Tiga Puluh Tujuh

2.1K 178 14
                                    

"Ayahmu tadi telepon aku, nanyain kabar kamu gimana, beliau lagi sama bunda di apartemenmu. Mas Faris dan Ikhsan udah diserahkan ke pihak yang berwenang untuk segera ditindak lanjut. Yang aku tangkap, Ayahmu nggak melakukan pembelaan apapun untuk membantu kedua orang tersebut. Aku nggak izinin Ayah yang nyamperin kita ke sini, biar kita aja yang ke sana, ya?"

"Iya, berarti Ayah udah benar-benar lepas tangan untuk Mas Faris? Nanti bisnisnya Ayah, gimana? Setahu aku Ayah akan lakuin cara apapun supaya reputasinya tetap baik."

"Aku kurang mengerti soal itu, nanti saat ketemu bisa kamu tanyakan langsung, oke?"

Rania melanjutkan kegiatannya mengancingkan dress lengan pendeknya. Kemudian membenahi tampilan rambutnya.

"Ran? Kalau udah selesai dandannya, makan ya? Aku udah makan duluan waktu kamu mandi tadi. Ini ya, Ran?" Alfi menunjuk meja di sisi jendela yang terhidang makanan lezat.

"Iya Al, nanti aku makan."

Niat hati ingin pergi ke kamar mandi, namun langkah Alfi seketika tertuju pada Rania yang membenahi tampilannya di depan kaca rias. "Coba aku cium dulu orang cantik ini."

"Ih Alfi! Aku nggak mau dicium sama orang yang belum mandi."

Berlagak tidak mendengar, Alfi tetap memajukan tubuhnya agar menempel pada tubuh Rania. Bibirnya dimajukan untuk mencium bibir manis yang terlihat segar. Kedua tangan Alfi sudah erat memeluk pinggang sang istri.

"Alfi! Ih, kamu bau!"

Tawa renyah keluar dari mulut Alfi, rasanya ia senang sekali Ranianya bisa kembali membalas candaan dan keisengannya.

*_____*

Marni yang sedang membereskan isi apartemen sang putri, dikejutkan dengan kedatangan Hadi yang menunjukkan tangan memarnya. Terdapat darah-darah yang mengering di sekitar sela-sela jarinya.

Tanpa diminta untuk menjelaskan, Hadi lebih dulu memaparkan panjang lebar soal kejadian yang baru saja dilaluinya. Informasi terbaru juga baru saja didapat usai mendengar penjelasan dari Hadi.

"Aku udah muak sama anak itu, Marni! Sebagai orang tua, biaya paling besar aku keluarkan untuk anak itu, aku sekolahkan sampai pendidikan pascasarjana supaya bisa meneruskan bisnisku, aku tahu dia yang paling kompeten soal proyek properti dan manajemen bisnis. Dia nggak ada keinginan menikah pun, aku nggak pernah paksa untuk cepat-cepat menikah. Ternyata harapanku cuma sebatas harapan, nggak bisa jadi kenyataan."

Ia enggan memberi komentar apapun. Hingga suara lirih tangis terdengar di telinganya. Ia sedang mengobati luka-luka di tangan Hadi, pikirnya lirih tangisan itu karena ia terlalu kasar dalam mengobati. Ternyata...

"Aku menyesal Marni, pernah menghamili perempuan di luar pernikahan. Rania begini apa karena karma perbuatanku dulu? Harusnya aku yang tanggung semua perlakuan-perlakuan buruk itu."

Ia sudah tahu, soal Hadi yang menghamili mendiang Ibunda Faris di luar pernikahan. Tidak heran juga sebenarnya, mengapa Faris saat ini benar-benar berkelakuan bak kaum jahanam.

"Terlambat, Di. Harusnya kita sebagai orangtua tetap jaga Rania meski dia sudah bersuami. Menjaga yang dimaksud itu nggak harus terus ada dalam jangkauannya. Kita bisa berikan akses rumah yang lebih aman, pekerjaan yang lebih mumpuni untuk mereka berdua, kita bantu stabilkan ekonomi mereka. Kalau kita siapkan itu dari awal, mereka berdua pastinya nggak akan berhubungan jarak jauh. Salahku juga sebenarnya yang sempat memaksa Nia untuk kerja di toko lagi. Selain aku nggak mau toko gulung tikar, aku betulan nggak tega lihat anak sendiri hidupnya jadi susah. Makanya aku kasih uang yang banyak supaya bisa mereka gunakan dengan baik."

Beda dengan dirinya yang sudah bertangis-tangis ria sebelum Hadi datang, suaminya itu baru saja memulai sesi berlinang air mata. Menangisi penyesalan atas tragedi yang menimpa putri bungsunya.

Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang