Dua

4K 255 5
                                    

Kapan sih perempuan yang menyandang sebagai istrinya itu tidak menyusahkannya. Ia hanya keluar untuk mengecek outlet rumah makan yang baru dibangunnya, tapi Rania memaksa ikut dan berakhir menyusahkannya.

"Alfi, tadi aku taruh sini. Terus aku tinggal foto-foto sebentar udah nggak ada." Suara perempuan tersebut sudah terdengar parau, agaknya dia akan menumpahkan tangisnya.

Pemasangan CCTV belum menyeluruh di tempat ini. Namanya juga baru dibangun, semua belum seratus persen selesai. Ada-ada saja kejadian malam ini.

"Coba kamu cari di sekitar pot-pot bunga itu."

Rania masih berusaha menemukan dompetnya. Sebetulnya ia sedikit takut melihat wajah Alfi yang sudah masam tak terkira. Lagipula, namanya musibah siapa yang tahu jika ia akan kehilangan dompetnya malam ini.

Keduanya tiba di outlet sekitar pukul setengah sembilan. Rania bersikukuh ingin ikut serta. Ia membawa dompet yang berisi satu kartu debit dan uang cash senilai dua juta yang Alfi berikan tadi sore. Dompet itu ia letakkan di dalam tas selempang mini yang ia taruh di sebuah meja depan outlet. Ia tinggal berfoto-foto di sekitar outlet, sekembalinya ke meja, dompet di dalam tasnya tidak ada.

"Nggak ada, Ran. Ada orang yang lewat kali, terus ambil dompetmu." Ucap Alfi.

Tangisnya sudah tidak bisa ditahan. Dimatanya, Alfi juga tidak ada usaha lebih keras untuk menemukan dompet itu. Ia merasa sedih sekali.

"Cuma uang yang aku kasih ke kamu tadi kan, di dalam dompet itu?" Tanya Alfi memastikan.

Rania mengangguk, "Sama satu kartu debit."

"Ya udahlah, kartu debit bisa diurus besok."

"Terus uang cashnya?" Rania sungguh menyayangkan uang itu.

"Nanti aku narik lagi di ATM."

Alfi berjalan menuju motornya, diikuti Rania yang masih sesenggukan menahan tangis. Laki-laki itu memberikan helm merah muda milik Rania. Tapi Rania masih belum menerima sodoran helm dihadapannya.

"Cepat pakai! Kita mau pulang." Alfi berdecak.

Rania masih melamun, sembari mengusap air mata yang berlinang.

"Rania cepat pakai helmnya!"

"Kamu mah, ih! Aku masih sedih gini diomel-omel terus!" Rania berjongkok, kakinya lumayan lemas karena rasa terkejut yang berlebih.

"Gimana nggak ngomel-ngomel, kamu dibilangin nggak pernah nurut. Aku bilang dari awal jangan ikut, aku cuma keluar sebentar, ngecek outlet. Tunggu aja aku di rumah. Malah kamu maksa ikut, jadinya gini kan?! Coba kalau kamu nurut sama aku dari awal, uangmu nggak akan hilang. Kamu sendiri yang bilang ke aku kalau cari uang itu susah. Pelajaran buat kamu, supaya lebih nurut sama aku dan lebih aware sama barang-barang berharga."

Menarik perempuan tersebut berdiri, lalu Alfi pakaikan helm merah muda yang sedari tadi dipegangnya.

"Ayo, naik!"

Begitu sudah menyamankan diri di atas motor, Rania langsung mendekap erat punggung Alfi, kembali menumpahkan tangisnya yang masih terasa sesak di dada. Dua jutanya lenyap dalam waktu yang sangat singkat. Ia tidak berani mengucap maaf pada Alfi karena telah menghilangkan hasil jerih payah laki-laki itu dalam sekejap mata.

*___*

"Cuci kaki dulu Rania! Jorok banget, sih!"

Rania yang ingin melangkahkan kaki ke kamar, langsung membelokkan tubuhnya menuju kamar mandi. Urung masuk ke kamar karena suara berisik sang suami.

Sesudahnya, ia membuka pintu kamar, tampak Alfi yang sedang membereskan ranjang miliknya.

"Ranjang aku sekalian, dong, Al."

Menengok sekilas, laki-laki itu melempar sapu lidi yang ia gunakan untuk membersihkan kasur pada Rania. "Bersihin sendirilah!"

Rania menerima sapu lidi itu dengan bersungut-sungut. Kemudian mengikuti Alfi membereskan ranjang miliknya.

Kamar ini terdapat dua ranjang atas persetujuan keduanya. Pernikahan keduanya tidak diawali dengan saling mencintai. Em, tidak tahu juga sih karena masing-masing dari keduanya tidak ada yang mengungkapkan rasa cinta satu sama lain. Tapi tidak tahu sekarang, apakah salah satu antara keduanya sudah ada yang cinta. Keduanya menikah atas perjodohan yang dilakukan oleh masing-masing ayah mereka.

Alfi dan Rania sudah berteman sejak kecil. Keduanya pernah berada dalam satu lingkup yang sama. Yaitu sama-sama bersekolah di taman kanak-kanak yang sama. Namun Alfi mengikuti sang ayah untuk berpindah-pindah tempat karena lokasi kerja sang ayah tidak menetap. Terakhir, keduanya bertemu di Paris saat perusahaan tempat ayahnya bekerja mengadakan makan siang bersama dengan kliennya, yang ternyata salah satu dari klien tersebut adalah ayah Rania.

Alfi baru saja diputusi oleh kekasihnya saat bertemu dengan Rania saat itu. Pun begitu dengan Rania, yang baru saja mengalami patah hati karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Akhirnya dengan tanpa ragu, Rania mau-mau saja menerima lamaran teman masa kecilnya itu.

Naas, satu bulan pernikahan mereka. Rasyid-ayah Alfi-tersandung kasus penggelapan dana perusahaan. Alfi yang notabenenya asisten pribadi sang ayah ikut diperiksa. Alfi selamat, namun Rasyid tidak.

Hadi-ayah Rania-sudah memberikan petuah pernikahan pada putri serta menantunya untuk menyudahi rumah tangga yang baru seumur biji jagung. Hadi tidak ingin menciptakan reputasi buruk pada keluarganya dengan memiliki menantu anak koruptor. Tapi keduanya bersikukuh mempertahankan pernikahan.

Alasannya, ada pada Alfi.

"Kamu percaya aku, kan, Ran?" Tanya Alfi serius.

Rania yang ditanya diam saja.

"Aku menikahi kamu bukan untuk main-main. Okelah, kalau kamu beranggapan aku tengil, playboy atau suka main. Tapi satu yang harus kamu tahu, Ran. Prinsipku, menikah hanya dilakukan satu kali. Kalau ayahmu suruh aku mundur menjabat sebagai suami kamu, aku nggak mau! Tapi kalau kamu disuruh mundur, dan kamu mau, silakan! Setelah itu, aku nggak akan mau menikah lagi."

Rania, baru kali ini menentang petuah sang ayah. Ia tidak lagi diberikan akses bak putri kesayangan seperti semula. Karena, memilih tetap bersama Alfi.

Soal ranjang yang berpisah, itu juga karena Alfi. Eh, karena Alfi atau dirinya, ya?

Jadi begini, Rania tidak ingin memiliki anak karena finansial mereka belum stabil. Rania hanya seorang pemilik toko bunga kecil yang jumlah customernya masih bisa terhitung tangan. Lalu, Alfi baru memulai usaha franchise di bidang food and resto. Outlet yang berdiri pun baru satu. Itu pun, keuntungan yang didapat masih tidak tetap. Untuk melakukan program KB pun Rania masih takut-takut dan ragu. Alhasil, Alfi mengalah untuk sepakat tidak melakukan hubungan intim.

Jadilah, Alfi memutuskan membeli satu ranjang lagi untuk dirinya. Laki-laki itu bilang, ia tidak akan bisa menahan diri jika mereka tidur dalam ranjang yang sama.

"Alfi?"

"Apa sih?"

"Aku pengen pipis, temenin yuk!"

"Ck! Tinggal keluar, terus jalan ke kamar mandi apa susahnya, sih! Sana cepat pipis, nanti kamu ngompol lagi, aku juga yang ribet?!"

"Temenin Alfi, aku takut."

Alfi bangkit dari tidurnya. Berjalan cepat keluar kamar dengan menghentakkan kakinya. Katakan padanya laki-laki mana yang tidak kesal jika menjadi suami Rania?

"Alfi, tungguin ya!" Teriak Rania dari dalam kamar mandi.

Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang