Lima Belas

2.2K 188 0
                                    

"Aku nggak nyangka banget, Al." Ucap seorang perempuan yang tengah duduk di hadapannya.

Matanya berbinar seraya menampilkan senyum di setiap hela napasnya. "Anak aku suka banget sama bento di resto kamu lho, Al. Cuma memang aku batasi untuk nggak sering beli, sih. Nggak tahunya yang punya resto itu kamu, ya."

Alfi menampilkan senyum terbaiknya. Sedikit senang jika ada yang membahas menu masakan restonya yang menjadi favorit pembelinya.

"Aku bisa pesan tiga puluh bento no salad, nggak? Tapi untuk besok, mau kubawa ke play group."

"Bisa! Perlu diantar jam berapa, Nit?" Dengan senang hati Alfi menanggapi.

"Jam makan siang aja. Nanti aku kirim alamatnya. Nih, aku butuh nomor teleponnya." Perempuan itu menyodorkan ponselnya pada Alfi.

Alfi langsung menerima dan mengetikkan nomor layanan customer service outletnya.

"Makasih, ya." Perempuan itu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.

"Aku yang terima kasih, salam hangat buat anakmu ya, Nit."

Perempuan itu berdiri bangkit dari duduknya. "Tahu nggak? Aku udah nyangka banget kalau kamu akan buka resto. Masakan kamu dari dulu nggak pernah failed. Kapan-kapan kalau udah makin sukses buka kelas masak aja, Al!"

Alfi menanggapi dengan tertawa. Anita dengan segala ocehannya memang tidak bisa dipisahkan.

Perempuan itu pamit pergi dengan tangan yang membawa jinjingan makanan yang telah dipesannya. Alfi sendiri masuk ke ruang pribadinya. Bertemu dengan asisten dapur yang tengah istirahat di sofa.

"Kenal sama customer yang tadi, Bang?" Tanya Rafi yang langsung mendudukkan diri dengan benar ketika pintu ruangan dibuka oleh Alfi.

"Iya, teman SMA."

Menggeser tubuhnya untuk memberikan tempat sang atasan duduk. "Pelanggan setia kita tuh, Bang. Sering banget pesan di aplikasi pesan antar. Eh, sekarang datang langsung ke outlet."

"Iya, dilayani dengan baik ya, Raf, Lumayan."

Rafi menggangguk menanggapi, "Oh, iya. Nanti malam jadi lembur, Bang?"

"Jadi. Mentok jam sepuluhan lah untuk closingan."

"Nggak ada Mbak Rania hajar terus sampai tengah malam ya, Bang." Asisten dapur itu menertawakan Alfi.

Alfi sendiri cuek saja dicandai seperti itu. Memang ia sudah berniat kerja sampai malam jika Rania tidak ada di rumah. Toh, untuk apa ia pulang di awal waktu, sedang di rumah saja tidak ada siapa-siapa.

*____*

Pintu dibuka, tampak ruangan yang gelap nan lengang. Ia membuka sepatunya, perlahan memasuki ruang demi ruang hingga kakinya berpijak pada lantai dapur. Mengambil segelas air untuk melepas dahaga. Diliriknya sekilas jam dinding yang menggantung tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Pukul 11.10, hampir larut malam dan ia baru pulang.

Melihat ke seisi ruangan, ia merasa sedikit senang karena sudah bersih. Kini ia tinggal membersihkan tubuhnya sebelum beranjak tidur.

From: Raniaaa

Alfi, kamu kemana, sih?

P

Ih, jahatnya! Nggak balas pesan aku daritadi...

Baru ku tinggal sehari kenapa udah bikin kesal, sih???

Kamu lagi macam-macam ya, di sana?

Tau, ah! Pokoknya aku nggak akan mau angkat kalau kamu telepon, nggak akan mau balas kalau kamu kirim pesan!!!

Alfi baru saja menyalakan ponselnya begitu selesai mandi. Rentetan pesan berdatangan ketika ia mengisi daya ponselnya. Beberapa jam yang lalu ponselnya mati, ia lupa tidak membawa charger ke outlet, sedang para pegawainya memakai ponsel yang berbeda dengannya.

Mendial nomor yang telah memborbardir pesan padanya. Satu kali panggilan tidak diangkat. Lagi, ia menelepon kedua kalinya. Kali ini terangkat, namun senyap tak ada suara dari layar ponselnya.

"Halo? Ran?"

Si penerima telepon tak kunjung bersuara.

"Aku baru pulang dari outlet, kebetulan hari ini lagi rame banget. Aku coba buka sampai malam, ternyata hasilnya lumayan."

"Kamu sampai jam berapa tadi, Ran?"

Ia masih berbicara sendiri.

"Udah tidur, ya? Kamu kebangun karena telepon dari aku, Ran? Ya udah, aku tutup teleponnya, kamu lanjut tidur lagi aja. Aku juga udah ngantuk banget." Ia hampir mematikan telepon, seketika suara melengking di seberang sana mengejutkannya.

"Aku sampai disini tadi siang."

"Aku telepon kamu daritadi nggak diangkat-angkat! Besok aku mulai kerja."

"Ternyata bunda ada di apartemen, jadi sekarang aku sama bunda tidur bareng."

"Alfi ternyata pakaian dalam aku ketinggalan. Tadi aku selesai mandi mau ganti baju, cuma ada baju luar doang."

"Nanti, kalau kamu kesini tolong bawakan, ya."

"Al, setelah sekian lama sering masak,  akhirnya hari ini aku nggak masak! Senang banget, deh, tinggal makan, karena bunda yang masakin!"

"Al, besok kira-kira aku masih ingat nggak ya, sama jobdesk di toko?"

"Aku deg-degan banget nih, mau ketemu pegawai-pegawai toko!"

Ocehan-ocehan Rania didengar Alfi dengan baik. Tubuhnya sudah ia rebahkan pada ranjang. Dihadapkannya pada sebuah ranjang kosong yang berada di seberangnya. Saat ini, ia hanya bisa mendengar suara itu tanpa bisa memandangi mulut perempuan itu yang terbuka tutup saat bicara.

Ia menanggapi perkataan Rania sebisa dan sebaik mungkin. Perempuan itu agaknya terdengar senang. Pasti sudah menerima penawaran terbaik dari orang tuanya.

*____*

Ia tidak menyangka jika jarak sekolah yang menjadi tujuannya kini cukup jauh dari outletnya. Bensin motornya hampir habis. Ia sudah mengabari si pemesan, karena sepertinya ia sedikit terlambat mengantar pesanannya.

Hampir empat puluh menit ia berkendara untuk mengantar pesanan dari temannya. Perempuan itu langsung menyambutnya di gerbang. Mengambil alih pesanan yang ia bawa.

"Nggak pakai mobil, antar segini banyaknya?"

Alfi menggeleng.

"Ayo masuk. Istirahat dulu di dalam, jauh banget, ya?" Anita memimpin jalan untuk ia parkir motor.

Ternyata play group yang perempuan itu katakan adalah miliknya. Seorang anak laki-laki menghampiri perempuan tersebut.

"Nih lihat, mama bawa apa?" Anita berkata seraya menunjukkan jinjingan di tangannya pada anak tersebut.

"Salam dulu sama om, nanti mama kasih ini."

Alfi langsung menangkap anak tersebut ke dalam pelukannya. Tingkahnya lucu sekali. Sedikit membantu mengurangi rasa lelahnya setelah melakukan perjalanan lebih dari setengah jam.

Anita meninggalkannya di sebuah kursi. Dengan beberapa cemilan dan es teh manis yang disajikan di meja. Sudah berapa lama ya, ia tidak bertemu dengan perempuan itu.

Lama sekali. Nyatanya perempuan itu tetap bisa melanjutkan hidup dengan bahagia tanpa perlu balasan cinta darinya.

"Ikut makan siang bareng anak-anak yuk, Al. Ya, meskipun makanan yang aku buat nggak seenak masakan kamu, tapi tetap bisa diterima sama mulut kamulah."

"Nggak usah, Nit. Aku mau balik lagi ke outlet ini."

"Anak-anak lagi pada makan, tuh. Kamu nggak mau coba intip mereka yang lagi pada lahap makan bento dari restomu?" Anita sedikit menyunggingkan senyumnya.

Alfi sedikit tertarik atas kalimat penawaran Anita untuk melihat anak-anak yang memakan masakan dari restonya.

Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang