Sembilan Belas

2.2K 179 2
                                    

Baru kembali bekerja dan ia sudah mendapatkan satu komplenan dari salah satu pembeli. Membuat energinya cukup terkuras karena melayani pembeli yang cukup merepotkan itu. Ia menutup toko lebih awal, salah satu alasannya karena ia lelah berada di sana. Tepatnya ia menutup satu jam lebih awal dari jam tutup operasional.

Rania ingin bertahap dalam memulai karirnya di toko ini. Tidak ujug-ujug melanjutkan begitu saja manajemen toko yang ia lihat dan dengar sudah berantakan setelah ia lepas tangan berbulan-bulan. Sepupunya yang tiba-tiba menjadi penggantinya bekerja di toko ini sangat tidak bertanggung jawab dan amat mengacaukan manajemen toko. Ia jadi seperti mengulang sebuah usaha dari nol lagi. Pantas saja bunda memberikan penawaran yang menggiurkan karena ternyata beban kerja yang ia dapat sangat ekstra.

Toko baju ini sebetulnya milik bunda, kepemilikannya atas nama Marni Asih. Sedikit cerita yang ia dengar dulu, bahwa toko ini adalah hadiah dari ayahnya bunda yang berarti kakeknya, karena bunda berhasil lulus sekolah desain dan telah bekerja sama dengan beberapa model tanah air.

Namun begitu menikah dengan ayah, bunda tidak lagi bekerja. Sang ayah tidak memberi izin bunda untuk ikut mencari nafkah. Saat ia masih kecil, bunda menyuruh orang lain untuk mengelola tokonya agar tetap berjalan dan bisa menjadi investasinya kelak di hari tua. Begitu ia sudah besar, bunda yang menyuruhnya untuk mengelola toko begitu selesai pendidikan sarjananya.

Hingga ia menikah dengan Alfi, toko jadi sedikit tidak ada yang mengendalikan. Padahal, sebelum ia memutuskan untuk meliburkan diri karena menikah, ia sudah mengatakan pada bunda bahwa akan tetap mengontrol dan mengawasi toko dari jarak jauh menggunakan teknologi yang ada. Nyatanya, ia dan bunda kecolongan.

Adik bunda yang sering ia panggil Tante Mala menyuruh putrinya untuk bekerja di toko tanpa izin sang bunda. Bunda sendiri tahu dari salah satu pegawai toko kepercayaannya yang menelepon dan mengeluh pada bunda karena pekerjaan menjadi lebih berat saat Tania Fadlan hadir sebagai pengelola toko pengganti dirinya.

Bunda sudah mengusut permasalahan tersebut. Kakeknya sudah amat teramat tua, untuk mendengarkan permasalahan yang cukup berat sudah tidak bisa, karena sudah ditahap sulit untuk mencerna pembicaraan.

Ketidakmampuan kakek untuk memahami itu menjadi celah bagi Tante Mala untuk memberi penjelasan yang mengada-ada bahwa toko milik sang bunda tidak ada yang mengelola karena pemilik dan pengelola yang sebenarnya sudah tidak peduli sehingga toko menjadi terbengkalai, tidak ada yang mengurus.

Surat pemindahan pengelola toko dibuat begitu saja oleh Tante Mala dan mencantumkan nama putrinya sebagai orang yang direkomendasikan bisa membangkitkan toko kembali. Cih! Sesungguhnya para pembual tidak akan pernah sukses dalam mewujudkan impiannya.

Benar saja, kan?

Bunda langsung mengusut tuntas begitu akar permasalahan diketahui. Sehingga ia bisa memegang kekuasaan manajemen toko kembali saat ini. Lalu, Tania bagaimana?

Ia tidak tahu, begitu ia resmi mengatakan pada bunda bahwa ia menerima tawaran untuk menjadi pengelola toko, sepupu dan tantenya itu entah kemana. Ia tidak peduli.

"Baru pulang, Ran?" Seorang laki-laki yang menyapanya tadi pagi berpapasan dengannya di lift.

"Iya, San."

Laki-laki itu menyodorkan sebuah plastik berisi kotak donat padanya. "Ada teman kantorku lagi ulang tahun, terus bagi-bagi donat. Aku udah makan banyak di sana. Ini buat kamu aja, Ran. Kalau aku bawa masuk ke apart, sayang nggak di makan."

Ia menerima sodoran bungkusan donat tersebut. "Beneran buat aku, San? Kita bagi dua aja, deh."

Ikhsan mengangkat tangannya seraya menggeleng. "Buat kamu aja semua. Aku beneran udah kenyang banget, nih."

"Oke! Makasih ya, San!"

Pintu lift terbuka, keduanya jalan beriringan. Ikhsan lebih dulu sampai di kamarnya, karena dekat dengan lift. "Aku duluan masuk ya, Ran!"

Rania tersenyum seraya melambaikan tangannya.

*_____*

Sesudah bebersih diri ia membuka bungkusan yang Ikhsan berikan. Enam buah donat meronta minta ia untuk memakannya. Pilihannya jatuh pada Donat tiramisu.

Begitu dua gigitan terlewati, ia bangkit dari duduk. Membuka kulkas untuk mengeluarkan es batu. Makan donat dengan ditemani es cappucino sepertinya akan menambah kenikmatannya.

Satu lagi, sepertinya akan jauh lebih nikmat jika ia menelepon Alfi untuk menggodanya bahwa ia sedang santai sembari menikmati donat-donat lezat.

"Halo? Ran?"

Rania tersenyum. Ia mengalihkan panggilan telepon pada panggilan video.

"Hai!"

"Tebak aku lagi makan apa?"

"Roti?"

Rania menggeleng. Alfi semakin mendekatkan wajahnya pada layar ponsel.

"That's donut, right?"

"Betul!"

Menelan donatnya ia lanjut berkata, "Just info, aku makan donat ini secara gratis, lho."

"Oh. Ada pembeli yang bayar pakai donatkah di tokomu?"

Rania mengernyitkan dahinya.

"No! Aku dapat dari brondong, tetangga kamar apartemenku." Ia mengecilkan suaranya.

"Tetangga?"

"Iya. Dia tetangga aku, udah dari lama. Baik banget tahu orangnya. Tadi pagi juga dia sempat sapa aku dan nawarin tebengan, katanya takut aku lupa arah jalan ke toko. Ya kali baru beberapa bulan nggak ke toko udah lupa aja!"

"Syukurlah kalau tetanggamu baik-baik."

"Kamu sendiri lagi apa, Al?"

Alfi mengarahkan layar kamera ponselnya pada pintu kamar mandi dan mesin cuci di sampingnya. "Nunggu mesin cuci sambil lihat video food vlogger yang berkunjung ke outletku."

"Ada food vlogger disana?!"

Alfi mengangguk. "Dia review semua menu makanan di outletku. Sampai sekarang jadi ramai."

Rania bertepuk tangan. "Mana? Kirim link videonya, aku mau lihat juga!"

"Nanti, ya."

"By the way Ran, rambut kamu ikat dulu, gih! Kayaknya agak ganggu kamu pas lagi gigit donatnya, deh."

Rania segera mengambil ikat rambut di kamar. Lalu memakainya di hadapan kamera, yang mana Alfi masih memperhatikan panggilan videonya. Ia sedikit membusungkan dadanya. Tiba-tiba Alfi mematikan panggilan video mereka. Rania segera menyelesaikan ikatannya.

Satu pesan dari laki-laki itu datang.

From: Alfinya aku

Aku matikan, ya.

Mesin cucinya udah berhenti, aku harus lanjut jemur.

To: Alfinya aku

Ih! Kenapa tiba-tiba banget sih, aku kan jadi kaget tadi!

Orang tuh, ngucap apa dulu kek sebelum matiin vidcall.

From: Alfinya aku

Aku nyesel suruh kamu ikat rambut tadi...

Aku jadi lihat yang enak-enak tadi. Sorry Ran, your boobs makes me turn on, makanya aku matikan teleponnya.

Kalau lagi ikat rambut di luar kayaknya kamu harus di tempat yang agak sepi deh, Ran.

To: Alfinya aku

Ih! Alfi mesum! Aku kira kenapa vidcallnya dimatiin tiba-tiba, nggak tahunya kamu turn on.

Ya udah deh, aku juga mau lanjut makan donat lagi

Rania mengakhiri sesi kirim pesan mereka. Setelahnya ia membuka aplikasi kamera pada ponselnya. Mengarahkan bagian depan tubuhnya. Memang cukup terlihat sih, apalagi jika ia membusungkan dada seperti tadi.

Padahal ia sudah memakai piyama yang cukup longgar. Namun, payudara miliknya masih terlihat menyembul. Seketika ia tersenyum ketika satu ide terlintas di pikirannya.

Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang