KEPUTUSAN EMILIE

17 4 0
                                    

"KAN EMILIE!!!" mereka berteriak bersamaan dan menoleh ke arah bocah itu.

"Huh?" tengah asik tertawa, ia langsung cengok. Tunggu, apa yang diperdebatkan kedua makhluk ini sebenarnya tadi? 

~~~~~

Beberapa hari sudah berlalu, namun perkataan mereka berdua masih urung kujawab dengan pasti. Lalu selama itu pula mereka mendekatiku dengan menawarkan keuntungan yang didapat jika memilih salah satu dari pilihan. Sebenarnya ayah itu sales marketing atau apa? Pun Kak Rossaline, dia itu hantu atau promotor sih.

Kehidupan tak normalku pun masih berlanjut. Aku yang masih sering mendapati sekelas zombie berjalan di sekitar jalan raya. Atau kumpulan hewan kecil yang kukira lucu, ternyata berwajah kakek-kakek. Dan semakin banyak pula kejadian yang bahkan untuk bercerita pun aku lelah. Hanya saja sekarang Allen, teman sekelas lainnya dan beberapa guru mulai menaruh simpati karena kejadian tempo lalu. Mereka terkesan lebih peduli. Jadi aku tak harus selalu merasa sok kuat. Tak harus menahan diri ketika ingin menangis karena takut, atau menahan muntah saat sesuatu menyeruak. Meski tak paham tentang mataku yang berbeda, tetap saja orang-orang lebih respect dan menawarkan apapun untuk membuatku nyaman. Hanya saja, pikiranku masih kosong. Seolah belum bisa menerima semua ini. Ditambah dengan tawaran yang diajukan ayah serta Kak Rossaline. Dan di sinilah sekarang, terduduk sendirian di kursi kosong sudut lapangan. Tempat yang jarang dikunjungi karena pasti anak-anak lain lebih memilih kursi yang baru, bukan reot seperti yang kupakai. Sesekali Allen menghampiri lengkap dengan omelan dengan suara 6 oktav.

"Belum bisa memutuskan?" Celetuk seseorang membuyarkan lamunanku. Seseorang? Tapi dia bukan orang. Apa ya.. sesehantu? Sesesetan? Seekor? Sebiji? Argh.. bodo deh, gini aja kupikirin.

"Kenapa sih ini bocah. Jawab donk, malah ngacak-ngacak rambut sendiri kek orang gila."
"Berisik! Ntar malem deh." Jawabku sembari menenangkan diri dan kembali menatap kosong angin. Harusnya pilihan ini adalah hal mudah, tapi entah kenapa jadi seberat dan sesulit ini. Ayolah Emilie.. kau hanya anak 6 tahun lhoh ini.

~●~●~

"Assalamualaikum. Emilie...... kata si ulet bulu itu kau mau memberi jawaban malam ini? Jadi apa? Gimana?" Tunggu, sejak kapan ada yang namanya ulet bulu 😑 lagian baru juga pulang, buka pintu, tas masih ditenteng, sepatu belum dilepas, baju belum diganti, bau keringat pula. Sudah main mencecar aja.
"Ya mandilah dulu. Bau!"
"Hehhh, bau keringat begini yang membuat ibumu suka lhoh" sambil menyisir rambutnya yang lepek ke belakang. Bergaya bak mantan model. Tingkat percaya dirinya benar-benar overload 😌
"Halah. Udah ish ayah, buruan! Kutunggu di Saung, nggak pakek lama." Ucapku berlalu meninggalkannya yang masih berkutat dengan pernak-pernik perlengkapan kerjanya.
Mungkin memang harus memilih, lambat laun piliham semacam ini pasti akan datang juga di lain masa.

~●~●~●~

"Jadi?" Nah, gantian. Baru juga pantat ini menempel ditepian, udah aja disamperin. "Tunggu ayah lah, biar fair" omelku menutup percakapan singkat ini.
"Haaaaahhhh, segar sekali. Saung ini tak pernah gagal menghiburku." Ayah yang barusan datang langsung merebahkan diri, sejenak gegoleran kesana kemari, sampai akhirnya memosisikan diri menghadap ke arahku dengan satu tumpuan tangan menyangga kepalanya. Lengkap tatapan intens dan senyum tipis seolah menungguku membuat moment.

"Aku... ingin normal." Ucapku dengan sekali helaan nafas. Sedikit tercekat, namun memang ini yang harusnya kupilih. Terlihat ayah mulai membenarkan posisinya untuk duduk. Ia tersenyum tapi tak mengatakan apapun, hanya senyum dan tepukan lembut di ujung kepalaku. Kak Rossaline yang biasa slengekan pun tersenyum tipis, seperti mengisyaratkan sebenarnya ia juga senang dengan pilihanku. Apakah memang begini? Sudahkah tepat?
Dari dua pilihan yang memintaku untuk menerima takdir atas mata dan kemampuan ini. Atau pilihan tentang menjadi normal, menutup semua akses melihat atau merasakan keberadaan dunia selain duniaku.
Andai Kak Rossaline bukan dimensi sebelah, atau andai aku tak bertemu Kak Rossaline, pasti akan mudah mengatakan pilihan untuk menjadi normal saja. Kehadirannyalah yang membuatku butuh waktu berhari-hari, kebimbangan yang tiada terkira untuk memutuskan pilihan ini. Normal disini berarti aku tak akan melihat hal menyeramkan yang tak ingin kulihat selama ini. Namun artinya juga, Kak Rossaline tak akan lagi terlihat.

"Kak Rossaline..."
"Hey tak apa, aku justru menginginkan itu juga. Aku tak ingin melihatmu seperti kemarin. Jadi tak apa."
"Ya, lagipula aku hanya tak ingin menyusahkan ayah, ibu dan semuanya."

"Sudahlah Emilie, jika kau merindukannya, dia bisa kok mewujud menjadi ulet bulu."
"Woy!!!adhjkvcctjnmfdeedfghsssef..."

Dan mereka pun kembali ke mode tempur. Mungkin ini terakhir bisa melihat ayah yang biasanya keren, tenang, santai, menjadi bar-bar tak terkendali, konyol, tertawa sangat lepas. Bukan berarti ketika bersama ibu tak tertawa, hanya saja bersama kak Rossaline seolah mereka adalah satu kesatuan yang sudah sangat lama saling mengenal. Tidak ada rasa jaim atau perasaan sungkan atau lainnya. Vibes langka yang sebenarnya ingin lebih lama kunikmati. Dan sesuai janji, besok aku akan mulai menutup apa yang harusnya tertutup.

~●~●~●~

"Ibu.. kita berangkat ya."
"Ayah.."
"Hey, kenapa lagi sih?"
"Harusnya, Nizam.."
"Huss, dia sudah tenang. Jangan bicara masa lalu ya. Kali ini, kupastikan tidak akan ada lagi cerita Nizam terulang di keluarga kita."

Meski tidak niat menguping, namun pembicaraan dua orang tua itu terdengar jelas di balik tembok tipis tempatku bersandar.
"Emilie, sudah siap kan? Ayok." Seru ayah sedikit berteriak, dan aku pura-pura berlari. Padahal sedari tadi sudah ada di dekat mereka.

Jika ditanya mau kemana? Ya berkaitan dengan jawaban semalam. Ayah bilang kita akan pergi ke guru tempatnya mondok dulu. Baru tahu juga kalo ayahku pernah jadi santri.

"Emilie... emilie.." terdengar suara ayah memanggilku sedikit berteriak. Namun jangankan menjawab, bernafaspun sangat susah. Apa lagi ini. Dalam bus yang kita tumpangi, penuh sesak, mungkin karena weekend. Tapi yang memenuhi, adalah orang-orang dengan badan terbakar dan hancur di beberapa bagian. Aroma anyir, daging bakar, busuk menyeruak sangat tajam. Tubuhku gemetar tak karuan, aku ingin tidur, memejamkan mata, pingsan atau apapun yang bisa membuatku tak lagi sadar. Lalu sebuah tangan menutup mataku "Sudah. Bernafas ya. Sudah tidak ada." Suara yang tak asing sedikit berbisik ke telingaku. Suara laki-laki yang pernah menolongku dalam mimpi, kembali hadir. Pun dengan tangan yang menutupi mataku, tangan lembut yang pernah menggandengku waktu itu. Siapa?

"Emilie"
"Huh? Iya. Maaf"
"Apa yang kau lihat?"
"Tidak ada"
"Emilie"
"Tidak ada apapun yang terjadi. Jadi jangan berisik."
Sekadar tak ingin memperpanjang masalah, aku memilih pura-pura terlelap meski sekalipun mataku tak mau terpejam. Bayangan tentang hal seperti itu kembali lagi. Ini yang kubenci.
Tapi siapa?
Laki-laki yang selalu menolongku?

To be continued....

~●~●~

Hai hai readers, maaf ya telat sehari updatenya. Gila', beneran writers block lhoh aku. Huhu 😭 dan akhirnya punya mood buat nulis lagi.
Ntar kalo aku mood kayaknya langsung update aja deh, karena nunggu kamis juga kadang lama.

Jadi terima kasih buat yang udah nunggu.

Happy reading yak
Jangan lupa voment

#Author'Aiyy

BATAS CERITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang