Dua Puluh Delapan

2.2K 125 8
                                    

Sepulangnya Hadi dari outletnya, datang Anita dengan wajah cemasnya.

Sudahlah hatinya sedang tak karuan, apa pula tuhan mendatangkan temannya yang satu ini. Semoga tidak ada hal-hal yang memusingkannya kembali.

Perempuan itu langsung mendudukkan dirinya, pada kursi tempat Hadi duduk tadi.

"Aku boleh minta tolong, Al?" Tanya perempuan itu tanpa basa basi.

Ia tidak langsung menjawab. Tampak berpikir seraya melihat ke sekeliling outletnya yang sedikit ramai di jam makan siang ini.

"Kalau permintaan tolongmu sulit, sepertinya aku nggak bisa menolong dulu, Nit." Jawabnya jujur. Ia betul-betul tidak nafsu berbuat apapun setelah mendengar apa yang Hadi ucapkan beberapa menit yang lalu.

"Anakku sakit. Sedang dirawat inap di rumah sakit. Jatah cutiku di penerbitan sudah habis. Guru play groupnya nggak bisa temani sampai sore. Aku nggak punya pengasuh. Apa kamu mau temani anakku yang lagi sakit, sampai aku pulang kerja nanti?" Jelas perempuan itu terengah-engah.

"Sakit apa Reihan?"

"Dokter bilang dehidrasi."

Si kecil yang ceria itu, ternyata bisa terindikasi dehidrasi. Ia mengangguk. "Oke, sampai sore aja kan?"

"Aku pulang jam lima, aku usahakan sebelum magrib sudah di rumah sakit. Thanks, Al."

Anita buru-buru pergi dari outletnya. Mengabaikan Alfi yang ingin bertanya dimana letak rumah sakit tempat Reihan berada. Akhirnya ia memutuskan untuk mengirim pesan pada perempuan itu.

Sembari menunggu balasan dari Anita, ia berjalan menuju ruang pribadinya, mengambil kunci motor dan jaket. Kemudian ke ruang dapur, untuk meminta dibungkuskan makanan karena dirinya belum makan siang.

Terik matahari langsung menyapanya begitu ia keluar dari outlet. Tidak terasa panas karena kepalanya sudah  panas lebih dulu sebelum bertemu dengan sinar matahari. Perkataan Hadi masih terngiang-ngiang di kepalanya.

Sebegitu menyusahkannya kah, dirinya? Hingga Hadi tidak tahan putrinya untuk bersama dirinya.

Ternyata kamu ya, yang menyusahkan dia?

Bercerai sajalah kalian...

Benar-benar perkataan itu membuatnya pening bukan main. Satu tahun pun belum usia pernikahan mereka. Apakah memang benar harus perceraian jadi ujung perjuangan yang ia dan Rania lewati?

*_____*

"Kamu semalam udah tidur, Ni? Bunda telepon nggak diangkat."

"I-iya bun, Nia semalam udah tidur." Ia memejamkan matanya, sedikit takut karena telah berbohong.

"Bunda ada undangan pernikahan dari Mas Adi. Bunda lupa kasih kabarnya, ternyata Mas Adi nikahnya minggu ini."

"Iya, nanti Nia datang Bun."

"Sama Alfi ya, datangnya. Nanti biar bunda pesankan tiket pesawatnya ke Singapur."

"Em, Nia sendiri aja memang nggak boleh, Bun?"

"Ajak Alfi juga ya, biar kenal sama saudara yang di sana. Sekalian liburan berdua. Apartemennya Mas Raka di sana kosong, bisa kalian isi sementara kalau mau liburan."

"Alfi kan lagi sibuk jualan di outlet, Bun."

"Bukannya ada pegawainya? Ditinggal sehari dua hari nggak apa-apa kali. Coba Nia ajak baik-baik, deh. Pasti mau."

"Iya, Bunda. Nanti Nia coba ajak Alfi."

Telepon tertutup, ia menghela napasnya yang terasa berat. Sepupunya yang seusia Mas Raka akan menikah. Bagaimana caranya ia mengatakan pada Alfi sedang ia masih teramat malu dengan dirinya yang telah melalukan hal kotor di belakang laki-laki itu.

Setengah hari ini ia kembali mendekam di kamar. Memandang galeri fotonya dengan Alfi. Laki-laki itu tipikal orang yang narsis abis. Sebagian isi ponselnya berisi foto laki-laki itu. Ia rindu sekali. Seketika matanya tertuju pada tampilan status WhatsApp Alfi.

Sebuah foto ruang kamar inap dengan seorang anak kecil yang mengisi sebuah bed.

Semoga cepat sembuh ya, Rei.

Itu caption yang tertulis di sana.

Rei? Siapa dia?

Astaga! Ia lupa. Ia melihat status Alfi, lalu bagaimana jika Alfi menyadari dan meneleponnya kembali.

Ow, benar saja kan? Alfi meneleponnya. Bertepatan dengan suara bel pintu apartemennya. Siapa gerangan yang bertamu siang-siang seperti ini?

Ia tidak berniat membukakan pintu itu. Memilih untuk mengunci rapat pintu kamarnya. Kembali menenggelamkan diri di balik selimut. Seketika tubuhnya bergidik ketakutan. Bagaimana jika yang dibalik pintu itu Ikhsan yang kembali datang mengajaknya makan. Atau, orang lain yang bersifat seperti Ikhsan. Atau...? Ah, tidak akan ia bukakan pintu untuk siapapun itu orangnya.

*____*

Lagi, Alfi menghela napasnya ketika sang istri yang diteleponnya tidak mengangkatnya. Sebegitu sibukkah Rania, sampai tidak sempat mengangkat teleponnya?

Jelas-jelas perempuan itu baru beberapa detik yang lalu melihat statusnya. Yang benar saja perempuan itu langsung mematikan ponselnya. Meskipun dimatikan, suara dering ponsel tentulah masih terdengar dan dapat diangkat.

Ia memilih kembali memandangi wajah anak laki-laki yang sedang tertidur ini. Bagaimana ya, rasanya memiliki anak. Bisakah ia meluangkan waktunya untuk menemani anak sebagimana ayah yang selalu mengajaknya bermain sepulang kerja.

Andai ia tidak miskin. Semua kebutuhan dan keinginan Rania terpenuhi. Tentulah rencana memiliki anak itu menjadi prioritasnya. Rania juga mungkin tidak berpikir lama untuk memiliki anak dengannya. Ia dan Rania belum berbicara lebih jauh terkait anak selain bersepakat untuk menunda dulu.

Ia belum tahu apakah Rania ingin anak laki-laki atau perempuan. Berapa jumlah anak yang diinginkan oleh perempuan itu pun belum ia ketahui. Ah, rasanya ia ingin berbincang banyak-banyak dengan Rania perihal anak tersebut.

Seketika ia kembali sadar atas perkataan yang diucapkan oleh ayah mertuanya. Bagaimana jika perceraian itu terjadi dan ia tidak sempat berbincang soal anak dengan Rania. Tapi jelas perceraian itu tidak akan terjadi. Ia yakin itu. Ia tahu pasti, bahwa Rania mencintainya. Terbukti dari seberapa besar perjuangannya untuk berada di sisinya, menemani kesusahan-kesusahan yang terjadi dalam rumah tangga keduanya.

Soal pertemuannya dengan Hadi, ia tidak akan mengatakan pada Rania. Supaya tidak menumbuhkan kebencian pada perempuan itu pada ayahnya.

*____*

Rania memutuskan pergi dari apartemen ini. Untuk sementara ia akan mencari penginapan di hotel terlebih dulu. Ia tidak bisa menahan rasa takut berlebihan setiap kali memandangi area ruang tamu dan bar stool.

Membuka lemarinya, ia mengeluarkan kopernya. Kemudian memilih baju dan barang lainnya untuk ia bawa pergi. Sebelum sore ia harus segera beranjak dari sini. Jangan sampai ia bertemu lagi dengan Ikhsan.

Setelah membereskan barang bawaannya dalam koper ia berniat membersihkan diri. Kembali membasuh tubuhnya yang terasa kotor meski ia sudah menyabuninya berkali-kali. Alfinya yang baik hati tidak pantas mendapatkan tubuh yang sudah kotor ini.

Lima belas menit terlewati untuk mandi. Kran shower dimatikan. Bathrobe merah muda dipakainya. Denting suara pesan terdengarnya begitu ia melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi.

From: Ayah

Nia? Bisa ayah bertemu dengan Nia sebentar?

Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang