Satu

9.1K 347 6
                                    

Entah sudah berapa kali Rania menghela napas. Hari sudah pukul empat sore namun Jakarta masih saja terasa terik. Matanya tak henti memperhatikan lalu lalang kendaraan yang lewat di depannya. Takut-takut yang menjemputnya nanti akan terlewat begitu saja di depannya.

Suara klakson mobil yang sudah dihafal pendengarannya berbunyi dari arah seberang tempatnya berdiri. Ia berlari kecil, menghampiri mobil. Pintu mobil masih terkunci, diketuknya jendela mobil itu cukup keras.

"Jangan dulu masuk! Tolong belikan aku es kelapa dulu di depan." Empunya mobil menitahnya dari balik kemudi.

Dengan bersungut-sungut ia menadahkan tangan, menyuruhnya membeli itu berarti harus memberinya uang juga.

"Pake uangmu dulu, ntar aku ganti di rumah."

Sudahlah telat menjemputnya, sekarang seenaknya menyuruhnya. Tapi ia juga tidak berani mengatakan tidak. Sudahlah, memang ia memiliki bakat mudah untuk disuruh-suruh.

Dibelinya dua es kelapa, satu untuk dirinya sendiri. Dari luar ia mengkode untuk dibukakan pintu karena tangannya penuh dengan jinjingan, ia juga sempat membeli jajanan untuk dirinya sendiri. Pintu dibuka dari dalam, dengan kaki laki-laki itu yang mendorong pintu mobil agar terbuka.

Dasar suami tidak sopan!

"Aku nggak mau masuk!" Ia berseru dari luar.

"Nggak usah lebay, deh, yang penting aku bantu buka pintunya, cepat masuk! Atau aku tinggal, nih?!"

Membuang wajahnya sebentar, ia masuk dan langsung memberikan bungkus es kelapa pada laki-laki tidak sopan itu.

Sepuluh menit mobil membelah jalan, ia mencoba bersuara, "Besok-besok kamu jangan telat dong, jemputnya. Aku capek nunggunya tahu, panas lagi."

"Ya, semoga aku nggak kesasar lagi kayak tadi."

"Lho, kamu kesasar?"

Alfi berdehem. Masih kesal karena ia berputar-putar di jalanan hampir setengah jam tadi. "Lagian buka toko bunga di jalanan yang nggak terkenal."

"Tempat kosong yang enak dan murah untuk disewa ya, adanya cuma itu."

"Memangnya kamu nggak sepenuhnya untuk percaya pegawaimu aja untuk urus toko bungamu? Nggak capek apa setiap hari harus datang ke toko?"

Sebetulnya Alfi bicara itu untuk memberikan pertimbangan agar istrinya tidak sepenuhnya berusaha mencari pundi-pundi uang. Terlebih, ia yang notabenenya juga merangkap sebagai supir pribadi perempuan itu, agaknya lumayan lelah mengantar jemput sang istri setiap hari, dengan jarak yang lumayan jauh dari rumah dan outletnya.

"Kenapa, sih? Kalau kamu capek antar jemput aku ya udah, aku bisa pulang naik taksi atau angkutan umum."

"Nggak kenapa-kenapa, sih. Cuma tanya aja. Mana tahu kamu capek dan berubah pikiran untuk jadi istri yang ongkang-ongkang kaki di rumah."

"No. Aku ini wonder woman asal kamu tahu."

Alfi membuang napasnya kasar.

*___*

"Rania! Jorok banget, sih? Ini bra kamu nggak masuk ke dalam keranjang cucian, tahu! Kamu taruhnya gimana, sih!" Decakan Alfi terdengar ke seisi rumah.

"Ih, aku buru-buru Alfi! Kebelet soalnya. Kamu tinggal masukin yang benar aja ribet banget sih, pakai ngomel-ngomel segala?!"

Alfi yang bertugas mencuci baju sore ini menghela napas berkali-kali. Pasalnya bukan hanya bra perempuan itu yang tidak masuk ke dalam keranjang cucian, namun baju dan celana dalam juga hanya tersangkut di pinggir keranjang, tidak masuk kedalamnya.

Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang