Hilang dan Lupakan

19 6 0
                                    

Bangunan ini masih terasa sama seperti beberapa tahun lalu. Meski ada beberapa warna tembok usang yang mulai diganti cat. Atau pagar berkarat yang diganti dengan baru, beberapa saung juga ditambahkan di sudut-sudut, sura kecil masa itu, sekarang juga menjadi masjid besar. Rasanya bahagia melihat tempatku menimba ilmu selama 6tahun berkembang menjadi lebih baik.

"Wah.. sedang apa seorang konsultan terkenal berjalan-jalan di lingkup pondok kumuh seperti ini?" Sapa seorang penjaga ponpes. Tidak, bukan penjaga juga. Dia anak dari kyai kami, tapi dulu berpura-pura nyantri, belajar seperti yang lain.

"Hey!"

"Pft.. bwahahahaha... maaf maaf. Assalamualaikum. Lama tak bersua dek."

"Cih.. Waalaikumussalam, panggil nama aja lah bang, anakku dah 4 lhoh."

"Bwahahahaha.... tetap saja kau adek tingkatku."

Ia Masih seperti dulu yang rese, tapi tak pernah lupa merangkul saat bertemu kembali. Tuturnya juga sangat ramah meski dulu tengilnya minta ampun. Aku biasa memanggilnya Bang Sam. Perkenalan dulu sok enggress, ditanya nama bilang 'panggil aja Sam' heleh, bilang aja karena Samsudin itu kepanjangan kalau disebutin 😒 rasa kesal di masa lampau kembali mencuat saat bertemu dengan orang yang bahkan tak terlihat menua.

"Assalamualaikum cantik, umur berapa say... eh.." belum sempat melanjutkan menyapa basa-basi Emilie, malah mendapat respon mengejutkan. Putriku mundur beberapa langkah, memegang erat tanganku namun tanpa tatapan ketakutan atau cemas. Seperti hanya ingin melakukan defense.

"Wajahmu terlalu seram bang."
"Apaa? Wajah imut lucu menggemaskam begini lhoh."
"Bilang sekali lagi!!"
"Jijik."
"Lhah, situ yang ngomong situ yang jijik sendiri 😩"
"Yaudah sih. Langsung apa, ngapain?"
"Basa basi donk sebentar, nggak asik kalau langsung to the point kan."
"...."
"Bang"
"...."
Mata bang Sam menatap lurus ke arah Emilie tanpa menggubris apapun yang didengar. Kurasakan tangan Emilie mengerat, dan matanya melihat ke beberapa sudut meski masih tanpa ekspresi apapun. Pantas saja Bang Sam bisa langsung notice.

Plak..

Nafas Emilie memburu, sesaat setelah ia menampik kasar tangan Bang Sam yang hendak mengelus kepalanya. Matanya membulat, tangannya berkeringat dingin, kakinya gemetar.

"Cantik, paman ini manusia lhoh. Jadi jangan takut yaa. Di sini, nggak bakal ada yang jahat. Okay." Kuakui, masalah menenangkan orang adalah keahlian Bang Sam, sedari dulu saat menjadi kakak tingkatku pun nafasnya saja sudah bisa jadi obat penenang bagi santri lain. Seperti punya keistimewaan tersendiri. Dan sekarang Emilie yang tadinya melakukan defense pun melonggar hanya karena kata-kata sederhana itu.

"Ma..maaf" meski sangat lirih tapi kami mendengar permintaan maaf tulus dari bocah ini.

"Nggak. Paman nggak mau maafin. Sakit hati lhoh." Nah, mulai rese nya. Memanfaatkan kepolosan putriku.

"Emilie benar-benar minta maaf. Tapi kalau nggak mau maafin, bukan urusan Emilie. Itu hak paman."

Twitch.

Sepertinya perkataan Emilie cukup memberikan critical hit yang dalam dan tepat sasaran. Dia belum mengenal saja, seberapa dewasanya putri 6 tahunku. 😎

"Masak gitu sih. Nggak mau baikan nih?" Masih saja sok-sokan merayu dengan wajah diimut imutkan. Ah, toyor kepala santri senior dosa nggak sih?

"Baikan? Memang kita musuhan."
Pfffttt. Sangat susah menahan tawa jika begini terus.

"Hih. Hmm... Kamu suka burung? Burung dara atau merpati."
"Di makan?"
"Enggaaaaakkk.. ya burung hidup."
"Oh, nggak tahu. Nggak pernah pelihara."
"Heee.. di sini banyak lhoh. Ada warna putih, abu, dara kipas."
"Emang iya? Dijual?"
"Astaga bukan. La Illaha Illallah. Dipelihara. Mau lihat?"
"Di kandang?"
"Mau lihat nggak? Nanti kasih makan langsung. Nggak perlu di kandang."
"Boleh?"
"Aku yang ajak! Jadi ayo."
"Umm"

BATAS CERITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang