Tiga

3.3K 239 4
                                    

Alfi yang baru saja membuka gerbang rumah kecil miliknya terkejut ketika mendapati di depan rumah terdapat beberapa mobil pick up berisi bunga.

"Ini kenapa ya, Pak, berhenti di depan rumah saya?" Tanya Alfi pada salah satu orang yang duduk di mobil.

"Kami disuruh antar bunga segar ke alamat toko bunga ini, tapi kami nggak tahu alamatnya dimana, terus kata atasan kami suruh antar aja ke rumah pemilik toko bunganya. Masnya yang punya toko bunga?" Bapak itu balik bertanya.

"Istri saya pak yang punya toko bunga. Nanti saya coba tanyakan ke istri dulu ya, Pak."

Alfi kembali masuk ke dalam rumah. Ini bahkan masih pagi buta dan ia sudah dihadapi dengan kejutan satu truk bunga yang hadir di depan rumah. Dilihatnya Rania masih tertidur lelap.

"Ran! Bangun!"

"Di depan ada bunga satu truk!"

Rania mulai terusik, matanya sedikit terbuka. "Beneran? Kok diantar kesini, sih?"

Alfi terhenyak. Ia sudah sangat sering melihat Rania dengan berbagai ekspresi yang ditunjukkannya. Namun, ekspresi yang satu ini sepertinya baru ia lihat. Diperhatikannya sang istri yang mengulet dengan rambut panjang menutupi wajahnya.

Menahan sejenak napasnya, ia membantu perempuan itu untuk bangkit dari tidurnya. "Cepat! Supirnya nungguin, dia nggak tahu alamat toko bungamu."

Rania beranjak dari ranjangnya menuju kamar mandi dengan Alfi yang berusaha menetralkan laju napasnya.

Pagi ini, Alfi diikutsertakan repot untuk mengurus Rania mengantar dirinya ke toko bunga untuk menjadi petunjuk jalan supir pick up bunga.

"Kamu belum sarapan lho, Ran." Alfi mengingatkan.

"Ya, nanti aku sarapan."

"Kamu nggak sisiran emang, Ran?"

"Nggak sempat, Alfi."

"Kamu kenapa pakai baju yang kayak begitu sih, Ran?" Alfi ingin menanyakan daritadi soal baju yang dikenakan Rania. Sebuah dress berwarna putih tulang dengan hanya menutupi paha serta bagian depan yang terlihat rendah.

"Aku ambil paling atas tadi, adanya ini. Biar nggak ribet, Al."

"Ran, kamu—"

"Bisa tolong diam dulu nggak, Al? Aku lagi sibuk." Entah apa yang dilakukan Rania dengan ponselnya.

Alfi merapatkan mulutnya.

Sesampainya di toko, ia tak langsung kembali pulang. Masih memperhatikan Rania yang repot menyusun bunga-bunga segar di salah satu ruangan. Ia tidak berniat membantu. Karena Rania tentu akan mengomelinya.

Saat itu ia pernah melakukan kesalahan. Inisiatif membantu sang istri, justru mendatangkan malapetaka yang membuat Rania merugi karena ulahnya. Maka itu, ia tidak berbuat apa-apa kini. Tapi ia berinisiatif lain pagi ini.

Tubuhnya ia bawa pada salah satu kedai nasi uduk yang tak jauh dari toko bunga berada. Dibelinya dua bungkus nasi uduk beserta air mineral.

Rania sedang duduk bermain ponsel ketika ia datang kembali ke toko bunga.

"Kamu darimana? Kok nggak pulang? Emang kamu nggak ke outlet?" Tanya Rania.

"Aku habis beli nasi uduk, nanti ke outlet, kok." Alfi membuka bungkusan yang ia bawa. Menyodorkannya pada Rania.

"Sarapan dulu, Ran." Alfi melepaskan paksa ponsel yang berada dalam genggaman Rania.

Perempuan itu menerima nasi uduk yang disodorkan Alfi.

"Al, tahu nggak? Bunda nawarin aku buat ngelola toko baju lagi di Malang. Katanya, sepupuku yang Tania itu, kemarin kan ambil alih pekerjaanku di toko, justru bikin toko baju kehilangan pelanggan."

"Terus?"

"Menurut kamu, aku terima tawaran Bunda nggak?"

Alfi tampak berpikir, "Kalau kamu terima, kita harus LDR dong."

"Tapi kayanya aku nggak mau terima sih, soalnya toko bunga disini aja semakin tambah pelanggan setiap harinya. Aku udah di fase nggak tega tinggalin ini. Lagipula, aku kan udah dicampakkan sama Tania, aku yang mengelola toko diusir secara tidak langsung sama cucu kesayangan Eyang yang pengen kuasai toko."

"Iya, nggak apa-apa kalau itu keputusan kamu. Mau kamu terima pun aku nggak masalah, asal kamu sudah pikir dengan matang baik buruk kedepannya."

Sedikit rasa tidak enak muncul di hati Alfi. Ia tidak bisa meraba bahwa hari ini ia harus menghidupi dan membahagiakan seorang perempuan. Meski hari-harinya dipenuhi dengan tingkah menyebalkan perempuan itu. Tetap ia selalu memikirkan tanggung jawab yang dipikulnya. Alfi telah menyeret Rania, selaku teman masa kecilnya untuk hidup bersama.

Alfi tentu masih ingat, jika perempuan itu merupakan salah satu putri kesayangan di keluarganya. Terbukti dari ia mengetahui kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan perempuan itu saat tinggal bersama.

Dua bulan pertama setelah menikah, Rania sering kali meminta untuk jalan-jalan dan bepergian, tapi ia jarang mengabulkan karena khawatir jalan-jalan yang dimaksud perempuan itu adalah berbelanja menghamburkan uang. Dirinya teramat harus hemat karena harus membayar hutang-hutang sang ayah pada rekan kerja yang sudah dirugikannya. Belum lagi ia harus membangun usaha untuk mendapatkan pundi-pundi uang sebagai bentuk pemberian nafkah lahir pada Rania.

Alfi tidak pernah merasa semiskin ini. Mengapa saat ia ingin bersenang-senang setelah menikah justru tuhan memberinya ujian kemiskinan.

"Aku kenyang, nasi uduknya terlalu banyak, Al." Rania menyodorkan kembali bungkusan nasi uduk itu pada Alfi.

"Iya, nanti biar aku yang habiskan."

Bukan. Ranianya belum kenyang. Perempuan itu hanya tidak terbiasa sarapan dengan menu seperti ini. Biasanya dirumah ia memanggang roti atau membuat sereal.

Rania menenggak air mineral, kemudian masuk ke dalam toko. Membuka jendela toko dan memasang tanda di pintu bahwa toko sudah buka. Dua pegawai Rania sudah datang.

Ia menghabiskan sisa nasi milik perempuan itu dengan cepat. Tangannya menggulir ponsel untuk berkirim pesan pada pegawainya di outlet untuk membuatkan roti panggang dan salad.

Tak butuh waktu lama, sisa nasi Rania tandas. Ia menepuk bahu Rania yang sedang membersihkan meja resepsionis.

"Apa?"

Merapikan poni panjang perempuan itu, "Aku berangkat ke outlet ya. Nanti sore mau dijemput jam berapa?"

Rania menepis tangan Alfi yang hinggap di keningnya. "Ih, tangan kamu bau sambal. Seperti biasa, aku mau dijemput jam empat. Tapi jangan telat lagi!"

Alfi langsung bergegas pergi.

Tidak lama dari kepergian Alfi, datang seseorang yang mengejutkan Rania membawa wadah berisi makanan. Dengan terdapat catatan yang ditempelkan pada wadah makan tersebut.

Dimakan ya, Ran. Tadi kamu makan nasinya sedikit.

Tanpa berpikir lagi, Rania langsung melahap semua isi makanan dalam wadah. Roti panggang dengan salad kesukaannya.

*____*

Rania mendapati kabar gembira bahwa ia mendapatkan uang arisan yang baru diikutinya. Ibu Kinan selaku ketua arisan di komplek perumahannya mengumumkan lewat pesan. Sebetulnya ia tidak begitu mengharapkan untuk dapat uang itu. Ia juga tidak hadir di acara arisan kemarin.

Mungkin ini memang rezekinya. Ia akan memberi tahu pada Alfi kabar gembira ini. Tapi sebelum itu, ia harus mencari tahu tempat mana yang bisa dikunjunginya untuk pergi berjalan-jalan dengan Alfi.

Bali?

Lombok?

Atau, ke Thailand?

Ah, ia harus menentukan pilihan dari sekarang. Karena Alfi, tidak bisa diajak berdiskusi soal tempat liburan. Jadi ia yang harus berpikir lebih keras.

Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang