Tiga Puluh Empat

1.9K 168 9
                                    

Bermodal aplikasi penunjuk arah di ponselnya ia berkendara dengan kencang. Mengerahkan kemampuan menyetirnya demi bisa cepat datang di kantor perusahaan taksi tersebut. Sebelum berangkat tadi, ia bertanya pada satpam terlebih dulu, soal taksi apa yang membawa Rania pergi dari apartemen.

"Bagaimana, Pak?" Tanyanya setelah menjelaskan panjang lebar pada seorang tua yang menerima kedatangannya dengan senang hati.

"Saya harus tanyakan satu per satu kalau begini, nanti saya coba tanyakan di grup pesan kami dulu, ya. Menunggu sebentar nggak apa-apa, kan?"

"Iya, Pak. Nggak apa-apa, mohon maaf sudah merepotkan."

Ia menghela napas sembari mendudukkan diri di kursi tunggu. Padahal sudah satu kota dengan Rania, tapi ia masih harus berusaha untuk bertemu dengan perempuan itu.

*____*

Faris tidak suka kehidupan setelah sang ibu tiada. Kebenciannya pada kehidupan yang dijalani pada masa sang ayah yang menikah lagi, sudah tidak bisa dipendamnya lagi.

Ayahnya yang lebih menyayangi istri mudanya.

Ayahnya yang lebih memperhatikan putri bungsunya.

Ayahnya yang merelakan apapun untuk kedua orang tersebut.

Sudah banyak cara untuk ia mengakhiri hidup, namun Raka selaku adik kandungnya selalu menolongnya. Nyaris tiga puluh enam tahun hidupnya, ia hanya mendapatkan satu kesimpulan dari kehidupan yang dijalaninya.

Pernikahan nyatanya adalah luka.

Mendiang sang ibu terluka karena pernikahan. Hingga ajal menjemputnya bahkan pernikahan tidak pernah memberinya kebahagiaan. Lalu, ia dan Raka terluka dengan perlakuan sang ayah yang semena-mena dan tidak adil karena keluarga barunya.

Jadi, kesimpulan hidup yang ia dapatkan itu menjadi alasan mengapa ia harus melakukan ini semua.

Pernikahan nyatanya adalah luka. Maka ia menjauhi segala bentuk pernikahan. Pun, ajakan menikah dari perempuan-perempuan yang ayahnya jodohkan.

Ibu dan adik tirinya, juga harus turut serta mencicipi kesimpulan hidup tersebut. Setidaknya, untuk memberikan rasa lega bahwa memang kesimpulan yang ia pegang teguh tersebut merupakan sebuah fakta yang benar nyata adanya.

Andai ia dan Rania bukan saudara satu darah, mungkin ia akan menjadikan perempuan itu sebagai alat pemberi kesenangannya. Ia bahkan sudah seringkali melihat bagaimana Rania yang memukau dengan tubuh indahnya. Lagi-lagi, status mereka selalu menjadi halangannya untuk berbuat sesuatu yang menyenangkan dirinya. Dan, betapa beruntungnya laki-laki yang Rania pilih untuk menikahinya, karena demi apapun, menikahi seorang Rania tidak akan merasa rugi. Ini menurut pengamatannya.

Rania penurut.

Rania cantik dan lembut tutur katanya.

Rania mandiri.

Tentunya, Rania memukau dan menawan.

Satu orang sebelum Alfiansyah datang melamar, ada yang diam-diam ia lihat memperhatikan adiknya itu. Tetangga apartemen yang suka sekali tebar modus pada sang adik. Orang tersebutlah yang ia jadikan sebagai salah satu jalan untuk melancarkan aksinya. Sayang, kehancuran sang adik yang diinginkannya tidak berjalan sesuai misi.

Laki-laki yang menyukai sang adik tersebut, tidak sampai ke dalam tahap lebih jauh saat melakukan adegan intim. Lalu, selang berapa beberapa hari ketika ia dan Ikhsan mendatangi hotel karena kondisi apartemen yang semakin ramai. Justru pihak hotel menariknya ke sebuah ruangan untuk diwawancarai perihal hilangnya ponsel Rania.

Satu hal yang ia tangkap selepas melakukan aksi bejat ini adalah, Ikhsan yang dipercayanya adalah seorang yang dungu dan tolol. Tidakkah ia berpikir cara yang lebih smooth, hingga tidak ada yang tahu soal aksi ini setidaknya sampai beberapa bulan ke depan?

Ini belum satu minggu aksi bejatnya berlangsung namun keduanya sudah tertahan oleh beberapa petugas keamanan hotel yang mungkin saja akan membawa keduanya ke jalur hukum.

"Ngapain lo?" Tanyain pada Ikhsan yang menundukkan kepalanya dari tadi.

"Berdoa, Mas."

Ia tertawa kencang, membuat petugas yang ada di sekitarnya memandang sinis padanya. "San, San, orang bejat udah nggak pantes berdoa."

*_____*

Belum dapat ketenangan, Marni kembali dikejutkan oleh beberapa telepon yang mengabarkan bahwa putra sulungnya berada di tempat yang berwenang. Inginnya sih, ia mendatangi putranya tersebut karena rasa penasaran, namun ia tidak ingin meninggalkan apartemen Rania meski penghuninya tidak ada. Maka diteleponlah sang suami untuk mengurus anak kandungnya tersebut yang entah sedang tersandung kasus apa.

Mungkin saja kasus yang seperti biasanya. Bermain dengan perempuan, berkendara sambil mabuk, kasus-kasus yang seringkali Hadi tutupi demi reputasi keluarganya. Ah, ia sudah tidak aneh lagi dengan kelakuan Faris.

*____*

Akhirnya ia menghembuskan napas lega, karena supir taksi yang membawa Rania benar-benar membantunya mengantar hingga di depan hotel. Sedikit tip ia berikan meski awalnya supir tersebut menolaknya. Langkahnya terasa ringan, senyumnya sedikit mengembang setelah beberapa jam ini wajahnya terasa keras karena dilanda panik.

"Bapaknya benar suami dari Bu Rania?"

"Untuk keamanan pengunjung saya minta tanda pengenal status pernikahan anda dan istri ya, Pak."

Alfi menegang di tempat, ia sama sekali tidak membawa dokumen yang bisa dipercaya atas status pernikahannya. Ayahnya menjadi ide untuk membantunya mengirim foto surat pernikahan yang ada di rumah. Ia juga menunjukkan pada petugas tersebut, sebuah foto pernikahannya dengan Rania untuk semakin meyakinkan bahwa ia suami dari Rania.

"Tunggu sebentar ya, Pak. Nanti ada petugas yang mengantar Bapak ke kamar Bu Rania."

Lagi, ia harus menunggu.

*____*

Setelah perjalanan panjang yang dilaluinya, kini ia sudah berada di depan pintu kamar perempuan tersebut. Petugas hotel membantunya menekan bel.

Tidak butuh waktu lama untuk pintu dibuka. Wajah yang hampir satu bulan ini tidak dilihatnya memunculkan diri dari balik pintu.

"Dengan Ibu Rania? Ini ada Pak Alfi yang mengaku suami anda, jika benar saya bisa segera melanjutkan tugas kembali."

Rania tampak tidak menjawab. Hanya menganggukkan kepalanya pelan. Mempersilakan petugas tersebut meninggalkan mereka berdua yang masih berada di depan pintu.

"Ran?" Tangannya sedikit siap menyambut perempuan itu untuk dipeluknya, namun Rania memilih masuk ke dalam kamar mengabaikannya.

"Ran? Aku datang! Kamu kangen nggak sama aku?" Ia membuntuti perempuan tersebut yang mendudukkan diri di sofa.

Tidak ada balasan apapun dari perempuan itu.

"Kamu lagi liburan? Kok, aku nggak diajak sih?" Ia coba mendekati perempuan tersebut yang sedang merapikan pakaian.

Dirinya mencoba abai atas segala yang terjadi sebelum dirinya datang ke sini. Membuang jauh-jauh permasalahan, yang menjadikan perempuan itu melarikan diri ke tempat ini.

"Ran? Ini kamu pakai baju baru ya, cantik banget warnanya, bikin kamu kelihatan makin fresh, lho."

"Oh, ya! Baju baruku udah ada belum? Aku penasaran banget, Ran."

"Eh lupa, aku kantongin snack bar kesukaan kamu, nih. Aku bawa dari Jakarta, takutnya kamu nggak nemu snack ini di sini." Antusias ia mengeluarkan cemilan favorit Rania dari saku celananya.

Masih belum menyerah, ia memegang dagu perempuan tersebut, sedikit memaksanya untuk melihat padanya, "Ran? Coba lihat penampilanku, hari ini aku oke, nggak?"

Mengejutkan, mata yang tadi tidak bisa dilihatnya karena menunduk, ternyata sudah berlinang air mata. Segera ia menarik paksa tubuh tersebut ka dalam pelukannya meski Ranianya memberontak enggan dipeluk.

"Alfi...ak—aku..."

Beberapa patah kata yang terbata-bata itu ia abaikan, memilih untuk menenggelamkan wajah perempuan tersebut pada dadanya.

Aroma cherry blossom yang menyegarkan ini ia hidu dalam-dalam. Menumpahkan segala kerinduan beberapa minggu ini. Lembut helai-helai itu diusapnya guna menyalurkan ketenangan pada Rania yang semakin terisak kencang di pelukannya.

Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang