Dua Puluh Empat

2K 162 4
                                    

"Aku boleh numpang ke toilet dulu, nggak?"

"Bolehlah Nit, kenapa nggak?"

Alfi memimpin jalan memasuki rumahnya.

Ia dan Anita telah bersama-sama mengunjungi rumah mimpi hampir setengah hari. Di jalan pulang Alfi tidak langsung mengarahkan mobil Anita untuk ke outlet. Ada sesuatu yang ingin ia lakukan di rumah. Di Rumah Mimpi tadi Rania berkirim pesan bahwa akan ada paket yang datang ke rumah. Maka, ia datang kini untuk mengamankan paket tersebut.

"Toiletnya yang sebelah ini, Al?" Tanya Anita menunjuk pintu di dekat mesin cuci.

"Iya, Nit. Masuk aja."

Alfi menunggu Anita sambil duduk di sofa. Sedikit merenggangkan tubuhnya yang agak pegal karena menyetir mobil. Sebetulnya ia masih cukup takut untuk membawa mobil, namun tidak dipungkiri bahwa ia merindukan dirinya membawa kendaraan roda empat tersebut.

Anita keluar dari toilet. Tampak membenarkan helaian rambut yang keluar dari ikatannya. Alfi sendiri sudah mengangkat satu kakinya seraya menyandarkan tubuhnya pada sofa.

"Ayo berangkat! Atau, kamu mau langsung pulang? Perlu aku antar, kah?" Tanya Alfi dengan mata terpejam.

Ia lelah sekali.

"Ayo aja, sih. Nggak diantar pun aku nggak masalah. Tapi, aku numpang duduk dulu sebentar di sini, ya!" Anita mendudukkan dirinya di sebelah Alfi.

Alfi membetulkan posisi duduknya. Berniat beranjak menuju dapur, untuk menyuguhkan apapun yang ada di sana pada Anita. Namun, tangannya di pegang oleh Anita seolah menyuruhnya duduk kembali.

"Mau ngapain sih, Al? Aku nggak haus, udah kamu istirahat aja dulu."

Anita melirik ke seisi rumah mungil yang disinggahinya. Betapa banyak sekali bingkai foto laki-laki itu dengan seorang perempuan yang sepertinya menjadi istrinya. Dari bingkai yang kecil, hingga yang besar. Dilihatnya Alfi yang memejamkan mata. Terlihat sedang tidur-tidur ayam.

"Kalau udah mau pulang bilang, ya." Alfi membuka mata tiba-tiba.

Anita mendekatkan posisi duduk dirinya pada Alfi. Tanpa Alfi sadari bahwa tangan perempuan itu sudah berada di atas dadanya.

"Mau apa?" Alfi bersuara sedikit ketus.

Anita memajukan wajahnya. Menyeka jarak sekitar lima senti, membuat kantuk Alfi hilang seketika.

"Mau apa Anita?" Tanya Alfi sedikit keras.

"Nggak malu kah kamu berbuat demikian di depan foto-foto itu?" Alfi menunjuk dinding dihadapannya yang berisi banyak bingkai foto.

Nyaris sedikit lagi bibir itu bersentuhan jika Alfi tidak berbicara soal foto ia dan Rania.

Anita mengangkat sebelah alisnya.

"Sepertinya kamu sedang berada dalam fase sok mengerti tentang kesetiaan." Perlahan Anita mengusap dada Alfi yang berbalut kemeja hitam. "Marriage is killing you, Alfiansyah. Kesetiaan itu omong kosong. Cinta itu racun. Dan aku, sudah melalui itu semua."

"Jika cinta itu racun, kenapa sampai saat ini kamu terus mendekati racun? Sekarang ini, aku berada dalam barisan orang yang menghormati pernikahan. Apapun alasannya, aku adalah laki-laki yang terikat dalam pernikahan. Berhubungan intim dengan orang lain di luar pernikahan sangat tidak aku pilih untuk lakukan itu sekarang."

Anita berdecih. "Kamu yang bilang ke aku waktu dulu, nggak mau menikah dan menjadi suami orang. Kata kamu, pernikahan adalah sebuah lembaran yang penuh luka didalamnya. Nyatanya, sekarang kamu berada dalam barisan budak cinta yang dungu, Alfi. Bukan barisan orang yang menghormati pernikahan. Pernikahan tidak pantas dihormati, Al."

Alfi menuntun Anita untuk bangkit dari duduknya. "Silakan Anita. Pintu rumahku masih di sebelah sana. Terima kasih atas pesanan 100 bento siang tadi. Rumah Mimpi jadi kunjungan yang sangat berkesan untuk aku." Alfi menunjuk pintu seraya menatap dalam manik mata yang penuh kekecewaan.

Anita berjalan keluar, sedang ia kembali duduk di sofa. Mengusap wajah dengan gusar. Begitu terdengar suara mesin mobil, ia berjalan ke arah pintu, menutupnya rapat.

Ia kembali lagi ke sofa. Menatap bingkai besar yang menampilkan foto dirinya dan Rania disana. Itu senyuman bahagia kala masalah-masalah belum hadir berdatangan.

Marriage is killing you, agaknya lebih tepat ditujukan pada Rania yang kini tengah bekerja keras di tokonya yang ramai. Dirinya adalah sumber pesakitan untuk Rania yang semula hidup penuh kebahagiaan.

Satu vas bunga diatas meja berhasil ia banting. Amarah yang dipendamnya beberapa hari ini seolah belum tersampaikan. Kepalanya bak tertimbun batu besar yang hampir mematikan.

Pada siapa seharusnya ia lampiaskan amarah ini?

Kembali ia memandang foto Rania dalam bingkai-bingkai kecil. Rekah senyum itu tidak pernah berubah. Daya tarik lain yang perempuan itu tampilkan adalah senyum manisnya. Karena segaris senyum itulah yang membuatnya melakukan tegur sapa lebih dulu di pertemuan pertama mereka sebelum menikah.

Marriage is killing you, Rania.

Janji kebahagiaan yang ia tawarkan rasanya sudah sangat mustahil untuk bisa ia berikan pada perempuan itu.

Semuanya karena kemiskinan.

Kemiskinan sialan yang datang menjadi ujian hidupnya. Dari sekian ujian yang tuhan miliki, mengapa harus kemiskinan yang tuhan beri padanya?

Dua kali.

Dua kali ia menghancurkan barang di rumah ini.

Tendangan pada dispenser yang isinya sudah tidak ada itu bergelimpangan ke lantai. Ia berteriak kencang seraya berjalan menuju kamar mandi. Mengabaikan benda-benda yang berserakan karena ulahnya.

Kran air dinyalakan. Ia memasukkan seluruh wajahnya pada wastafel. Membasahinya dengan air yang mengalir. Napasnya sedikit tersendat-sendat karena ia cukup lama berada di posisi itu. Diambilnya botol sampo untuk ia tuangkan pada kepalanya. Kembali melakukan posisi yang sama seperti tadi. Sembari menunggu kepalanya terbalut busa sampo, ia mencukur kumis tipis dan jambang yang terlihat sudah tumbuh.

Mungkin sekitar dua puluh menit ia berada di kamar mandi, dengan ia yang berujung membersihkan seluruh tubuhnya.

Handuk yang terbalut di tubuh menemaninya ke kamar. Biasanya jika ada Rania, perempuan itu seringkali meledeknya dengan kalimat-kalimat seperti ini begitu ia selesai mandi.

"Ih, wanginya! Udah kayak bujangan mau ngapelin pacarnya, nih!"

"Hm....wangi banget! Suaminya siapa sih, yang habis mandi?"

Bayangan Rania seperti itu membuatnya tersenyum-senyum sambil memasuki kamar.

Ia mencari ponsel yang lupa ditaruhnya. Berniat mengirim pesan pada pegawainya bahwa ia tidak kembali lagi ke outlet. Ponsel tidak ditemukan, akhirnya ia memilih membuka lemari baju guna mencari kaos untuk dipakainya.

Selesai dengan kegiatannya di kamar, ia keluar melanjutkan kembali pencarian ponsel yang belum ditemukan.

Ternyata ada di bawah sofa. Mungkin terjatuh dari saku celana saat ia melakukan tindakan gila tadi. Dibukanya aplikasi kirim pesan, ia merealisasikan niatnya untuk mengirim pesan pada Rafi, asisten dapurnya.

Dan, mengejutkan! Satu pesan masuk belum dibaca tampak di matanya.

From: Ayah Hadi

Bsk saya mau bertemu kamu. Tenang, saya yang akan mendatangi kamu ke restomu yang selalu sepi pengunjung itu.

Ada yg ingin saya bicarakan, menantuku.

Can I Ask You a Question? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang