Sebelas

2.3K 209 1
                                    

Awan mendung di hari ini tidak hilang-hilang dari pagi. Rania sibuk memilah-milah jemuran yang sudah kering. Memisahkannya dengan yang masih basah. Ia pulang lebih awal dari biasanya. Stok bunga di tokonya sudah mulai berkurang. Semua pesanan pelanggannya sudah pegawainya kerjakan. Ia sudah tidak berniat memesan bunga lagi untuk stok di tokonya.

Keputusannya sudah matang. Ia menerima tawaran dari sang bunda untuk kembali mengelola toko baju di Malang. Izin dari Alfi juga sudah ia kantongi. Bahkan kini, Alfi tengah menyetrika pakaian yang akan ia pakai untuk keberangkatan ke Malang besok.

"Ran? Nanti baju yang kering taruh aja di bak hijau, ya."

"Siap!"

Alfi sudah selesai dengan tugas menyetrikanya. Kurang lebih lima belas menit, ia melakukan kegiatan itu. Ia berniat mengambil minum ke dapur. Berpapasan dengan Rania yang membawa pakaian.

"Udah selesai, Al?" Tanya Rania.

Alfi mengangguk, "Beresin dulu aja, aku haus."

Rania langsung melakukan kegiatan selanjutnya. Sebetulnya tubuhnya lelah bukan main. Tapi, Alfi memarahinya saat ia menolak untuk melakukan pekerjaan yang dilakukannya kini. Alfi langsung mengeluarkan kata-kata mutiara yang memuakkan padanya seperti ini.

"Kita ini sama-sama capek, Ran. Supaya capeknya nggak double, kita bisa kerjasama lakukan pekerjaan bareng-bareng. Selain jadi lebih ringan, kita bisa lebih efisien waktu. Cepat sana angkat jemuran!"

Ia memasukkan pakaian yang Alfi setrika ke dalam lemari. Bolak-balik ia masuk dan keluar kamar. Saking seriusnya, sampai tidak sengaja tangannya menyenggol setrika yang kabelnya sudah tercabut.

"Suara apa itu, Ran?" Teriak Alfi dari dapur.

Rania meringis di tempat. Setrika itu menyentuh kakinya yang tidak melakukan kesalahan pada benda itu. Ia benci setrika! Kegiatan menyetrika itu sangat melelahkan, belum lagi hawa panas yang didapatnya. Sesuatu yang berkaitan dengan setrika itu sangat ia tidak sukai. Seperti saat ini, ia tidak melakukan kesalahan apapun tapi setrika itu melukai kakinya. Panas setrika itu masih terasa karena baru beberapa menit dicabut oleh Alfi.

Mulutnya sudah terbuka untuk berteriak mengadu pada sang suami. Namun, urung dilakukan karena Alfi sudah lebih dulu datang.

"Astaga Rania! Kok, bisa?" Alfi mengambil setrika yang sudah terpental jauh karena Rania tendang begitu benda itu jatuh pada kakinya.

Ruam merah langsung terlihat di punggung kaki Rania. "Alfi perih!" Rasa panas yang terasa aneh menjalar ke bagian tubuh yang lain.

Alfi langsung mengarahkan Rania menuju kamar mandi. Membasuh luka kaki Rania dengan air mengalir. Rania duduk di toilet sedang laki-laki itu berjongkok dihadapannya.

"Jangan ditekan-tekan gitu Alfi, sakit." Suara ringisan Rania terdengar keras.

Alfi menghela napas kasar. Membawa Rania keluar di punggungnya. Perempuan itu langsung mengulurkan tangannya begitu Alfi mengatakan untuk keluar dari kamar mandi.

"Enak banget digendong." Rania mendekap erat leher Alfi.

"Turun! Duduk sana!" Alfi menunjuk pada sofa.

Namun, Rania masih enggan turun dari tubuh Alfi. "Ran, turun!"

Sedikit kesal, Alfi menjatuhkan dirinya pada sofa membuat Rania terhimpit diantara sofa dan tubuhnya.

"Ih, Alfi!"

"Lagian kamu, aku suruh turun daritadi."

Alfi meniggalkan Rania yang sudah mendudukkan diri di sofa. Oh tidak, perempuan itu ternyata sudah dalam posisi telentang dengan sebelah kaki yang luka diangkatnya ke lengan sofa.

"Apa lihat-lihat?" Belagak sinis perempuan itu menatapnya.

Jengah, Alfi meninggalkan perempuan yang merepotkan itu.

*____*

Tubuhnya sudah lelah setelah pulang dari outlet. Meski pesanan tidak begitu banyak, namun ia tetap sibuk karena harus ikut bergabung di bagian dapur. Dari delapan orang pegawai yang bekerja dengannya. Ia harus menghentikan tiga pegawai karena keadaan outlet yang semakin sepi. Keadaan itu membuatnya tidak bisa memberi upah seperti biasa pada pegawainya. Maka dengan berat hati, ia ikut menjadi staff dan pengirim pesanan jika ada pesanan makanan dalam jumlah besar.

Lelahnya ditambah lagi, ketika Rania memutuskan untuk berangkat besok dan sudah memesan tiket pesawat. Tentu, ia harus membantu Rania menyiapkan segala keperluan yang akan perempuan itu bawa.

Diliriknya jarum jam yang berdetak, pukul delapan malam, pekerjaan rumah sudah selesai semua, barang yang akan Rania bawa sudah selesai ia kemas juga.

Sejujurnya ia lebih senang ketika perempuan itu tidak melakukan pekerjaan rumah. Ada-ada saja ulah yang dibuatnya. Namun, ia tidak ingin Ranianya akan menjadi tidak tahu menahu seumur hidupnya dengan pekerjaan yang sudah seharusnya menjadi basic skill di kehidupan.

Ranianya bisa memasak karena dirinya. Meski perempuan itu belajar otodidak lewat aplikasi tetap dirinya yang mengarahkan segalanya. Ranianya bisa mencuci pakaian dengan mesin karena dirinya. Seumur hidup perempuan itu, katanya tidak tahu jika ada kegiatan menjemur pakaian. Alfi memaklumi, bahkan ia yakin Rania mungkin baru saja menginjakkan kaki di dapur setelah menikah dengan dirinya.

"Alfi?!"

Perempuan itu berteriak kencang dari balik sofa. Ia yang dipanggil malas menyahuti. Istrinya itu pasti terbangun karena lapar. Keduanya belum memasukkan makanan apapun sejak pulang dari masing-masing toko.

"Alfi, ih! Dipanggil juga, nggak nyahut-nyahut."

"Apa?"

"Aku lapar, makan yuk!" Rania bergelayut di lengan kanannya.

Alfi memutar matanya. Benar saja, kan, perempuan itu terbangun karena lapar.

*____*

Keduanya terdiam karena baru tahu jika persediaan bahan makanan sudah habis di kulkas. Saling pandang dengan Rania yang menampilkan ekspresi kecewa. Ia kira masih ada telur atau tempe untuk digoreng. Namun, ternyata semuanya habis tak bersisa. Hanya ada nasi. Tadi pagi keduanya sudah memakan nasi goreng. Makan malam ini, apakah keduanya harus bertemu dengan nasi goreng lagi?

"Mau beli diluar aja, lauk yang sudah matang?" Tanya Alfi memecah keheningan.

Rania menggeleng. Itu bukan ide yang bagus. Ia jelas masih ingat jumlah sisa uang bulanan yang laki-laki itu beri.

"Beli aja, ya? Besok kan, kamu udah nggak disini." Ucap Alfi.

Eh, Rania lupa. Besok dirinya sudah tidak bersama laki-laki itu lagi. Uang bulanan yang Alfi beri juga sudah ia jadikan sebagai bayaran tiket pesawatnya.

"Terus kamu makannya gimana, nggak ada aku?"

Alfi menghalau pertanyaan Rania. "Gampang, Ran. Ya? Sekarang kita beli aja? Atau, mau makan diluar?" Laki-laki itu menambahkan tawaran lainnya.

Alfi menghadapkan duduknya ke arah Rania. "Kalau diluar aku nggak bisa ajak kamu ke restoran. Kita makan pedagang pinggir jalan aja. Aku tahu mana penjual yang enak. Mau coba?"

Rania mengangguk antusias. Sebelum keberangkatannya ke Malang, ia memang harus mencoba makan dengan view Jakarta lebih dulu.

Alfi mengambil kunci motor ke kamar. Rania mengambil helm dan memakai sweater. Ia rindu makan diluar. Alfinya tahu sekali bahwa ia sudah lama tidak makan diluar. Namun, begitu ia melihat Alfi menyalakan motor ia teringat sesuatu.

"Alfi, kok aku kayak jarang lihat mobil kamu lagi ya, setelah kamu keluar dari rumah sakit?"

"Dijual, Ran. Biaya servicenya mahal, aku nggak sanggup. Ya udah aku jual aja." Jawab Alfi.

Rania terperangah mendengarnya.


Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang