau beli bola basket lagi?" tapi bukannya ke kamar mandi, ia malah mengambil bola yang terlihat masih baru tergeletak di sudut ruang. Panji kembali menghampiri putrinya yang kini ia dapati tengah melamun di sofa, menggantikan posisinya. "Aku beli dengan uang tabunganku kok, jadi santai saja." Emilie melepas lamunannya ketika sang ayah melempar bola ke arahnya.

 "Bola kemarin kemana emang?" tanya Panji dengan tangan terlipat di dada menunggu jawaban Emilie yang malah asyik memainkan bola di tangannya. "Rusak." Jawab Emilie singkat. "Rusak? Atau palsu ya, biar ayah komplain." Tangannya yang satu kini menopang dagu, mencoba sok-sokan berpikir padahal ia sendiri lupa beli dimana karena memang asal berhenti di depan toko penjual alat olahraga di tepi jalan. "Nggak, emang rusak aja. Masih mau ngobrol? Kau mau mandi apa mau kulempar bola basket sekalian?" Emilie sudah dalam posisi siap melempar bola yang dipegang erat di tangannya, tapi Panji sigap mengangkat kedua tangan lalu berlari pergi. "oo...Mandi. Oke-oke ayah mandi." Hubungan mereka berdua malah terkesan anak yang mengurus bapaknya. Karena tanpa Emilie, Panji hanya berangkat kerja-pulang-tidur. Begitu terus siklus hidupnya, adanya Emilie benar-benar membuat hidupnya lebih berwarna, meski anaknya terlalu galak untuk ukuran seorang gadis puber.

~~●●~~

Sesaat setelah mandi, Panji mendengar suara berisik di taman belakang rumah. "Lhah Emilie, nggak bisa nunggu nanti aja pulang sekolah atau pas sekolah aja gitu mainnya?" yup, putrinya sedang melakukan dribling dan melempar bola ke backstop. Jatuh, memantul, diambil, dribling, overhead pass. Dan begitu terus, sejak kapan putrinya bermain cukup lihai. "Emilie.." teriak ayahnya karena putrinya terlalu fokus dengan bola. "Nanti deh, bentar lagi." Tanpa menghentikan permainannya, ia mengabaikan ayahnya yang mulai badmood. "Kok diambil. Yah.. oey. Lhah, malah lari si musang gila..." Panji sangat benci diabaikan, jadi seringkali ia bertingkah seperti bocah dengan merebut mainan anaknya hanya untuk mendapat perhatian.

 "Apa lagi sih yah?" putrinya yang tahu karakter ayahnya, tak lagi marah dengan tingkah sekonyol apapun. Karena ia paham, bahwa ayahnya sebenarnya kesepian. "Sejak kapan, suka basket begini?" Panji memandang lekat bola yang ia rebut dari lapangan tadi tanpa melepasnya, seolah bola itu adalah alasan ia untuk cemburu. "SMP kayaknya, kelas 9 atau kelas 8, lupa. Kenapa? Kan ayah yang beliin aku bola dan pasangin backstop di belakang rumah." Emilie masih menunggu ayahnya yang memutar-mutar bolanya dengan wajah ditekuk. "Iya tapi kan, baru-baru ini. Tapi kamu kayak udah lihai. Emang nggak pengen badminton lagi? Kan dulu Emilie suka badminton." Entah sadar atau tidak, ketika ia menanyakan hal itu. Atau memang sudah benar-benar lupa. "Basket itu nggak perlu bertumpu pada satu tangan, badminton harus kuat di salah satu tangan. Aku bukan kidal, tangan kananku kan sudah tidak baik-baik saja yah." Spontan Panji sweatdrop mendengar jawaban Emilie, benar adanya jika ia lupa tentang kondisi putrinya. Ia langsung menyodorkan bolanya ke arah Emilie. Mereka berdua kini duduk di serambi belakang rumah, menatap langit tanpa bintang. "Emilie, memangnya bola kemarin rusaknya kenapa?" tanpa menatap putrinya ia bertanya dan tak mendapat jawaban apapun. 

"Kau tak sedang dibully kan?" insting seorang ayah kini yang bertanya, namun Emilie masih diam tak bersuara. "Kalau kau dibully, kau harus balas. Ayah lebih senang dipanggil ke sekolah karena kau merusuh untuk membela diri. Daripada harus dipanggil ke rumah sakit karena kau terluka akibat dibully." Memang dimana-mana didikan seorang ayah dan ibu itu berbeda, tapi karena ucapan serampangan itu. Tanpa disadari Panji, Emilie tersenyum tipis. "Ya, lain kali kubalas." Spontan Panji menoleh dan menatap tajam putrinya, didekapnya wajahnya lekat, kilatan emosi terlihat di matanya. "Kau benar-benar dibully? Kau ditampar ya? Pantas saja pipimu bengkak sebelah, ujung bibirmu terluka. Berapa orang yang bully? Kita lapor polisi?...." dan rentetan pertanyaan inilah yang membuat Emilie jengah untuk berkata apa adanya. Setidaknya disini kita tahu, bahwa mereka dipastikan ayah dan anak kandung tanpa harus memastikan tes DNA. Sama-sama bawel dalam porsi masing-masing.

"Lupakan tentangku, kau sendiri kenapa pulang telat? Apa karena mempir dulu di love hotel?"

"haaaaaaahhhhhhh...... kau menuduh ayahmu berbuat sehina itu Emilie?"

"Kalau bukan love hotel, kenapa tanganmu memerah bekas genggaman tangan? Hmm.. sepertinya juga tangan perempuan dari bekasnya."

Deg!!
Panji segera melihat lengannya yang ternyata benar-benar ada bekas, bukankah tadi mimpi? Mengapa hingga berbekas. "heeeehhh.. kenapa kaget? Jadi benar mampir dulu?" bukannya penasaran, kini malah jengkel dengan putrinya yang pintar membalik materi percakapan. "Oey!" Emilie menarik paksa tangan ayahnya, ketika ia menyentuh bekas itu, matanya memicing.

"DIA AYAHKU! JANGAN COBA-COBA MENGAMBILNYA!" Emilie berteriak geram entah pada siapa dan berganti menggenggam tangan ayahnya lebih keras, hingga bekas tadi tergantikan oleh bekas tangan Emilie. "aaaaa... Emilie. Kau gila?" dengan wajah tanpa dosa, Emilie meninggalkan ayahnya yang meringis kesakitan. "Aku tak ikhlas jika kau sampai ke love hotel! Awas aja, bweeeee...."
"Emilie........."

Mau tak mau Panji harus menerima kelakuan putrinya yang begitu karena dirinya juga. "Jadi putrimu memilih menantangku?" suara dari kegelapan malam berdenging di telinga Panji. Sesaat ia menyadari, bahwa mimpi tadi menjelma menjadi nyata. Atau justru, kenyataan yang merayap dalam mimpinya?

To Be continued..

Yahooo.... hadir lagi, mulai part Emilie dewasa ya. Remaja sih, baru SMA juga. Happy reading yak.
Jangan lupa voment.

#Author'Aiyy

BATAS CERITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang