Dua Puluh Lima

2.2K 132 9
                                    

"Antar aku ke toko dulu, ya!" Rania berucap sekeluarnya dari kantor Carlo Group.

"Kenapa nggak langsung pulang? Udah hampir malam, Ran."

"Ada yang mau kuambil di toko."

Ikhsan menuruti perkataan Rania. Seharusnya, laki-laki itu cukup mengantarkan saja, tanpa perlu menunggu Rania yang masuk ke dalam toko.

Cukup lama Ikhsan menunggu, laki-laki itu keluar dari mobil. Mencari penjual makanan yang bisa ia jadikan makan malam sepulangnya dari sini.

Pecel ayam menjadi pilihannya. Dibelinya dua bungkus untuk dirinya sendiri dan perempuan yang di dalam toko.

Begitu selesai membeli makanan, ia kembali ke toko menunggu Rania keluar dari dalam. Tidak lama menunggu seperti tadi, Rania tampak keluar dengan penampilan yang berbeda. Ia mengernyit keheranan. Sebuah celana bewarna putih melapisi kaki jenjangnya.

"Loh? Kok, kamu masih di sini San?" Tanya Rania begitu melihat Ikhsan.

"Iya, aku mau beli makan. Sekalian aja kita pulang bareng ke apartemen." Jawab Ikhsan seraya menunjukkan bungkusan makanan yang dibelinya.

Rania tersenyum, kemudian berjalan mendahului Ikhsan menuju mobilnya yang berada di parkiran.

Sesampainya di apartemen, Ikhsan menghentikannya seolah mengajaknya bicara. "Ran? Sebagai ucapan terima kasih tadi, kamu mau nggak makan malam bareng aku di dalam?" Ikhsan menunjuk pintu kamarnya.

Melihat Rania yang tidak menampilkan ekspresi apapun, Ikhsan berkata lain "Atau, aku boleh makan di apartemenmu? Ini! Kita makan ini bareng-bareng." Ikhsan kembali menyodorkan bungkusan makanan di tangannya.

"Oh, boleh. Mau makan sekarang?"

Ikhsan mengangguk, kemudian membuntuti Rania untuk masuk ke kamar perempuan itu.

"San? Kita makan di ruang tamu aja, ya!" Ucap Rania begitu melihat keadaan ruang makan yang sedikit kurang rapi.

"Iya, Ran. Seenaknya kamu aja dimana."

Rania mengambil piring serta peralatan makan lainnya. Kemudian mempersilakan pada Ikhsan untuk mencuci tangan di belakang.

"Aku beneran terima kasih banget lho, Ran. Kemeja yang aku mau banget akhirnya bisa aku dapat."

"Hm. Lain kali coba sih, jangan mau sama barang-barang yang sekiranya udah nggak ada dan nggak diproduksi lagi, San." Rania menjawab dengan nada sedikit keki.

"Sorry, soalnya the shirt has a lot of memories.

Rania mencebikkan bibirnya. "Tapi nyusahin orang. Udahlah, ayo makan!"

Rania sudah siap untuk menyuapkan hidangan yang sudah disiapkan. Satu suap sudah termakan olehnya. Tampak tidak memperhatikan bagaimana Ikhsan yang tengah melihatinya makan.

"Ini pecel ayam yang di sebelah toko itu bukan, sih?" Tanya Rania.

"Iya."

"Yang dulu kiosnya itu tempat jual mie ayam, kan?"

"Kayaknya iya, deh."

"Enak juga masakannya."

Ikhsan sependapat juga. "Harganya lumayan tapi. Setengah kali lipat dari harga umum pecel ayam yang biasa aku beli."

"Jualan disitu emang bingungin banget tentuin harga dari dulu. Soalnya harga sewa kiosnya setahuku mahal, udah sering banget penjual makanan gonta ganti karena mungkin sulit dapat pelanggan. Tapi, kalau makanannya enak kayak gini, beberapa orang juga nggak begitu peduli mikir harga buat beli, sih."

Ikhsan sependapat lagi. "Akan lebih baik lagi kalau menu makanannya ditambah. Soalnya tadi aku cuma lihat menu jualannya itu ya, pecel ayam doang."

Mengigit timunnya, Rania seksama mendengar Ikhsan.

"Besok berangkat ke toko jam berapa?" Ikhsan mengganti topik.

"Seperti biasa."

"Mau bareng?"

Rania menggeleng. "Aku nggak langsung ke toko, mau mampir-mampir dulu, San."

"Oh, oke. Lain waktu kalau mau bareng boleh kok, Ran."

Rania tidak membalas. Memilih untuk menandaskan makanannya yang tinggal setengah porsi. Ikhsan sendiri tinggal menghabiskan lalapan yang tersisa dengan fokus pandangan yang berbeda dari sebelumnya pada Rania.

"Nggak apa-apa San, kalau mau cuci tangan duluan." Rania mengizinkannya Ikhsan kembali untuk pergi ke belakang.

Begitu Ikhsan menghilang, Rania segera memberesi bekas makan keduanya. Membuang sampah dan menyediakan hidangan penutup yang tersedia di lemari pendinginnya.

"Ini San, aku cuma ada buah pir. Buat hilangin bau sambal." Rania menyodorkan potongan pir pada Ikhsan yang sudah duduk kembali di ruang tamu.

"Sebentar Ran." Ikhsan tampak membersihkan mulutnya dengan tisu yang tersedia di meja.

Rania sendiri sibuk mengunyah potongan pir sembari menyalakan ponselnya. Melihat room pesannya dengan Alfi, yang mana laki-laki itu belum membalas pertanyaannya terkait reaksi video yang ia berikan sebelum keluar dari toko tadi.

Terlalu fokus membaca pesan-pesan sebelumnya, ia sampai tidak sadar bahwa sosok Ikhsan di hadapannya sudah tidak ada. Seketika ponsel yang dipegangnya terlempar begitu saja seolah ada sesuatu yang menggerakkan tangannya.

Ikatan rambutnya terlepas berikut dengan tarikan keras yang membuat kepalanya hampir terhempas ke belakang jika ia tidak menahan kuat-kuat tubuhnya agar tetap terduduk tegak.

"San...?"

Kejadian apa yang sedang dialaminya kini?

Tidak berhenti disitu, kedua tangannya ditarik kebelakang dan digenggam erat dengan tubuhnya yang didorong meja, wajahnya nyaris bertabrakan dengan kaca tebal yang melapisi meja, oh, ternyata ini bukan nyaris. Tetes darah sudah mengalir mengotori meja.

"Ikhsan...?"

Kemeja yang seharian ini melekat di tubuhnya dirobek dalam sekali sentuhan.

"Lakukan apa yang aku katakan, Rania!"

Berontak dirinya dari sosok yang ia kagumi karena kebaikannya yang luar biasa semakin kuat. Bahkan kini, tubuh yang tinggal berlapis bra diseret menuju bar stool dengan laki-laki itu yang sudah mendudukkan dirinya di salah satu kursi.

Tangannya terlepas, ia langsung melarikan diri. Naas, bajingan itu berhasil menggenggam rambutnya untuk ditarik.

"Duduk!"

Ia masih mencoba melarikan diri. Percobaannya itu berujung malapetaka yang lebih hebat. Tubuhnya dijatuhkan begitu saja secara terlentang dengan Ikhsan yang sudah menguasai bibirnya.

Tangan itu tidak hanya melukai rambut dan wajahnya. Namun, kini tengah menorehkan luka lagi pada bagian tubuhnya yang lain. Satu remasan dirasakannya pada tubuh bagian atas. Ciuman itu masih berjalan meski sudah tercampur hambar air mata yang mengalir ke dalam mulutnya.

"Thanks, Rania."

Ia tidak berhenti memukuli semua yang bisa dipukul pada laki-laki itu untuk enyah dari atas tubuhnya. Bayangan bagaimana Alfi yang menampilkan ekspresi mendamba pada tubuhnya membuatnya menyesal. Harusnya ia melakukan lebih dulu dengan Alfi, suaminya.

"Do you like it, Rania?"

Tangan bajingan itu mengusap wajahnya. Memainkan bibirnya, berkali-kali ia mencoba menggigitnya namun laki-laki itu justru menjadikannya bak sebuah mainan.

"Air mata ini ternyata jawabannya."

Suara robekan terdengar lagi. Celana bahan yang dipakainya dilempar begitu saja.

"What a sweety lips!" Lagi, bibirnya disentuh oleh bibir yang beberapa menit lalu mengajaknya pergi ke toko bersama.

Dering ponselnya terdengar, itu pasti Alfinya yang menelepon.

Ya, Tuhan! Ia telah mengkhianati Alfi.



Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang