Tiga Puluh Dua

1.6K 119 3
                                    

Marni masih berdiri di depan pintu apartemen, menunggu tanpa kepastian apakah pintu tersebut akan terbuka atau tidak. Tangannya tidak berhenti menekan bel. Ia menunggu genap lima belas menit untuk kemudian turun kembali ke lantai bawah, menemui satpam.

Pengakuan satpam yang pertama, adalah melihat Rania tengah menerima orderan makanan dari kurir kemarin pagi. Lalu pengakuan kedua, satpam tersebut melihat Rania menyeret koper pada sore harinya, entah hendak pergi kemana karena satpam tersebut mengaku hanya bertegur sapa sebentar tanpa menanyakan apapun. Selepas itu satpam tidak melihat sosok Rania yang kembali ke apartemen pada malam harinya atau bahkan pagi ini.

Marni segera membawa dirinya ke toko. Mencari informasi karena nomor Rania tidak aktif dihubungi.

Ia sudah muncul kecurigaan saat menelepon putrinya beberapa hari yang lalu. Rania tampak enggan berangkat ke Singapura bersama suaminya. Meski berujung mengiyakan, mungkin itu hanya sekedar agar pembicaraan di telepon segera berakhir.

Begitu ia sampai di toko. Satu per satu pegawai ditanyainya mengenai apa saja kegiatan yang dijalani di toko. Seksama ia mendengar jawaban, takut-takut ada yang mencurigakan. Sampai salah satu pegawai membawa informasi terkait hadirnya seorang laki-laki yang sempat bertanya-tanya soal kemeja produksi lama pada semua yang ada di toko termasuk putrinya, pegawai itu menjelaskan bahwa kemeja tersebut membawa hubungan keduanya kian intens, sampai Rania merelakan waktunya untuk bertemu langsung pada pemilik perusahaan di mana kemeja tersebut diproduksi. Dan, terakhir keduanya terlihat selepas pulang dari Carlo Group, dengan putrinya yang kembali ke toko dan pulang ke apartemen bersama laki-laki itu lagi.

Marni mengecek CCTV toko, ingin melihat sosok laki-laki yang dimaksud pegawai tersebut. Tampak terlihat namun tidak jelas wajahnya. Meski begitu ia tetap memotret untuk disimpannya dalam ponsel.

Marni, berniat ke apartemen putrinya lagi. Ingin meminta tolong pada satpam untuk membuka paksa pintu kamar sang putri sekaligus memperlihatkan CCTV apartemen di lantai tempat tinggal putrinya.

Ia juga ingat sebelum kedatangan Rania, dirinya menyempatkan untuk pemasangan CCTV di dalam apartemen perempuan tersebut. Mungkin saja ada sesuatu yang bisa menjawab mengapa putrinya pergi dari apartemen.

*____*

Tanpa sepengetahuan sang ayah, Alfi segera melunasi hutang-hutangnya pada Amru Majid sejumlah yang tertera. Uang yang diberikan Rania menjadi penolongnya dalam keadaan yang mendesak ini. Ia juga sudah melaporkan pada Rania soal ia yang sudah memakai kartu debit tersebut. Anehnya, nomor perempuan itu tidak aktif. Pesan yang terkirimnya bertanda ceklis satu. Biasanya, meski perempuan itu tidak pernah membalas pesan-pesannya, tapi pesan yang dikirimnya tetap bertanda ceklis dua.

"Darimana, Nak?" Tanya Rasyid begitu ia kembali menginjakkan kaki di rumah.

"Isi bensin, Yah."

"Memangnya nggak ke outlet kamu?"

"Alfi liburkan dulu outletnya, Yah. Udah lama juga nggak Alfi liburkan."

Rasyid mengangguk. Laki-laki tua itu sedang berkegiatan mengiris daun bawang. Katanya, untuk makan siang mereka nanti ia yang akan memasak.

"Rania, gimana kabarnya, Nak?"

Sejenak Alfi terdiam. Berpikir bagaimana kabar perempuan tersebut selama beberapa hari tidak kunjung menghubunginya. Ia sendiri tidak pernah absen untuk menelepon atau mengabari perempuan tersebut meski tetap berujung tak ada balasan.

"Rania baik, Yah." Semoga perkataannya betulan nyata seperti apa yang terjadi dengan kondisi perempuan tersebut di sana.

"Kalau kamu mau nengokin istrimu ke sana, Ayah mau ikut, ya."

"Jumat ini Al mau ke sana. Kami diundang bunda untuk hadir di acara pernikahan sepupunya Rania di Singapura, Yah."

"Oh, ya sudah. Lain kali aja Ayah kesananya. Salam untuk Rania dan Bu Marni, ya."

Alfi berdehem. Mendudukkan diri di hadapan Rasyid guna membantu kegiatan laki-laki itu.

"Memangnya kalian akan berapa hari di Singapura?" Rasyid membuka suara lagi.

"Al belum tahu, Yah. Paling ikut Rania aja nanti."

"Memangnya nggak ada obrolan dulu sama istrimu soal kegiatan kalian di Singapura akan seperti apa?"

"Rania lagi sibuk, Yah. Beberapa hari ini Al hubungi nggak ada balasan. Kayaknya toko Rania di sana pengunjungnya ramai terus."

Rasyid mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangannya yang sedang mengiris tersebut berhenti. Menatap dalam manik mata putra yang amat dicintainya. "Nak, kita sebagai seorang laki-laki pastinya harus bekerja keras lebih besar setelah menikah. Ada orang lain yang sudah menjadi tanggung jawab kita setelah menikah. Andai kamu sukses nanti, outletmu sudah bercabang-cabang. Saran dari Ayah, jangan biarkan Rania terlalu bekerja keras di luar sana. Kalau dia masih tetap ingin bekerja, izinkan saja pekerjaan yang ringan dan tidak membebani ya, Nak."

"Justru Alfi maunya Rania tetap di rumah, nggak perlu keluar tenaga untuk cari uang. Kalau pun dia mau usaha, akan Alfi urus usahanya dan Rania tinggal ongkang-ongkang kaki mantau usahanya."

"Maafkan Ayah, ya. Karena Ayah telah melakukan perbuatan besar sekali, yang menjadikan kita miskin dalam sekejap mata. Sekarang ayah cuma bisa bantu mendoakan, semoga rumah tangga kamu bahagia."

Telepon yang berdering seolah memutus pembicaraan intens kedua laki-laki yang berada di dapur itu. Alfi segera mencuci tangannya bekas mengupas bawang putih.

Bunda Marni meneleponnya.

"Assalamu'alaikum, halo Bun?"

"Wa'alaikumussalam, Nak Alfi!"

Terdengar suara panik dari seberang telepon. Ia jadi terikut panik.

"Kenapa Bunda?"

"Tolong datang ke apartemen Nia sekarang ya, Nak. Nianya nggak ada, Nak Alfi. Bunda hubungi nggak angkat-angkat dari tadi." Terdengar isak tangis menggugu yang menyesakkan.

"Nia beneran nggak ada Bun? Di toko? Atau di mana pun, Rania beneran nggak ada, Bun?" Tanya Alfi memastikan.

"Iya, Nak. Bunda udah cek ke toko juga nggak ada. CCTV di apartemen Nia kayaknya bisa jadi jawaban. Bunda butuh Nak Alfi untuk bantu cari Nia."

Telepon dimatikan oleh Marni. Meninggalkan Alfi yang masih berdiri termenung memikirkan perkataan mertua perempuannya.

"Bu Marni ya, Nak?"

Alfi tidak menjawab.

"Ada masalah?" Lagi, Rasyid bertanya.

"Al, mau ke Malang, Yah. Rania nggak ada di apartemen dan di toko. Teleponnya nggak aktif. Kata Bunda CCTV di apartemen Rania ada sesuatu yang mencurigakan."

"Oh, ya sudah cepat! Pesan tiket sekarang, Ayah bantu packing barang bawaanmu, ya." Rasyid berdiri dari duduknya. Ikut panik mendengar penuturan tersebut.

Alfi langsung mengotak-atik ponselnya, mencari jadwal penerbangan di jam yang dekat-dekat ini.

*____*

CCTV dibedah oleh satpam juga Marni yang menemani. Beberapa petugas apartemen lainnya turut serta membantu dirinya atas pencarian sang putri.

Layar monitor di depan sana menampilkan kejadian selama beberapa hari terakhir saat perempuan itu masih di sini. Tidak ada yang mencurigakan.

Sampai semua orang yang ada di sana menutup mata, kala satu kejadian mengerikan terpampang nyata di layar tersebut.

Tapi tidak dengan Marni, ia masih membuka matanya saat kejadian itu berlangsung. Buram penglihatannya terasa sedikit demi sedikit karena air dalam matanya meminta keluar. Itu putrinya, yang dikandungnya sembilan bulan tengah diperlakukan bak binatang oleh laki-laki yang sama sekali tidak ia kenal.

Tanpa bisa ditahan, tetes-tetes air berhasil lolos membanjiri pipinya.




Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang