Dua Puluh Enam

2.2K 137 5
                                    

"Bagaimana?"

Laki-laki di hadapan Hadi menggelengkan kepala. Sorot matanya menyiratkan kekecewaan. "Aku nggak mau bantu. Aku nggak mau jadi pengacau. Anakku bisa memilih jalan hidupnya sendiri. Aku nggak mau mengahancurkan sesuatu yang sudah menjadi harapan dia."

"Lebay! Tahu apa kamu soal harapan, Rasyid? Sedang sisa hidup kamu saja terkungkung dalam sel begini." Tawa keras menguar di ruang pertemuan yang sempit ini.

Tangan Hadi terulur mengajak pada sebuah persetujuan. "Aku bantu kamu bebas dari sini, asal kamu setuju untuk bantu pisahkan pernikahan mereka."

Rasyid masih enggan membuka tangannya untuk menerima uluran tangan itu. Hadi baik hati, namun bukan berarti ia mau melakukan hal-hal yang diluar nalar seperti itu. Ia pernah bekerja pada Hadi, dulu sekali. Menjadi orang yang kerap kali disuruh-suruh tanpa tahu waktu. Bayarannya fantastis, makanya ia tak peduli meski pekerjaan suruhan itu menyita waktunya.

Putranya pun dimasukkan ke sekolah yang sama dengan rekomendasi sekolah dari Hadi yang telah mendaftarkan putri bungsunya di sana. Hubungannya dengan Hadi kian erat tatkala laki-laki itu sering mengajaknya berbincang dan berdiskusi di waktu-waktu senggang.

Baginya, Hadi adalah sosok kakak atau sahabat yang dapat membimbingnya kala ia sedang dalam kondisi susah. Hingga dimana ia memutuskan untuk berhenti bekerja pada Hadi, karena ingin mencoba mencari pekerjaan yang lebih dari apa yang ia kerjakan saat itu. Semua karena putranya, yang mana ia harus menguras tenaga lebih banyak lagi untuk menjadikan masa depan putranya cemerlang.

Ternyata tuhan masih berkenan mempertemukan dirinya dengan Hadi hingga laki-laki itu memutuskan untuk melakukan perjodohan antar putra-putri keduanya.

*_____*

Ia sudah bersama putranya di sebuah hotel dari setengah jam yang lalu. Atasannya memberikannya pekerjaan untuk menerima tamu yang menjadi kliennya.

"Itu... kayak Rania." Putra disebelahnya bergumam.

"Siapa, Nak?"

"Enggak, Yah. Al, kayaknya salah lihat."

Riuh suara sambutan terdengar. Beberapa kawan pegawainya sibuk berdiri dari tempat duduknya. Menyambut beberapa tamu yang hadir di acara ini. Tatapannya tertuju pada seorang laki-laki yang tengah menggandeng perempuan. Keduanya bersitatap. Saling melempar senyum.

"Rasyid?" Sapaan hangat keluar seolah membenarkan praduganya.

Rentangan tangan ia buka lebar-lebar untuk mendekap sosok yang sudah lama tidak ia jumpai. Kemudian bersalaman pada perempuan yang berdiri di sebelahnya.

"Alfi sehat, Pak?" Tanya perempuan itu padanya. Istri dari kawannya itu memang cukup dekat dengan putranya.

Ia menengokkan kepalanya, ingin memberitahu bahwa ada tamu perusahaan yang dikenal. Namun Alfiansyah Zahab hilang begitu saja.

Aih! Kemana pula anak itu pergi?

Ia memutuskan untuk menerima tawaran bincang-bincang dengan kedua orang tersebut.

"Gimana? Alfi sudah menikah?"

"Belum, Di. Kerjaannya masih main-main dia."

"Putriku juga belum menikah. Sehari-harinya sok-sokan sibuk kerja bukannya cari calon suami."

Ia tertawa. "Baguslah, Di. Nanti juga ada saatnya dia mulai kepikiran buat cari calon."

"Nggak perlu nyari-nyari lah, sama anakmu aja gimana?

Diluar dugaannya perkataan Hadi barusan. "Anakku masih begitu-begitu aja, Di. Kayak masih belum mau ke jenjang-jenjang yang serius begitu."

"Dicoba dulu aja. Anakku makin gede makin cantik, kok. Ya kali, dia sekali lihat nggak naksir."

Tanpa keduanya tahu, bahwa orang-orang yang tengah mereka perbincangkan juga saling berbincang soal pernikahan.

*_____*

Alfi sudah menunggu kedatangan Hadi yang mengatakan akan datang saat jam makan siang. Sedikit pesan ia sampaikan pada pegawainya untuk menyiapkan menu hidangan yang agak banyak takut-takut jika Hadi datang tidak sendirian.

Ia sudah lama tidak berkomunikasi dengan laki-laki tua itu. Hadi seolah menutup akses komunikasinya semenjak ayah dinyatakan sebagai koruptor. Terakhir, ia berkirim pesan pada laki-laki itu saat ia berencana membangun outlet ke-duanya dengan isi pesan yang berisi permintaan doa dan restu agar dilancarkan. Tapi, laki-laki itu sepertinya memblokir nomor teleponnya.

Ia tidak masalah, jika dirinya tidak diberi akses berkomunikasi. Orangtua mana yang tidak kecewa jika menantunya sendiri ternyata merupakan anak koruptor. Sangat diwajarkan baginya jika Hadi ikut membencinya sebagaimana laki-laki tua itu membenci ayahnya.

Tapi, Hadi juga melakukan hal yang sama pada Rania. Padahal Rania anak perempuan satu-satunya dan bungsu pula. Bagaimana bisa Hadi tega melakukan itu pada anak perempuannya? Ia tidak sampai hati berpikir jauh bahwa mungkin ada sesuatu yang salah antar bapak dan putrinya tersebut. Namun ia selalu mengenyahkan pikiran-pikiran negatif yang berdatangan jika menyangkut soal Hadi dan Rania.

Omong-omong tentang Rania, perempuan itu tumben sekali tidak mengangkat telepon darinya. Balasan pesan yang ia kirim juga belum dibacanya sama sekali. Padahal, ia berniat ingin membuka paket yang perempuan itu kirimkan kemarin secara bersama di panggilan video.

"Mau dibuatin kopi dulu nggak, Bang?" Tanya Rafi begitu ia masuk ke ruang dapur untuk sekedar memeriksa.

"Boleh."

Ia kembali keluar ketika sudah memastikan bahwa di dapur tidak ada masalah dan kendala. Seketika sosok yang tengah dinantikannya sudah duduk di tempat yang ia sediakan.

Laki-laki tua itu tersenyum padanya. Ia menyalami tangannya. Bersapa, saling menanyakan kabar.

"Bagaimana dengan Rania?" Tanya Hadi padanya.

Belum sempat ia menjawab, laki-laki itu bicara kembali. "Dia menyusahkan, ya?"

Menyusahkan?

Sejauh ini tidak. Meski ia sering mendumel karena kelakuan Rania yang membuat kepalanya bertanduk. Namun, tetap kesusahan yang dialaminya masih bisa teratasi.

Ia menggeleng. "Rania nggak menyusahkan, Yah. Sejauh ini dia berperilaku baik-baik aja."

"Begitu, ya?"

Hadi membuka jas yang dipakainya. Melampirkannya pada lengan sofa.

"Tapi, ternyata kamu ya, yang menyusahkan dia?" Hadi berbicara seperti sedang mengintimidasinya.

"Hah?"

Oh, ia bahkan tidak menyangka jika pertanyaan atau pernyataan itu akan terucap oleh Hadi. Itu berarti dimata Hadi ia sudah sangat buruk untuk bersama Rania.

"Mohon maaf, Yah. Alfi nggak bermaksud begini."

"Nggak bermaksud apa? Nggak bermaksud menjadi miskin dan menyengsarakan putri saya?"

Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Seraya menggapai tangan tua itu untuk ia genggam. Tatapan kecewa dapat dilihatnya dari sorot mata seorang ayah untuk seorang putrinya.

"Tahu begini, saya nggak akan menikahkan kamu dengan putri saya."

Jantungnya seolah lemas berdetak.

"Bercerai sajalah kalian. Agar saya bisa kembali membahagiakan Rania. Saya sudah ingin muntah melihat pernikahan kalian yang seperti tidak ada bahagia-bahagianya. Nggak perlu tanya pendapat Rania. Dia tentu ingin bercerai juga dengan kamu. Asal kamu tahu, perginya Rania ke Malang karena sudah nggak tahan tinggal dengan laki-laki miskin seperti kamu."

Ini lebih dari masalah yang kemarin datang. Tumpukan hutang yang memberatkan kepalanya nyatanya bisa dikalahkan dengan keputusan Hadi yang baru saja diucapkan.

Pikirannya seolah terhenti seperkian detik, mencerna kembali kata demi kata yang Hadi ucapkan padanya.

Ya Tuhan! Bukan seperti ini ujung pernikahan yang inginkan.

Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang