ִֶָ 𓂃˖˳·˖ ִֶָ ⋆★⋆ ִֶָ˖·˳˖𓂃 ִֶָ
Transmigrasi, memiliki konsep di mana jiwa seseorang berpindah ke raga yang berbeda. Rayanza Bagaskara, merupakan salah seorang pemuda yang tidak sengaja mengalami nasib di lu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Flashback: Bagas POV
Aku memasuki jeriju besi itu, melihat Rayanza tengah terbaring lemas dilantai, aku menghampirinya dan menjambak rambutnya, namun tak mendapat respon. Aku menggenggam dagu Rayanza dan menatap wajahnya, wajah penuh lebam dan juga luka. Wajah yang dulunya mulus dan bersih itu, kini sudah terhiasi oleh karyaku, sungguh sebuah masterpiece.
"Bangun!" Aku menggenggam dagunya keras, namun tetap mendapatkan respon.
Aku melepaskan dagunya, lalu meletakkan jempolku di urat nadi di tangannya untuk mengecek apakah ia masih hidup. Kurasakan ada denyut nadi namun sangat lemah, apakah dia sekarat? "Ck, lemah. Ini baru setengah dari karyaku dan kau sudah sekarat? Memang tidak bisa diandalkan." Aku berdecih pelan dan berdiri.
Aku keluar dari ruang bawah tanah dan menyuruh salah satu bawahanku untuk membawanya ke rumah sakit, tak mungkin aku membiarkan kanvas karyaku rusak begitu saja, 'kan? Aku berjalan menuju ruang kerjaku dan duduk di kursi kebangganku, menatap foto mendiang istriku yang terpajang dengan indah di hadapanku, aku tersenyum tipis.
"Alea Yumma," gumamku pelan. Alea Yumma adalah nama dari wanita yang berhasil melembutkan hatiku yang sekeras batu ini.
Di foto itu, terdapat sebuah anak balita berjenis kelamin laki-laki yang sedang digendong oleh Alea, anak laki-laki itu adalah pria yang saat ini telah menjadi masterpieceku. Aku menggertakkan gigiku pelan, tanganku terkepal hingga urat-uratku menonjol. Aku bahkan rasanya tak sudi untuk mengakui pria itu sebagai anakku, title 'anak' rasanya tak cocok dengannya.
"Rayanza Bagaskara ..." Ah, aku jadi menyesal karena meletakkan namaku yang indah itu untuk bedebah sepertinya.
Aku menghela nafas lelah dan memijit pelan pelipisku, mencoba untuk menenangkan diri dari emosi yang membara di dalam diriku, "Alea, mengapa kau lebih memilih menyelamatkan bedebah sepertinya daripada menyelamatkan dirimu sendiri?" gumamku.
"Kau sungguh bodoh, Alea. Seharusnya ia kau biarkan saja mati saat kejadian itu. Dia hanya 'lah anak tak tahu diri dan selalu menyusahkanku. Aku merasa jijik pada diriku sendiri karena DNA-ku harus mengalir di dalam tubuh sialan itu."
Aku menggeram rendah. Seandainya wanita yang berstatus sebagai istriku itu tak bertindak gegabah, mungkin sekarang aku takkan mendapat julukan dutadana—duda tajir idaman wanita—dari ibu-ibu komplek. Aku menatap langit-langit ruang kerjaku, perlahan-lahan rasa kantuk mulai menerpa diriku, aku menutup mataku dan mulai menjelajahi alam bawah sadarku.